JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kelompok perlawanan bersenjata di Filipina Abu Sayyaf kembali berulah dengan menyandera tujuh orang Warga Negara Indonesia (WNI). Mereka adalah anak buah kapal (ABK) kapal Charles 001 yang tengah berlayar di sekitar laut Sulu, Filipina, Senin (20/6) siang. Penyandera terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama membawa tiga ABK lalu kemudian kelompok kedua datang dan membawa empat ABK. Sedangkan enam ABK yang lain dibiarkan bebas.

Ini adalah penyanderaan ketiga kalinya tehadap WNI. Pemerintah pun kembali harus bekerja keras untuk membebaskan para sandera tersebut. Wakil Presiden Jusuf Kalla memastikan pemerintah melalui tim khusus tengah berupaya melakukan pembebasan terhadap 7 WNI itu.

"Sedang dikerjakan oleh tim. Crisis center di bawah (koordinasi) Polhukam, ada BIN, ada kepolisian. Sedang dicari solusinya," ujar JK usai berbuka puasa bersama di Jenggala Center, Jl Ciamis 1, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Sabtu (25/6).

JK menegaskan pemerintah akan mengupayakan sejumlah cara untuk membebaskan ketujuh WNI. "Pokoknya bagaimana sandera itu bisa kita lepaskan. Pemerintah Filipina juga jamin akan keras hadapi itu," katanya. "Iya Duterte (Presiden Filipina Rodrigo Duterte) itu keras. Sehingga ia ingin selesaikan dengan keras," sebut JK.

Pembebasan para sandera ini sendiri kemungkinan tidak berjalan mudah karena para sandera terpencar dibawa oleh dua kelompok berbeda. Kelompok pertama membawa tiga sandera dan kelompok kedua membawa dua sandera. Sedangkan 6 ABK sisanya dibiarkan melanjutkan perjalanan.

Menko Polhukam Luhut Pandjaitan menyebut kelompok penyandera sudah meminta uang tebusan. Namun Luhut tidak menyebut jumlah uang yang diminta. "Minta tebusan, angkanya mau diverified lagi," jelas Luhut di kantornya di Kemenko Polhukam, Jumat (24/6).

Penyanderaan terhadap WNI untuk yang ketiga kalinya oleh kelompok Abu Sayyaf ini mengundang pertanyaan dari berbegai pihak. Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin mempertanyakan kinerja lembaga negara terkait kembali terjadinya penyanderaan yang berulang kali oleh Kelompok Abu Sayyaf terhadap awak kapal berbendera Indonesia.

Pensiunan perwira tinggi TNI dengan pangkat mayor jenderal ini mengatakan, ada tiga hal yang patut dipertanyakan dari kejadian penyanderaan berulang itu. Pertama, harus dicatat bahwa Indonesia sebelumnya telah sangat toleran terhadap perompak dengan bersedia memberi tebusan demi menyelamatkan awak kapal yang disandera.

"Tapi, tebusan ini justru dimanfaatkan oleh perompak sebagai satu kelemahan untuk memeras kembali," kata Hasanuddin dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Sabtu (25/6).

Di sisi lain, Hasanuddin juga mempertanyakan sejauh mana dilakukan pencegah berikut melalui operasi patroli. Baik patroli sendiri maupun patroli bersama antarnegara. "Hal kedua, kemana itu patroli bersama antarnegara? Mengapa selama ini tidak efektif, lalu bentuk MoU itu seperti apa?" tegas Hasanuddin.

Lebih lanjut, Hasanuddin juga mempertanyakan soal perilaku para anak buah kapal (ABK) yang melintasi wilayah perairan rawan. Seharusnya, pasca kejadian sebelumnya, para ABK kapal menjadi semakin waspada. "Ketiga, kenapa para ABK tidak pernah berkoordinasi minta pengawalan dari pihak keamanan khususnya TNI AL misalnya? Mengapa bisa terulang lagi?" tegasnya.

Ancaman kelompok bersenjata di Filipina Selatan semakin besar setelah sejumlah peristiwa penculikan dan penyanderaan warga asing, termasuk WNI. Solusi kedepan, imbau TB Hasanuddin, pemerintah harus meningkatkan koordinasi "joint patrol" bersama negara-negara tetangga, khususnya dengan negara Asean.

"Diberlakukannya segera perlunya aturan wajib lapor ABK untuk minta pengawalan dari aparat patroli laut terutama saat melintasi daerah-daerah rawan perompakan," pungkas TB Hasanuddin.

MASALAH SERIUS - Sementara itu, Ketua DPR Ade Komarudin meminta pemerintah dan aparat segera membebaskan sandera dan tidak menganggap hal tersebut sebagai masalah enteng. "Ini ketiga kali, saya percaya kepada aparat yang menangani sudah punya langkah-langkah. Kalau bisa prosesnya dipercepat kalau sudah tahu apa yang harus dilakukan untuk masalah sandera," ungkap Ade.

Pria yang akrab disapa Akom ini menyoroti agar pembebasan sandera dilakukan dalam waktu secepatnya. Jangan sampai berlarut-larut seperti dua kasus penyanderaan sebelumnya. "Soal waktu harus lebih cepat, tidak boleh aparat menganggap masalah enteng karena semua harus sistematis. Tidak usah (dengan pendekatan militer), ini premanisme, vandalisme yang sesungguhnya bisa dilakukan dengan persuasif," tutur Akom.

Sayangnya ia enggan menanggapi apakah penyanderaan berulang lantaran pemerintah Indonesia "memanjakan" dengan pemberian uang tebusan. Namun Akom mengingatkan pentingnya kerjasama antara Indonesia dengan pemerintah Filipina dalam menangani permasalahan ini.

"Ini harus kerjasama dengan pemerintah setempat agar tidak berulang karena ini menyangkut kemanan nasional negara tersebut, bukan ideologi gerakan-gerakan teroris," ucap politisi Golkar itu.

Sementara itu, pihak intelijen Filipina menginformasikan, para pelaku penculikan ketujuh WNI itu adalah kelompok Abu Sayyaf di bawah pimpinan Majal Adja atau ´Apo Mike´. Seperti dikutip manilatimes.net, Minggu (26/6), pihak intelijen juga menyebutkan kelompok Apo Mike selalu bergerak dan berpindah-pindah karena dikejar oleh pasukan pemerintah.

Saat penculikan terjadi, kapten kapal sempat menghubungi istrinya dan mengabarkan dirinya telah diculik. Pelaku penyanderaan meminta tebusan sebesar 20 juta ringgit. Laporan intelijen menambahkan pelaku penculikan dan korban tiba dengan menggunakan dua kapal di Barangay Lagasan, kota Parang di provinsi Sulu pada Kamis (23/6).

Kelompok Apo Mike juga diketahui sebagai dalang di balik penculikan 4 awak kapal Malaysia pada April lalu. Para korban dilepaskan pada 7 Juni di Patikul, Sulu. Indonesia mengkonfirmasi terjadinya penyanderaan itu pada Jumat 24 Juni setelah sebelumnya beredar informasi yang simpang siur. Sedangkan Filipina akhirnya memverifikasi penculikan itu hari ini.

TIDAK DAPAT DITOLERANSI - Pemerintah indonesia mengecam keras terulangnya penyanderaan terhadap WNI oleh kelompok bersenjata di Filipina Selatan. "Kejadiaan yang ketiga kalinya ini sangat tidak dapat ditoleransi," kata Menlu Retno Marsudi dalam jumpa pers di Kemlu, Pejambon, Jakarta, Jumat (24/6).

Retno menegaskan, pemerintah akan melakukan semua cara yang memungkinan untuk membebaskan para sandera. Retno juga menyampaikan bahwa keselamatan WNI yang disandera dan belum diketahui posisinya ini menjadi prioritas.

Pemerintah, kata Retno, melakukan komunikasi intensif dengan sejumlah pihak terkait penyanderaan tujuh WNI yang diduga dilakukan salah satu faksi kelompok Abu Sayyaf. Para penyandera yang memang melakukan dengan motivasi uang ini belum diketahui jelas pemimpinnya.

Menyikapi penyanderaan itu, pemerintah membentuk crisis center untuk mengintensifkan penyelamatan para sandera. "Pertama adalah crisis center akan segera bekerja. Crisis Center ini sebagaimana teman-teman ketahui sudah ada sudah bekerja saat upaya pelepasan sandera sandera sebelumnya. Oleh karena itu kita on-kan lagi Crisis Center untuk menangani penyanderaan ini," jelas Retno.

Menurut Retno, pihaknya melakukan komunikasi, tak hanya dengan pemerintah Filipina, tetapi juga dengan pihak lain. "Yang kedua adalah komunikasi intensif dengan pihak-pihak lain yang berada di Indonesia atau yang ada di Filipina akan diintensifkan," terang Retno tanpa memerinci pihak lain tersebut.

Komunikasi dilakukan agar dapat menerima informasi secara detail bagaimana dan siapa yang melakukan penyanderaan. "Dan berusaha me-locate di mana dan pihak mana yang menyandera. Sudah ada beberapa informasi yang mengatakan lokasi dan pihak yang menyandera tapi kita butuh klarifikasi. Oleh karena itu kita butuh komunikasi intens. Komunikasi dilakukan untuk menentukan langkah-langkah yang akan diambil untuk penyelamatan sandera," tegas Retno. (dtc)

BACA JUGA: