JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mendapat laporan adanya pemberian gratifikasi sejumlah uang dari Dinas Tata Kelola Air sejumlah Rp130 juta. Laporan tersebut merupakan kali kedua pada awal tahun 2016 ini.

Sebelumnya, KPK mendapat laporan serupa, juga berasal dari Dinas Tata Kelola Air dan juga Dinas Perumahan berupa gratifikasi baik dalam mata uang asing maupun rupiah. Jika dikonversi jumlahnya pun cukup mencengangkan yaitu lebih dari Rp10 miliar.

Pelaksana harian Kepala Biro Hubungan Masyarakat KPK Yuyuk Andriati Iskak mengatakan bahwa pemberian keseluruhan berupa uang baik dalam bentuk rupiah, dollar Singapura dan dollar Amerika. Masing-masing uang tersebut yaitu S$8.100 ditambah US$100 ribu.

"Kemudian hari ini ada tambahan lagi laporan gratifikasi dari Dinas Tata Kelola Air sebesar Rp130 juta setelah sebelumnya melaporkan Rp190 juta," kata Yuyuk di kantornya, Jumat (15/1).

Pada pertengahan bulan ini saja, KPK sudah mendapat tiga kali laporan pemberian gratifikasi yang keseluruhannya berasal dari Pemrov DKI Jakarta. Sebelumnya, seorang dokter RSCM juga melaporkan pemberian berupa parsel senilai Rp300 ribu.

Jumlah laporan ini menjadi rekor baru bagi KPK setelah pada Desember lalu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said juga melaporkan pemberian gratifikasi berupa berlian senilai hampir Rp4 miliar pada Desember 2015. Sudirman pun diganjar penghargaan oleh lembaga antirasuah ini.

"Sampai sekarang sih iya (jadi yang terbesar) setelah kemarin laporan gratifikasi Sudirman Said," ujar Yuyuk.

PEMBERI GRATIFIKASI KENA PIDANA - Terpisah, Direktur Gratifikasi KPK Giri Suprapdiono saat dikonfirmasi gresnews.com mengatakan, jumlah gratifikasi yang dilaporkan oleh penyelenggara negara sebanyak 1573. Dari jumlah tersebut unsur pemerintahan menjadi pelapor terbanyak dari pada unsur lainnya.

"Paling banyak eksekutif. Total laporan untuk nasional 1.573, dan kisarannya Rp30 miliar," kata Giri Sabtu (16/1).

Dari jumlah tersebut, Rp8 miliar diantaranya disita oleh KPK dan dikembalikan kepada negara. Sedangkan sisanya yaitu Rp22 miliar dikembalikan lagi kepada pihak pelapor. Sebab, setelah ditelusuri pemberian tersebut tidak termasuk unsur gratifikasi.

"Rata-rata cinderamata pernikahan. Dan kita telaah itu bukan gratifikasi, tidak termasuk Pasal 12 B Undang-Undang Tipikor," pungkas Giri.

Dalam pasal tersebut, setiap penyelenggara negara yang menerima gratifikasi diancam hukuman penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Selain itu, ia juga harus membayar denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.

Tetapi, ancaman itu akan hilang dengan sendirinya jika penerima dalam batas waktu 30 hari melaporkan kepada KPK. Kemudian bagaimana dengan si pemberi jika gratifikasi itu sudah dilaporkan?

"Kami akan peringatkan untuk tidak memberi gratifkasi lagi. Beberapa diantaranya bahkan sudah pernah dilakukan penindakan," pungkas Giri.

Namun sayang, Giri enggan menjelaskan maupun mencontohkan kasus apa yang naik ke penindakan yang berasal dari laporan pemberian gratifikasi. "Kalau ini tidak untuk dipublikasi," pungkas pria yang pernah mencalonkan diri sebagai komisioner KPK itu.

ATURAN HUKUM GRATIFIKASI - Dilansir dari situs www.kpk.go.id, pemberian gratifkasi dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 C ayat (1), ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kemudian dalam Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001 menyatakan jika setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Para penerima gratifikasi diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Ancaman itu berlaku bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

Penyelenggara negara yang wajib melaporkan gratifikasi yaitu pejabat negara pada lembaga tinggi dan tertinggi negara, pejabat negara seperti menteri maupun hakim. Kemudian duta besar dan wakil, gubernur, bupati / walikota dan wakilnya.

Selanjutnya komisaris, direksi, dan pejabat struktural pada BUMN dan BUMD, pimpinan Bank Indonesia, pimpinan perguruan tinggi, pimpinan eselon satu dan pejabat lainnya yang disamakan pada lingkungan sipil dan militer. Kemudian jaksa, penyidik, panitera pengadilan, pimpinan proyek atau bendaharawan proyek perusahaan negara.

BACA JUGA: