JAKARTA, GRESNEWS.COM - Konferensi Tingkat Tinggi Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) yang ditutup pada Minggu (22/11) kemarin menjadi sebuah simbol diresmikannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Dengan demikian, pada akhir 2015 ini, pasar bebas di antara negara-negara ASEAN bakal berlaku.

Nantinya, akan ada pasar terbuka di antara 10 negara ASEAN yaitu Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar dan Kamboja. Sebagai wadah interaksi regional, negara-negara anggota sepakat mengusung MEA sebagai sebuah ruang integrasi kerjasama yang relatif bebas dengan berpijak pada empat pilar yaitu sektor ekonomi, sosial budaya, politik dan keamanan.

Secara khusus dalam konteks ekonomi, MEA menghadirkan pemberlakuan pasar tunggal berbasis produksi regional antar negara-negara anggota yang meliputi arus barang, jasa dan investasi. Konsep fundamental ekonomi MEA tersebut bertujuan menjadikan Asia Tenggara sebagai basis pertumbuhan strategis dan berdaya saing tinggi.

Begitu pun pilar sosial budaya, politik dan keamanan yang keseluruhannya saling berkaitan dengan konteks kehidupan mendasar masyarakat. Secara garis besar, MEA berorientasi membangun konektivitas dan harmonisasi kawasan secara sinergis serta nilai kemanfaatan bagi masing-masing negara anggota.

Indonesia sendiri banyak berharap lewat MEA bisa meningkatkan hubungan kerjasama di bidang investasi, industri dan manufaktur. Hal ini dianggap penting mendorong pertumbuhan sektor perdagangan Indonesia di kawasan ASEAN.

Kerjasama Indonesia bersama mitra ASEAN di MEA, memiliki tujuan mendongkrak nilai perdagangan dari saat ini hanya 24,2 persen naik menjadi 35 sampai 40 persen dalam jangka waktu lima tahun ke depan.

Sedikit menengok ke belakang, pada KTT ASEAN tahun lalu di Nar Pyi Taw, Myanmar, Presiden Joko Widodo telah menegaskan komitmen Indonesia mewujudkan MEA. Presiden Jokowi mengemukakan, bagi Indonesia, ASEAN adalah wadah membangun kerjasama yang bermanfaat bagi rakyat kita, bagi pembangunan di negara-negara kita, bagi perdamaian dan stabilitas di kawasan kita.

Ketika itu, Presiden Jokowi mengingatkan, untuk mewujudkan masyarakat ekonomi ASEAN, diperlukan peningkatan pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN.

"Indonesia ingin mencapai target pertumbuhan ekonomi 7% di tahun-tahun mendatang," kata Jokowi seperti dikutip setkab.go.id.

Presiden menegaskan, Indonesia tidak akan membiarkan dirinya menjadi pasar semata. Indonesia harus juga menjadi bagian penting dari rantai produksi regional dan global (regional and global production chain).

Untuk itu, lanjut Presiden Jokowi, ASEAN harus bekerjasama mengatasi tiga hal utama. Pertama, mempercepat pembangunan infrastruktur dan konektivitas di negara-negara ASEAN, antar negara ASEAN, antara ASEAN dengan negara-negara mitra, melalui percepatan implementasi Masterplan on ASEAN Connectivity.

Kedua, meningkatkan kerjasama investasi, industri dan manufaktur yang lebih erat diantara negara-negara ASEAN. "Indonesia di bawah pemerintahan saya terbuka untuk bisnis. Namun, Indonesia, seperti negara berdaulat manapun, harus memastikan kepentingan nasionalnya tidak dirugikan," kata Presiden Jokowi.

Dalam kesempatan itu, Jokowi juga menyampaikan pentingnya meningkatkan PDB ASEAN dua kali lipat, US$2,2 triliun AS menjadi US$4,4 triliun pada tahun 2030. ASEAN juga harus mengurangi separuh angka kemiskinan di kawasan pada tahun 2030 dari 18,6% menjadi 9,3%.

MEA MASIH ASING - Tekad Presiden Jokowi menjadikan MEA sebagai ajang peningkatan perekonomian bersama antara negara ASEAN tentu perlu didukung. Tentu saja MEA juga bukan alat untuk menekan satu negara sekadar sebagai pasar bagi produk negara lainnya.

Hanya saja, kesiapan Indonesia memang dinilai masih belum maksimal dalam menghadapi MEA. Salah satunya adalah soal masih minimnya pengetahuan masyarakat soal MEA.

Ini dinilai mengkhawatirkan karena persiapan dan pengetahuan tentang MEA sejatinya menjadi kunci penting memanfaatkan setiap peluang yang ditawarkan melalui integrasi kerjasama. Pemahaman publik menjadi modal penting menghadapi persaingan ekonomi.

Sayangnya, informasi dan pemahaman mengenai tujuan pelaksanaan MEA pada dasarnya belum secara komprehensif dipahami masyarakat ASEAN sendiri.

Direktur Mitra Wicara ASEAN Dery Aman mengatakan penyelenggaraan MEA yang akan bergulir akhir tahun pada umumnya belum dipahami esensinya oleh masyarakat. Di samping itu, ia menyebut, MEA juga belum dikenal luas oleh kalangan masyarakat, tidak hanya di Indonesia namun kondisi yang sama dihadapi sebagian negara anggota ASEAN lainnya.

"Dengan masyarakat Indonesia yang besar, komunitas ASEAN ini menjadi tantangan," kata Dery kepada gresnews.com, beberapa waktu lalu.

Belum memadainya pemahaman masyarakat soal konteks dasar pelaksanaan MEA tentu menjadi tantangan karena dikhawatirkan memengaruhi kesiapan masing-masing individu menghadapi persaingan kawasan.

Tantangan dibalik minimnya persiapan masyarakat, kata dia, perlu disikapi melalui peningkatan promosi MEA yang berlangsung mulai tahun 2015 hingga 2025. Ia menekankan, pentingnya pelaksanaan sosialisasi menyangkut informasi MEA kepada masyarakat Indonesia melalui peran dan fungsi Kementerian Luar Negeri.

Sosialisasi tidak hanya kepada masyarakat, hal terpenting adalah kesiapan seluruh jajaran pemerintah termasuk pemerintah daerah dan para stakeholder. "Sosialisasi dimaksud untuk mempersiapkan strategi dan menyesuaikan diri dengan syarat-syarat apa saja yang diterapkan dalam kebijakan-kebijakan di MEA nanti," kata Dery.

Sementara itu, Dosen Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta Ludiro Madu mengatakan, di MEA dipastikan setiap negara memiliki misi dan tujuan mengejar kepentingan sendiri-sendiri dalam forum tersebut.

Negara anggota ASEAN memiliki latar belakang political will (tujuan politik) yang berbeda terkait keinginan mencapai keuntungan. "Mengejar keuntungan komparatif dan kompetitif di level regional yang ditawarkan MEA," kata Ludiro kepada gresnews.com, Senin (23/11).

Peneliti Indonesia Center for Democracy, Diplomacy, and Defense (IC3D) itu menyebut, peluang masing-masing negara dapat dilihat berdasarkan aspek political will. Menurut Ludiro, Indonesia, Filipina dan Vietnam dinilai memiliki kesiapan yang setara menjelang MEA dari segi peran pemerintah masing-masing.

Namun, dia menilai, di bawah kepemimpinan pemerintahan saat ini, Indonesia mengalami transisi politik yang lebih fokus pada penataan ekonomi domestik sehingga adanya MEA mengharuskan pemerintah segera melakukan penyesuaian peran di regional ASEAN.

Prioritas kebijakan itu tercermin dalam isu-isu ekonomi domestik, visi kekuatan maritim global, dan diplomasi ekonomi internasional yang ditengarai telah mengarahkan politik luar negeri Indonesia lebih fokus pada ruang lingkup domestik. "Penataan ekonomi domestik pemerintah sedikit melunturkan peran dan dapat mengurangi pengaruh Indonesia di kawasan," kata dia.

INDONESIA BELUM SIAP - Secara umum dalam aspek ekonomi, Ludiro menilai, Indonesia belum siap menghadapi MEA. Posisi Indonesia juga diprediksi minim dalam kaitan penyerapan pasar domestik terhadap produk negara-negara ASEAN.

Hal itu dikarenakan produksi Indonesia relatif tidak siap menghadapi sirkulasi produk yang ditawarkan MEA. Lain hal dengan negara tetangga lainnya semisal Singapura yang berperan sebagai inisiator MEA justru diprediksi memiliki pengaruh cukup besar di kawasan Asia Tenggara seiring eksistensinya dalam dinamika ekonomi global.

Kemungkinan besar, negara itu diprediksi unggul di sektor-sektor strategis seperti kerjasama ekonomi dan perdagangan. Ludiro menambahkan, dari sisi kesiapan promosi, Thailand dan Malaysia dianggap lebih baik dibanding Indonesia.

"Kedua negara tersebut diproyeksikan memiliki kans yang cukup besar untuk mencapai target kepentingan nasionalnya," kata dia.

Hal itu, lanjut dia, dilihat dari komitmen Pemerintah Thailand yang cukup serius mempersiapkan masyarakatnya melalui strategi kebijakan nasional soal edukasi dan sosialisasi mengenai esensi MEA.

Hal senada juga disampaikan Anggota Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR, Melani Leimena Suharli. Dia menilai, Indonesia belum siap menghadapi MEA dibanding negara-negara tetangga.

Masih ada kekhawatiran mengenai kesiapan Indonesia dalam menghadapi MEA, antara lain dari sudut pandang kapasitas SDM, sinkronisasi kebijakan, dan daya saing. Melani menilai, Indonesia sepertinya belum siap menghadapi MEA, terutama apabila dibandingkan dengan Thailand yang sudah memperkenalkan MEA pada anak-anak usia sekolah dasar.

"Namun demikian, Indonesia harus optimis. Kita bisa menonjolkan industri kreatif, misalnya dengan desain yang artistik dan orisinil, juga dengan mengadakan pameran atau eksibisi di luar negeri," katanya usai melakukan kunjungan kerja ke Thailand beberapa waktu lalu seperti dikutip dpr.go.id.

Dalam kesempatan yang sama, Anggota BKSAP DPR Andika Pandu Puragabaya berpendapat, Indonesia dalam menghadapi MEA bagaikan sesosok janin yang belum siap untuk dilahirkan. "Kita harus menggodok kembali, apakah MEA merupakan suatu pencapaian bagi Indonesia, atau malah suicide (bunuh diri-red)?" kata politisi Gerindra itu.

Anggota BKSAP DPR Siti Masrifah juga khawatir atas kesiapan Indonesia khususnya terkait isu peredaran tembakau yang dianggap dapat mengganggu produktivitas masyarakat dalam menghadapi MEA. Siti Masrifah menyatakan kebijakan tobacco control yang diberlakukan Thailand dapat menjadi contoh bagi Indonesia.

"Jumlah iklan rokok sangat ditekan, sehingga peningkatan jumlah perokok di Thailand sangat rendah. Pendidikan dan kesehatan memang patut menjadi perhatian utama," kata Masrifah.

Politisi F-PKB itu juga menilai, kebebasan arus barang dan jasa dalam kerangka MEA juga dikhawatirkan akan meningkatkan risiko penyelundupan manusia dan narkoba. Ia mengingatkan bahwa Indonesia saat ini sudah berada dalam situasi darurat narkoba.

"Seluruh jajaran masyarakat harus terlibat secara langsung dalam memberantas narkoba, terutama dengan memperbaiki kondisi di perbatasan," ujarnya.

Anggota BKSAP DPR dari Fraksi Partai Golkar Indro Hananto menekankan, jika Indonesia ingin tumbuh, perlu memberikan kenyamanan kepada para investor. "Terutama dalam desentralisasi, para pelaku usaha dipusingkan dengan perbedaan peraturan yang berlaku di tingkat pusat dan daerah," kata politisi asal dapil Kalimantan Selatan itu.

Isu lain yang mengemuka dalam pertemuan diantaranya terkait profesi perawat. Pasalnya, di dalam negeri, belum ada sosialisasi yang memadai mengenai MEA, khususnya kepada para perawat.

UU Keperawatan di Indonesia sudah disahkan, namun Thailand sudah jauh lebih maju dalam memperhatikan kesejahteraan dan kualitas/kapasitas tenaga perawat.

KEGAMANGAN ASEAN HADAPI MEA - Terkait hal ini, Duta Besar RI untuk Thailand Lutfi Rauf mengatakan, memang banyak pandangan pesimis di dalam negeri terhadap MEA. Pandangan serupa juga diberikan oleh negara ASEAN lainnya.

"Nantinya dalam kerangka MEA, akan ada mekanisme transisi bagi delapan jenis profesi yang diatur melalui ASEAN Mutual Recognition Arrangement, jadi tidak ada cut-off bagi para tenaga profesional dalam pembentukan MEA di akhir 2015 mendatang," jelasnya.

Lutfi menambahkan, ada tiga kunci utama yang harus diperhatikan dalam menghadapi MEA, yaitu meningkatkan kapasitas SDM melalui pendidikan formal dan informal, mengurangi logistic cost untuk mendorong daya saing produk dalam negeri; dan terakhir, sudah saatnya kita menghilangkan ego sektoral. "Tidak ada cara lain untuk menghadapi MEA, kecuali dengan mempersiapkan diri," ingatnya.

Hal senada pernah disampaikan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu. Jokowi mengatakan, semua negara ASEAN masih gamang hadapi MEA. "Sebetulnya semua kepala negara/pemerintahan juga tidak bisa mengira-ngira akan terjadi apa. Akan terjadi kontraksi apa, goncangan apa, atau akan terjadi perbaikan apa," kata Jokowi ketika memberikan sambutan pada Hari Otonomi Daerah, (28/4) seperti dikutip setkab.go.id.

Di negara-negara yang menjadi anggota ASEAN, lanjut Presiden Jokowi, semua masih menduga-duga, apakah terjadi arus migrasi dari Indonesia ke Malaysia atau Singapura secara besar-besaran. Atau terjadi arus investasi dari Indonesia, misalnya ke Brunei atau Thailand, Myanmar, Laos, atau Vietnam.

"Kita juga belum bisa menduga-duga itu. Karena memang sekarang modal arus uang mudah sekali berpindah-pindah. Apalagi dengan dibukanya MEA, semuanya masih menduga-duga," ujar Jokowi

Menurut Presiden Jokowi, ia telah berbicara dengan sejumlah pengusaha, yang umumnya ada yang takut, nanti kalah bersaing dengan Singapura, Malaysia, atau Thailand. Namun, saat berbicara dengan kepala negara/pemerintahan di negara-negara ASEAN, menurut Presiden Jokowi, mereka juga takut, jangan-jangan nanti dikuasai Indonesia yang GDP (Gross Domestic Product)-nya besar dan penduduk juga 40 persen lebih dari yang ada di Asia.

"Artinya, semuanya memang pada posisi khawatir, tidak tahu apa yang akan terjadi," papar Jokowi.

Untuk itu, Presiden Jokowi meminta kepada seluruh kepala daerah, pimpinan daerah, agar masalah MEA ini terus disampaikan kepada masyarakat. "Kita harus siap. Tapi kalau melihat kondisi yang ada, saya masih meyakini kita masih mampu berkompetisi, bersaing dengan negara-negara di ASEAN ini. Saya masih meyakini," tegasnya.

Namun demikian, Presiden mengakui harus banyak perbaikan-perbaikan, baik di pusat maupun di daerah. "Pelayanan publik, pelayanan perizinan, praktik tata kelola yang belum baik harus diperbaiki. Kemudian ketimpangan-ketimpangan pembangunan kota dan desa sebelah barat, tengah dan timur, semuanya memang harus dikejar," tegas Presiden.

BACA JUGA: