JAKARTA, GRESNEWS.COM — Tentara Nasional Indonesia (TNI) menghentikan sementara kerja sama militer dengan Australian Defence Force (ADF) sehubungan adanya tiga insiden di pusat pendidikan pasukan khusus Australia. Insiden pertama, pendiskreditan peran Sarwo Edhie dalam Gerakan 30 September PKI. Kedua, esai yang ditulis peserta didik terkait masalah Papua. Terakhir, tulisan "Pancagila" di ruang Kepala Sekolah yang terkesan melecehkan ideologi Pancasila.

Menanggapi hal itu, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengapresiasi tindakan yang diambil Panglima TNI Gatot Nurmantyo dengan menangguhkan program kerjasama antara TNI dan ADF yang sebelumnya sudah disepakati kedua belah pihak. Menurut Hikmahanto, apa yang dilakukan Gatot adalah langkah yang tepat.

“Penangguhan kerjasama merupakan tindakan yang tepat karena Panglima ADF menjanjikan untuk melakukan investigas atas hal ini. Penangguhan dilakukan selama investigasi berlangsung hingga hasil nantinya diumumkan,” kata Hikmahanto kepada gresnews.com, Sabtu (7/1).

Hikmahanto menambahkan, hasil investigasi kemungkinan besar menyatakan bahwa kesalahan dilakukan oleh oknum personel militer ADF. Dengan demikian, tindakan penghinaan itu bukanlah sikap resmi ADF, lebih-lebih sikap resmi pemerintah Australia. "Atas tindakan oknum personel tersebut, ADF akan menyatakan bakal mengambil tindakan terhadap mereka-mereka yang bertanggung jawab," sambung Hikmahanto.

Hikmahanto menambahkan, hasil investigasi demikian akan menyelamatkan hubungan kerjasama militer TNI dan ADF. Menurutnya, ADF dan Pemerintah Australia sekalipun tampak akan lebih mengutamakan hubungan baik dengan Indonesia ketimbang melindungi personel milternya.

Atas hal itulah Hikmahanto berpendapat, peristiwa penghinaan ini mestinya dijadikan preseden penting oleh Indonesia agar Australia, melalui pejabat-pejabatnya, tidak mudah melakukan tindakan pelecehan terhadap tokoh Indonesia ataupun merendahkan isu yang sensitif bagi Indonesia. Selain itu, Hikmahanto juga menilai pasca terjadinya kasus tersebut, pemerintah harus padu dalam menyampaikan kebijakannya.

Hal itu penting dilakukan supaya pesan yang hendak disampaikan oleh Panglima TNI agar personel militer Australia, pejabat ataupun institusi Negeri Kanguru itu tidak merendahkan dan melecehkan tokoh, isu sensitif dan ideologi bangsa, benar-benar tersampaikan. Menurut Hikmahanto, saat ini media-media di Australia banyak yang mengatakan bahwa Indonesia mengalami kemunduran lantaran menghentikan sementara kerjasama militer.

Hal itu diperparah dengan adanya pernyataan sejumlah pejabat di Indonesia yang menyampaikan bahwa kerjasama yang dihentikan hanyalah kerjasama di lembaga bahasa saja. Di sisi lain, ada juga pernyataan yang menyebut bahwa masalah ini hanya masalah antar perwira di lapangan dan oleh karena itu tidak seharusnya mempengaruhi hubungan kedua negara.

"Keterpaduan sikap pemerintah perlu dilakukan agar masalah ini tidak dianggap sepele oleh Australia dan terulang kembali di kemudian hari. Terlebih lagi bila ideologi bangsa yang dipelesetkan, dimana bila hal tersebut dilakukan di Indonesia pelaku akan berhadapan dengan proses hukum," papar Hikmahanto.

Menurutnya, keterpaduan sikap pemerintah dengan semua elemen bangsa juga dibutuhkan agar publik di Indonesia tidak kecewa. "Publik saat mendengar ketegasan Panglima TNI sangat mendukung sikap tersebut, namun dengan adanya pejabat lain yang mengkerdilkan permasalahan telah menjadikan publik kurang mendukung sikap pemerintah terhadap Australia," katanya.

Terakhir, Hikmahanto menyatakan, ketegasan yang ditunjukkan oleh Panglima TNI sudah dapat dipastikan tidak akan menyurutkan hubungan antar Indonesia dan Australia, termasuk dalam kerjasama bidang militer. Menurutnya, ketegasan Panglima TNI merupakan cerminan bila ada kesalahan di satu pihak maka pihak tersebut harus responsif untuk memperbaikinya agar kepentingan yang lebih besar terselamatkan.

"Ini yang disebut sebagai hubungan yang saling menghormati (correctness). Dalam hubungan yang demikian, toleransi demi menyelamatkan hubungan tidak berarti pihak yang ingin tegas menjadi harus melemahkan diri," pungkasnya.

HARUS DIEVALUASI — Berbeda dengan pendapat Hikmahanto, pengamat militer dan terorisme dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai, apa yang dilakukan TNI pada dasarnya merupakan tindakan yang reaktif. "Menurut saya, TNI terlalu reaktif menyikapi apa yang disebut sebagai pelecehan itu. Bagaimanapun, apa pun bentuknya, pemutusan kerjasama bilateral bukanlah hal yang bisa diputuskan secara gegabah dan tergesa. Apalagi kerjasama militer," kata Khairul kepada gresnews.com, Kamis (5/1).

Khairul menjelaskan, pembentukan watak dan karakter tentara suatu negara dilakukan atas dasar doktrin yang merepresentasikan kebanggaan, kewibawaan dan kedaulatan negara tersebut. Dengan kata lain, hal itu memang berkelindan dengan simbol-simbol, identitas, dan ideologi suatu negara.

Dalam konteks itulah Khairul melihat, sebagaimana Indonesia merepresentasikan Merah Putih, Garuda, dan lagu kebangsaan Indonesia Raya sebagai entitas yang harus dijaga martabatnya, lalu menyatakan Pancasila sebagai ideologi terbaik di antara semua ideologi yang ada. maka saat militer Australia melecehkan Pancasila, hal itu tidak bisa disalahkan sepenuhnya.

"Ketika tentara Indonesia dalam pelatihan militernya didoktrin, kapitalisme, liberalisme, sosialisme atau komunisme buruk, berbahaya, dan menjadi ancaman yang harus diwaspadai, dimusuhi bahkan dibasmi dengan kesaktian Pancasila, apakah salah jika Australia memasukkan materi yang menampilkan Pancasila sebagai sesuatu yang jelek dalam pelatihan militer mereka?" kata Khairul.

Khairul melanjutkan, dalam kasus seperti itu, posisi RI terhadap Australia sebenarnya tidak berbeda dengan ketika Indonesia dianggap menghina Singapura karena memberi nama KRI Usman-Harun, dua nama prajurit marinir Indonesia yang dianggap sebagai penjahat oleh Singapura, namun dianggap sebagai pahlawan oleh Indonesia, pada armada kapal perang terbarunya. Saat itu, Panglima TNI tegas menolak protes Singapura dengan menyatakan, itu hak Indonesia dan tidak bisa diintervensi oleh pihak mana pun.

Atas hal itulah Khairul mempertanyakan langkah yang diambil TNI dengan menunda kerjasama dengan militer Australia. Menurutnya, seberapa mendalam kajian yang dilakukan TNI sebelum keputusan itu diambil? Apa saja opsinya? Dan mengapa tidak melalui mekanisme diplomatik terlebih dulu, semisal mengeluarkan nota protes atau melakukan penarikan atase dan tindakan lainnya. "Apa sebenarnya target yang ingin dicapai? Saya khawatir, ini lebih bermotif politik domestik," katanya.

Khairul melanjutkan, kekhawatirannya bahwa penangguhan kerjasama militer RI-Australia dimanfaatkan oleh Mabes TNI, bisa dilihat dari respons publik yang bertepuk tangan menanggapi keputusan TNI itu. Menurutnya, strategi informasi bertahap yang dilakukan TNI secara langsung justru sukses menaikkan pamor TNI sendiri. Termasuk pamor Gatot Nurmantyo selaku panglima.

"Ya saya kira publik kemarin telah mereaksi pernyataan TNI itu dengan sangat antusias. Penuh gelora nasionalisme dan apresiasi luar biasa terhadap langkah Panglima TNI. Seolah itu pemutusan yang sangat strategis. Padahal cuma pelatihan bahasa yang dihentikan," katanya.

Namun apa pun keputusannya, Khairul menambahkan, karena terlanjur dideklarasikan, langkah berikutnya yang harus dilakukan TNI adalah mengevaluasi keputusan tersebut. Menurutnya, jika langkah tersebut dinilai tepat, sebaiknya segera dipikirkan langkah berikutnya.

Langkah tersebut bisa berupa pengalihan bentuk kerjasama, atau membuka ruang negosiasi untuk hubungan yang lebih konstruktif. "Jika evaluasi menyimpulkan bahwa langkah itu keliru, tentu harus ada yang bertanggungjawab. Termasuk jika ternyata benar bahwa langkah itu hanya bentuk aksi yang baper dan lebay. Tapi semoga saja tidak demikian," katanya.

Namun demikian, Khairul menjelaskan, pasca reformasi, hubungan militer Indonesia-Australia tidak pernah betul-betul dalam kondisi sehat dan selalu pasang-surut. Hal itu ditengarai sejumlah peristiwa pasca jajak pendapat Timor Leste, lalu adanya upaya penyadapan oleh Australia terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2013 lalu, penanganan manusia perahu, dan yang terbaru penistaan Pancasila.

"Jika ditelaah lagi, hubungan bilateral RI-Australia juga sebenarnya tak pernah benar-benar friendly. Doktrin dalam buku putih pertahanan Australia sejak lama menyebut Indonesia sebagai potensi ancaman. Faktor geografi dan demografi strategis Indonesia membuat Australia harus waspada terhadap ´bahaya dari utara´ ini," pungkasnya.

PESAN PEMERINTAH — Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengklarifikasi rencana penghentian kerja sama militer antara Indonesia dan Australia. Menurutnya, kerja sama militer itu diputus karena insiden soal penghinaan terhadap tokoh TNI dan lambang negara Indonesia. Gatot menegaskan, penghinaan terhadap lambang negara dengan memplesetkan Pancasila menjadi Pancagila tidak bisa ditolerir.

"Pada saat mengajar di sana, ditemukan hal tidak etis sebagai negara sahabat yang mendiskreditkan TNI dan bangsa Indonesia, bahkan ideologi bangsa Indonesia," kata Gatot, Kamis (5/1).

Lantaran insiden itulah TNI kemudian memutuskan untuk menunda kerja sama pendidikan dengan pihak Australia. Pihak Australia sendiri, menurut Gatot, sudah berjanji akan melakukan evaluasi.

Selain itu, Gatot juga mengaku bahwa pihaknya sudah menerima surat penjelasan sekaligus permohonan maaf terkait dengan insiden tersebut. Namun demikian, TNI memutuskan untuk tetap menghentikan sementara kerja sama pendidikan.

"Surat tersebut dikirim Kepala Angkatan Udara Australia Marsekal Mark Binskin. Saya dengan Marsekal AU Mark Binskin bersahabat. Akhirnya beliau mengirim surat kepada saya, permohonan maaf," kata Gatot.

Sementara itu, dalam keterangan yang diterima gresnews.com, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menyatakan sikap resminya mengenai sikap yang diambil TNI terkait insiden di Australia. Wiranto mengatakan, pemutusan hubungan kerjasama itu bukanlah pemutusan kerjasama pertahanan secara menyeluruh.

"Penghentian kerjasama tersebut di atas hanya bersifat sementara, dan akan dilanjutkan kembali setelah pihak Australia telah melakukan langkah-langkah penyelesaian dari kasus yang terjadi," ujar Wiranto.

Wiranto menegaskan, masalah tersebut tidak akan mengganggu hubungan bilateral kedua negara yang telah berjalan baik selama ini."Dengan penjelasan ini, diharapkan tidak ada pemberitaan-pemberitaan di luar konteks yang justru akan membingungkan masyarakat dan mengganggu hubungan bilateral kedua negara," tegasnya. (Gresnews.com/Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: