JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah akan menyelesaikan berbagai masalah sengketa perbatasan dengan negara tetangga mulai tahun ini. Hal itu ditegaskan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dalam peryataan pers menyambut tahun baru 2016, di Kementerian Luar Negeri, Kamis (7/1).

Retno menegaskan, kedaulatan adalah rumah yang harus dijaga. Keutuhan rumah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan hal yang tidak dapat ditawar. Namun demikian, diakui Menlu bahwa penyelesaian sengketa batas wilayah memerlukan waktu dan bukan merupakan hal yang dapat diselesaikan secara singkat.

Retno Marsudi mengemukakan, sepanjang tahun 2015 politik luar negeri Indonesia diarahkan pada upaya percepatan penyelesaian batas wilayah Indonesia secara damai. Dengan Roadmap tersebut, semua perundingan akan diaktifkan kembali termasuk perundingan batas wilayah yang tidak aktif sejak tahun 2003.

Menurut Menlu, 25 pertemuan batas wilayah telah dilakukan tahun 2015, dengan rincian 9 perundingan batas maritim dan 16 perundingan batas darat. Dalam konteks perundingan, setidaknya Indonesia sudah menjalin negosiasi dengan 6 negara untuk batas maritim dan batas darat bersama 3 negara Malaysia, Singapura serta Filipina.

"Indonesia dan Malaysia telah menunjuk Utusan Khusus untuk percepat proses perundingan penyelesaian batas wilayah Maritim," kata Menlu.

Retno juga mengatakan, pada tahun 2015, proses ratifikasi telah dilakukan untuk dua perjanjian perbatasan, yaitu Indonesia-Filipina dan Indonesia-Singapura.

Persoalan perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia, Singapura dan Filipina umumnya memang terkait soal penetapan Zona Ekonomi Ekslusif. Persoalan penentuan ZEE ini penting untuk segera dirampungkan karena selama ini kerap menimbulkan insiden pelanggaran batas wilayah dan tumpang tindih klaim khususnya mengenai pemanfaatan sumber daya alam.

Selain itu, pada tahun 2015, tercatat sudah dicapai dua perjanjian perbatasan yaitu antara Indonesia-Filipina mengenai delimitasi batas ZEE dan Indonesia-Singapura terkait delimitation of the teritorial seas in the eastern part of the Straits of Singapore.

Terkait ZEE, Indonesia memiliki Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati Laut di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Kawasan ini, memiliki nilai ekonomis dan penting bagi aset pengelolaan sumberdaya negara.

Menurut Konvensi Jenewa 1958 tentang Hukum Laut, kriteria penentuan lebar landas kontinen maksimum 12 mil laut. ZEE merupakan manifestasi bagi setiap negara-negara pantai, termasuk Indonesia, untuk melakukan pengawasan dan penguasaan terhadap segala macam sumber kekayaan laut.

Hal itu ditegaskan dalam Pasal 56 Konvensi Jenewa 1958, dimana ZEE suatu wilayah memberikan hak sepenuhnya kepada negara untuk keperluan eksplorasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam baik hayati maupun nonhayati seperti produksi energi dan lainnya.

"Salah satu kasus perbatasan wilayah yang sedang ditangani adalah teritorial pulau Miangas (Indonesia-Filipina) yang kini dipersiapkan naskah akademiknya terkait kejelasan garis ZEE perairan," kata Direktur Perjanjian Politik, Keamanan dan Kewilayahan Kementerian Luar Negeri Octavino Alimudin.

Walaupun secara teritori, pulau Miangas masuk wilayah Indonesia, namun kaburnya garis ZEE cukup berpengaruh terhadap hadirnya ancaman klaim. Posisi pulau yang memiliki kedekatan dengan kedua negara ini, bahkan menimbulkan insiden Indonesia dan Filipina.

PROSES PANJANG - Pemerintah memang dituntut serius menyelesaikan masalah sengketa wilayah karena menyangkut urusan kedaulatan. Perundingan yang jalan saat ini, dirasa perlu dipertahankan secara baik dari segi diplomasi dan negosiasi.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyebut, perundingan yang berjalan saat ini sebaiknya diikuti secara prosedural dan secara konsisten terus dipertahankan pemerintah. Menurutnya, perundingan batas memang seringkali dicapai lewat proses panjang dan kerap terjadi tarik ulur masing-masing pihak dengan beragam latar belakang kepentingan.

"Hasilnya memang melalui proses panjang namun masalah perbatasan jangan sampai mengganggu hubungan kedua bernegara," kata Hikmahanto kepada gresnews.com, Kamis (7/1).

Ia menilai, pemerintah tidak perlu terburu-buru menentukan keputusan apalagi sampai membawa kasus perbatasan ke meja Mahkamah Internasional apabila tidak ingin kehilangan kedaulatan. Sebab hal ini akan membawa kerugian kepada Indonesia seperti halnya konflik perairan Sipadan dan Ligitan yang akhirnya dimenangkan pihak Malaysia sesuai putusan Internasional Court of Justice pada 2002 lalu.

Hikmahanto menjelaskan, masalah perbatasan yang selama ini terjadi memuat beberapa klaim terhadap beberapa unsur yaitu kedaulatan, laut teritorial dan landasan kontinen. Belum lagi, klaim terhadap aspek sumberdaya alam.

Untuk contoh kasus klaim batas Indonesia-Malaysia, kata dia, kedua pihak sama-sama mempertahankan wilayahnya, Malaysia mengklaim dari sisi historis sementara Indonesia sesuai aspek hukum United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) atau konvensi tentang Hukum Laut 1982.

"Malaysia pakai peta 1979 dan Indonesia sesuai UNCLOS. Mereka bisa saja mempertahankan kedaulatannya secara historis," kata dia.

PERHATIKAN LAUT CHINA SELATAN - Selain diplomasi masalah perbatasan dengan negara tetangga, pemerintah juga diminta memperhatikan konflik di wilayah laut China Selatan. Pasalnya upaya China mendominasi wilayah itu dinilai sudah mulai mengganggu Indonesia.

Salah satunya adalah kabar adanya klaim China atas kepulauan Natuna. Akhir 2015 lalu bahkan sempat heboh Natuna diklaim China dan dimasukkan dalam peta wilayah China. Perairan ini memang sering dimanfaatkan kapal-kapal ikan China untuk mencuri ikan di perairan Indonesia.

Terkait masalah ini, Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan Indonesia tidak ada sengketa dengan China terkait wilayah Kepulauan Natuna. Ditegaskan Luhut, Kepulauan Natuna adalah milik Indonesia. "Sudah diberikan keterangan oleh Kementerian Luar Negeri Tiongkok, bahwa Natuna adalah milik pemerintah Indonesia," tegas Luhut, beberapa waktu lalu.

Dengan ini, lanjut Luhut, Indonesia bisa menarik garis Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) ke utara. "Dari Natuna kita bisa tarik garis ZEE yang ke utara. Kita melihat tidak ada sengketa kita dengan Tiongkok," kata Luhut.

Menhan Ryamizard Ryacudu pun menyebut bahwa gejolak di Laut China Selatan sudah kembali mereda. Ia juga memastikan bahwa Natuna dalam kondisi aman. "Sudah tingkat kuning, dari merah. Kita usahakan terus. Kita diplomasi. Kita orang Indonesia. Natuna enggak ada masalah sampai sekarang," ujarnya.

Jenderal purnawiran itu pun meminta agar tidak lagi ada pihak-pihak yang kembali memanaskan suasana. Apalagi Ryamizard secara khusus sudah melakukan diplomasi dengan pihak China.

"Jangan sampai ada yang usil, ada masalah lagi kalau ada yang usil. Saya sudah meredakan, sekarang tinggal baik-baikan, tapi kalau salah satu usil nanti ribut lagi, males juga saya nenangin," tukas mantan KSAD tersebut.

Mengenai adanya usulan bersama antara negara-negara yang berkonflik di LCS bersama China, Ryamizard tampaknya sudah tidak terlalu bersemangat. Sebelumnya saat bertemu Menhan China, Ryamizard mengusulkan hal tersebut.

"Sudah banyak orang patroli di sana. Memang awal dulu ada rencana, sekarang sudah banyak (yang patroli) ya biarin aja," kata menhan.

Di antara negara-negara yang berkonflik dengan China, Ryamizard memang dianggap sebagai mediator. Saat ada forum menhan pada Shangrila Dialogue beberapa waktu lalu, hanya Ryamizard yang diterima oleh pihak China.

Lantas bagaimana tanggapan Ryamizard mengenai AS yang mengirimkan kapal untuk ikut-ikutan berpatroli di Laut China Selatan? "Ya, Amerika sudah sama Jepang. Kan kita bilang sama China, kadang-kadang kita antipati. Saya bilang ini rumah kita bersama. Baik-baik saja," jawabnya. (dtc)

BACA JUGA: