JAKARTA, GRESNEWS.COM - Teror yang ditebar kelompok Abu Sayyaf kepada warga negara Indonesia masih belum berakhir. Belum lagi 10 WNI yang disandera dibebaskan, kelompok tersebut menambah empat sandera WNI lagi setelah mereka dihadang kelompok tersebut pada Jumat (15/4) lalu. Atas aksi penyanderaan berulang ini, pemerintah diminta mulai mewaspadai titik rawan pembajakan dan penyanderaan di sekitar perairan Filipina.

Pakar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyatakan pembajakan dan penyanderaan kapal berbendera Indonesia yang terulang kembali pada Jumat (15/4) malam lalu seharusnya menjadi sinyal pemerintah agar lebih mengupayakan pembebasan 14 sandera dengan berkoordinasi dengan otoritas Filipina. "Titik rawan ada di wilayah kedaulatan Filipina. Di titik rawan ini yang menguasai adalah pemberontak bukan militer atau otoritas Filipina," kata Hikmahanto kepada gresnews.com, Rabu (20/4).

Ia mengatakan, dengan kejadian penyanderaan 14 orang WNI ini berarti sudah saatnya pemerintah melakukan identifikasi daerah-daerah rawan pembajakan dan penyanderaan. Tujuannya agar pemerintah dapat mengumumkan dan mengimbau para nakhoda kapal berbendera Indonesia untuk menghindar dari wilayah tersebut. "Bisa jadi ini berarti biaya transpor yang lebih mahal," katanya.

Namun hal ini merupakan opsi terbaik mengingat di wilayah rawan tersebut kemungkinan adalah basis Abu Sayyaf dan otoritas Filipina mungkin tidak memiliki kendali atas wilayah tersebut. Sebab, biasa terjadi di suatu negara yang terdapat pemberontakan mempunyai basis sendiri. "Tindakan mengidentifikasi dan mengumumkan harus segera dilakukan agar tidak terjadi korban berikut," ujarnya.

Pengamat Terorisme Yayasan Prasasti Perdamaian Taufik Andrie mengatakan, ketika berbicara area yang cukup berbahaya, dapat diidentifikasi di laut sisi utara Pulau Sulawesi. "Sebenarnya di laut kan banyak daerah perbatasan yang rawan karena jarang ada patroli," ujarnya kepada gresnews.com, Rabu (20/4).

Apalagi secara tradisional jalur-jalur tersebut merupakan jalur lalu lintas perdagangan. Kemudian daerah rawan lain terletak di wilayah perairan pulau kecil sebelah selatan Mindanao, Kepulauan Basilan, Sulu dan Tawi-tawi.

Sebetulnya jalur itu memang bukan jalur utama jalur perdagangan, sebab perdagangan banyak ke arah barat. Di mana ada pergerakan dari Asia Tenggara ke Asia Timur, Asia Tenggara ke Asia Selatan, Eropa dan sebagainya. Namun terdapat pula kapal-kapal dengan kepentingan bisnis yang harus melewati situ. "Jadi itu titik yang harus diwaspadai," ujarnya.

Ia menyatakan, upaya pemerintah yang hingga kini belum membuahkan hasil lantaran terhambat Filipina seharusnya menjadi harapan agar bisa lebih serius. "Jangan sedikit-sedikit bayar tebusan, ini bisa jadi preseden buruk. Nanti mereka pikir kita  gampang diperas," ucapnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Pandjaitan memang sempat menyatakan para sandera itu akan ditebus. Luhut mengatakan, keputusan ini diambil oleh perusahaan. Saat ini, proses pembayaran sedang berjalan. "Bukan kami, kita nggak bayar uang tebusan, tapi perusahaan. Uang perusahaan murni," kata Luhut

Menurut Luhut, hal ini bukan berarti menunjukkan sikap pemerintah yang lemah atau menyerah. Namun konstitusi di Filipina memang tidak membolehkan ada operasi militer asing di sana. Langkah selanjutnya adalah menjaga pengamanan di sekitar wilayah perairan Indonesia dan Filipina. "Seterusnya nanti kita kombinasi antara berjaga dan lainnya. Kita sudah bikin SOP baru, jelasnya besok pagi nanti saya jelaskan," tegasnya.

Sebanyak 10 WNI itu merupakan awak kapal tug boat Brahma 12 yang menarik kapal tongkang Anand 12 yang berisi 7.000 ton batubara. Kapal tersebut milik PT Patria Maritime Lines, anak perusahaan dari PT United Tractors Pandu Engineering.

Kelompok Abu Sayyaf sebelumnya meminta tebusan 50 juta peso atau Rp15 miliar dan dibayarkan paling lambat pada 8 April 2016. Namun hingga tenggat waktu lewat, belum ada informasi apakah tebusan sudah dibayarkan atau belum.

PENGAWALAN KAPAL - Terkait pengamanan armada kapal dagang Indonesia di kawasan itu, Presiden Joko Widodo telah memberi instruksi untuk melakukan pengawalan terhadap kapal-kapal Indonesia yang berada di sekitar perairan Filipina. Pengawalan dibutuhkan untuk mencegah aksi pembajakan atau penyanderaan anak buah kapal (ABK).

"Presiden sudah instruksikan itu untuk pergi-pulang ada pengawalan itu. Presiden sudah instruksikan," ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) di kantor Wapres, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (19/4).

Namun, hingga saat ini, JK menyebut tidak ada usulan penutupan jalur pelayaran yang menghubungkan dengan perairan Filipina. "Bahwa kapal-kapal Indonesia diperingatkan untuk hati-hati atau menghindari jalur itu, ya.  Tentu bisa dipertimbangkan tapi tidak mungkin Indonesia menutup, itu kan daerah pelayaran internasional," terangnya.

Menanggapi perintah Jokowi itu, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mengatakan, saat ini masih ada enam kapal Indonesia yang berada di wilayah perairan Filipina. Dia meminta kapal-kapal ini sementara tidak pulang ke tanah air jika tak ada pengawalan.

"Kalau tidak ada (pengawalan), kami sarankan tidak kembali dulu ke sini. Ini kan arah Tarakan dan Manado," ujar Jonan di kantor Wapres, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (19/4).

Jonan menyuarakan saran tersebut menyusul maraknya penculikan dan penyanderaan yang dilakukan kelompok militan Abu Sayaff di Filipina. Pun jika kapal-kapal tersebut harus kembali ke tanah air tanpa pengawalan, Jonan mengimbau agar menggunakan jalur pelayaran alternatif yang aman. "Ya rutenya suruh cari, kalau dikasih tahu nanti perompak tahu," ucapnya.

Jonan meminta sarannya ini diikuti. Setidaknya hingga ada kesepakatan antara Filipina dan Indonesia soal pengamanan alur pelayaran. "Saya dengar panglima (Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo) dan menlu (Menlu RI Retno Marsudi) bicara itu ke Filipina. Saya (kira) pengamanannya harus ditingkatkan," jelasnya.

TETAP SIAGAKAN PASUKAN - Sementara itu, pihak TNI sendiri tetap menyiagakan pasukan di kawasan Tarakan, Kalimantan Utara. Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengatakan, TNI siap menggerakkan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) untuk menjalani operasi militer pembebasan WNI bila otoritas Filipina mengizinkan. Pasukan itu sendiri merupakan gabungan dari prajurit TNI AD, AL, AU dan Brimob.

Senin, (18/4) kemarin, Jenderal Gatot telah meninjau kesiapan pasukan tersebut di Pangkalan Udara Tarakan. "Kalau mereka minta bantuan kita, dengan puji syukur, saya langsung berangkatkan. Pasukan saya sudah nunggu saja, sudah tanya kapan dia berangkat," ujar Gatot.

Dalam kunjungannya ke Lanud Tarakan, Gatot juga memberikan petunjuk-petunjuk kepada pasukan yang bersiaga tersebut. Dia menegaskan penyiagaan pasukan ini sesuai dengan instruksi Presiden Joko Widodo untuk bersiap melakukan tindakan tegas terhadap 14 WNI yang disandera.

"Saya datang ke sini untuk mengecek kesiapan semuanya. Saya tidak bisa jelaskan tempatnya dimana dan bentuk latihannya seperti apa. Latihan ini hanya untuk prajurit agar terbentuk feeling. Sehingga, suatu saat TNI disiapkan untuk berangkat, dan berdasarkan sejarah tidak ada yang gagal, kita harus optimis," sambungnya.

Dia menyebut jumlah pasukan yang disiagakan dari TNI AD, TNI AL, TNI AU dan Kepolisian mencapai ratusan personel. Ini disiapkan sesuai fungsi dan keahlian masing-masing unsur terkait operasi militer.

Terkait jaminan keselamatan ke-14 WNI yang disandera, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) telah meminta pemerintah Filipina tidak melakukan penyerangan ke lokasi penyanderaan WNI. "Pemerintah Filipina tidak merencanakan juga serangan, takut korban banyak. Kita minta itu jangan di daerah-daerah yang diperkirakan sandera itu berada," kata JK di kantor Wapres, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Rabu (20/4).

"Kita tetap negosiasi kemanusiaan. Mudah-mudahan dapat dicapai suatu solusi yang baik," sambung JK.

Menyoal pembayaran tebusan sebesar 50 juta Peso atau sekitar Rp15 miliar oleh perusahaan 10 orang ABK yang disandera kelompok Abu Sayyaf, JK mengatakan tidak tahu. Pemerintah, menurutnya, tidak pernah mendorong perusahaan untuk membayar tebusan.

"Saya tidak tahu perusahaan swasta, tetapi pemerintah selalu negosiasi pembicaraannya dengan pemerintah Filipina lewat jalur pemerintahan. Pemerintah tidak ingin melewati jalur, kalau pengusahanya ada jalur sendiri tentu itu terserah dia lah," imbuh JK.

Soal tebusan sendiri, otoritas militar Filipina juga mengimbau Indonesia tidak melakukan pembayaran tebusan demi menghentikan ´industri´ penculikan yang muncul di perairan negara tersebut. "Angkatan Bersenjata terus mendorong semua pihak untuk menjalankan kebijakan pemerintah soal no ransom policy," tegas juru bicara militer Filipina, Brigadir Jenderal Restituto Padilla kepada wartawan, seperti dilansir Reuters, Rabu (20/4).

Pernyataan Padilla itu menanggapi laporan media yang mengutip pernyataan menteri Indonesia bahwa uang tebusan untuk 10 Warga Negara Indonesia (WNI) yang disandera Abu Sayyaf akan dibayarkan dengan uang dari perusahaan.

Dalam pernyataannya, Padilla menegaskan otoritas Filipina tidak ingin pembayaran tebusan justru menambah subur praktik penculikan di wilayah perairannya. Otoritas Filipina berupaya keras untuk memutus aliran dana yang berpotensi memperkuat kelompok pemberontak dan militan semacam itu. "Menghalangi berkembangnya ´industri´ (penculikan) semacam ini," sebut Padilla soal dasar no ransom policy. (dtc)

BACA JUGA: