JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah Australia melalui kedutaan besarnya di Jakarta membantah beredarnya kabar yang menyebut keterlibatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri dalam kasus pencetakan uang (securency). Kasus tersebut dikabarkan melibatkan sejumlah tokoh politik di Asia Pasifik, sebagaimana diberitakan Wikileaks.

Dalam siaran persnya, Kamis (31/7), Kedubes Australia mengakui adanya perintah pencegahan penyebarluasan informasi yang bisa memberi kesan keterlibatan tokoh politik senior tertentu dalam korupsi di kawasan Asia Pasifik. Namun Kedubes Australia di Jakarta menegaskan, Presiden (SBY, red) dan mantan Presiden Indonesia (Megawati Soekarnoputri, red) bukan pihak yang terlibat dalam proses pengadilan securency.

"Pemerintah Australia menekankan bahwa presiden dan mantan presiden RI bukan pihak yang terlibat dalam proses pengadilan securency," begitu pernyataan pers Kedubes Australia yang dikutip Gresnews.com Jumat (1/8).

Dalam pernyataannya dijelaskan pula pemerintah Australia memperoleh perintah pencegahan penyebarluasan informasi yang bisa memberi kesan adanya keterlibatan tokoh politik dalam kasus korupsi.

"Pemerintah Australia memandang bahwa perintah pencegahan tetap merupakan cara yang terbaik untuk melindungi tokoh politik senior dari risiko sindiran yang tak berdasar," lanjut pernyataan pers tersebut.

"Ini merupakan kasus rumit yang telah berlangsung lama yang menyangkut sejumlah besar nama individu. Penyebutan nama-nama tokoh tersebut dalam perintah itu tidak mengimplikasikan kesalahan pada pihak mereka. Kami menyikapi pelanggaran perintah pencegahan ini dengan sangat serius dan kami sedang merujuknya ke kepolisian," begitu penjelasan pernyataan pers yang dimuat di situs Kedubes Australia.

Dikatakan dalam siaran pers itu, bahwa Pemerintah Australia menyikapi pelanggaran perintah pencegahan ini dengan sangat serius, dan sedang merujuknya ke kepolisian.

Sebelumnya seperti diberitakan setkab.go.id dalam konperensi pers di kediamannya Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Kamis (31/7), Presiden SBY meminta agar Pemerintah Australia memberikan penjelasan mengenai informasi yang dikeluarkan Wikileaks terkait sinyalemen adanya perintah mencegah penyidikan atas dugaan korupsi sejumlah pejabat di negara Asia.

"Berita yang dikeluarkan oleh Wikileaks sesuatu yang menyakitkan, saya mengikuti apa yang dilaksanakan Australia, Menlu laporkan pada saya setelah komunikasi dengan Duta Besar RI di Canberra dan Duta besar Australia," kata Presiden.

Presiden Yudhoyono merasa perlu untuk segera melakukan klarifikasi atas berita tersebut dan mengumpulkan sejumlah keterangan mengenai hal tersebut dari pejabat terkait.

"Berita seperti ini cepat beredar dan kemudian karena sangat sensitif, karena menyangkut kehormatan dan harga diri baik Ibu Megawati, dan saya sendiri, maka saya ambil keputusan untuk melakukan sesuatu bertindak dan mengeluarkan pernyataan ini,” jelas Presiden SBY seraya menyebutkan, pemberitaan seperti itu mencemarkan dan merugikan nama baik mantan presiden Megawati Soekarnoputri dan saya sendiri, serta menimbulkan spekulasi dan kecurigaan.

Presiden SBY menyatakan telah mendapatkan penjelasan keterangan sejumlah pihak antara lain Gubernur BI Agus Marto dan Menteri Keuangan Chatib Basri kemudian Kapolri, esensi atau rangkuman penjelasan sebagai berikut; pertama mengenai Indonesia yang pernah mencetak uang di Australia oleh perusahaan bernama Note Printing Australia (NPA) tahun 1999.

"Yang mencetak adalah NPA dan organisasi itu dalam naungan Bank Central Australia sebanyak 555 juta lembar dengan pecahan Rp 100.000. Itu fakta pertama," ujarnya.

Kedua, keputusan kebijakan pengawasan dan kewenangan untuk cetak uang itu termasuk cetak uang itu ada pada BI, bukan pada pemerintah, bukan pada Presiden. Hal itu kewenangan Indonesia serta menjadi tugas BI dan peraturan yang berlaku bagi bangsa Indonesia.

"Sedangkan yang keempat sebenarnya baik Ibu Mega dan saya belum jadi Presiden poin saya adalah itu kewenangan BI pada saat uang itu dicetak tidak terlibat dalam arti mengambil keputusan atau pun mengeluarkan perintah Presiden," jelas SBY.


BACA JUGA: