JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus penyanderaan 10 orang WNI oleh kelompok Abu Sayyaf sebelumnya dinilai merupakan sebuah tindak kriminal biasa dengan motif ekonomi, yaitu mencari uang tebusan untuk membiayai "perjuangan". Kini muncul teori lain yang menyatakan uang tebusan hanya sebagai kedok lantaran terdapat kasus lain yang lebih besar.

Pengamat ekonomi-politik Hendrajit menyatakan kejadian penyanderaan 10 WNI yang kabarnya dilakukan oleh Kelompok Abu Sayyaf di Filipina memiliki keterkaitan dengan insiden Natuna. "Insiden Natuna sangat tidak tepat kalau pengembangan beritanya mengarah ke konflik militer TNI AL versus AL China," kata Hendrajit.

Ia menduga benang merah dari kedua kejadian ini sama, penyelundupan dengan menggunakan modus, serah terima antara mafia pemasok dan mafia pembeli di lepas pantai. Hanya saja sepertinya, operasi intelijen memberantas penyelundupan ilegal itu ada yang meleset di Natuna, sehingga yang mencuat malah insiden Angkatan Laut kedua negara.

Dalam kasus Natuna, memang masih remang-remang perihal barang apa sesungguhnya yang ada di kapal China. Tapi dalam kasus penyanderaan 10 WNI, ia menduga lebih jelas, karena menurut info, kapal yang rencananya akan ke Filipina Selatan itu, membawa batubara. Sedangkan China sekarang masih peringkat teratas sebagai negara penghasil batu bara. "Pertanyaannya, batubara itu siapa yang nyuruh bawa ke kapal, ke mana, kepada siapa, dan untuk apa," kata Hendrajit.

Ia melanjutkan, belajar dari insiden di Natuna, bisa saja kapal yang membawa batu bara ini juga bermodus serupa. Yaitu mau melakukan serah terima antara mafia pemasok dengan mafia pembeli. Hanya saja operasi penyelundupan ini ada yang berhasil mengendus, sehingga dicegat dengan gerakan penyanderaan dan pemerasan.

Untuk itu, seluruh pengungkapan kasus justru harus dimulai dari fakta bahwa ada pengiriman batubara yang dilakukan lewat kapal, yang kemudian disandera oleh yang konon disebut Kelompok Abu Sayyaf. "Dari sini kita baru nyadar, ini memang penyanderaan benaran atau cuma drama doang," ujarnya.

Sebab menurut pemberitaan, Kelompok Abu Sayyaf meminta tebusan Rp15 miliar atau 50 juta peso. Baginya, uang senilai itu dengan pertaruhan melalui modus penyanderaan dan terorisme dianggap terlampau kecil.

Apalagi dalam sebuah wawancara pagi salah satu stasiun TV, anggota Komisi I DPR TB Hasanudin maupun Nasir Abbas, mengatakan penyanderaan bermotif pemerasan ini merupakan kerjaan kelompok turunan atau derivat dari Abu Sayyaf yang sekarang di bawah pimpinan Kadafi Janjalani, putra dari Abdul Rojak Janjalani, pendiri Abu Sayyaf Group.

Jika hal tersebut benar adanya, berarti sangat mungkin kelompok ini hanyalah orderan dari kekuatan yang lebih besar, entah dari dalam ataupun luar negeri. "Maka kunci pengungkapan ya itu tadi, ungkap soal batubara yang ada di kapal," katanya.

KASUS NARKOBA ASEAN - Kemudian Hendrajit menceritakan ulang kejadian kisruh Natuna antara TNI AL dengan kapal coast guard China beberapa waktu lalu, yang disinyalir pemicunya bukan soal pencurian ikan, tapi kasus penyelundupan narkoba. Sayangnya hingga kini belum terang bagaimana sebenarnya cerita sebelum timbul penembakan tersebut.

Sekadar latar belakang, ia menceritakan sedikit soal kaitan narkoba dan ASEAN. Pada 9 Mei 2013 lalu, China dan lima negara yang tergabung dalam ASEAN, telah menandatangani kerjasama memberantas perdagangan narkoba yang dianggap telah menjadi sebuah ancaman yang berbahaya bagi kawasan Asia Tenggara.

Kesepakatan kerjasama antara China dan lima negara anggota ASEAN tersebut berlangsung tak lama setelah berakhirnya pertemuan para menteri dari China, Laos, Myanmar, Thailand dan Vietnam.

Kesepakatan yang berlangsung di Naypyitaw, ibukota Myanmar yang menyatakan: "Konsumsi dan produksi narkoba semakin meningkat, di kawasan Asia Tenggara maupun dunia, sehingga menjadi ancaman serius bagi kawasan ini".

"Berdasarkan kesepakatan tersebut, akan segera diperketat kerjasama lintas batas, dan meningkatkan program pembangunan alternatif maupun berbagi pengalaman dalam pencegahan penggunaan narkoba," jelas Hendrajit.

Yang tak kalah pentingnya, akan diadakan program gerakan penyadaran, perawatan dan sekaligus juga berbagai pelatihan yang tujuannya adalah untuk pencegahan merebaknya konsumsi penggunaan narkoba di kalangan warga masyarakat. "Yang menjadi sisi menarik dari kerjasama ini, Malaysia, Singapura dan Indonesia tidak dilibatkan sama sekali," ujar Hendrajit.

Ia mempertanyakan hal ini, apakah lantaran kabar yang mulai merebak bahwa Malaysia saat ini dijadikan sebagai basis utama perdagangan narkoba lintas negara menggantikan Singapura yang sudah terlalu terbuka sebagai sarang pengdar narkoba? Tapi hal janggal lain, mengapa Indonesia malah tidak ikut dalam kesepakatan antar negara ASEAN bersama China?

Padahal Indonesia merupakan pemain sentral di ASEAN sejak awal berdirinya. "Pada tataran ini, karena perjanjian ini dibuat pada 2013 ketika SBY masih presiden, mungkin alumni AMN 1973 ini lah yang lebih pas menjawab ini," sindirnya.

Maka, Hendrajit melanjutkan terdapat sesuatu yang meleset dalam operasi intelijen tersebut yang membuat para pejabat pemerintahan termasuk Presiden dan Menko Polhukam seperti salah tingkah menyikapi insiden itu. Dengan kata lain, ada kebocoran dari internal, sehingga yang seharusnya menjadi operasi senyap, tapi kemudian malah bergeser seakan terjadi clash antara angkatan laut kedua negara.

"Pertanyaannya kemudian, kebocoran itu datangnya dari internal pihak berwenang Cina atau malah jangan-jangan dari internal berwenang kita sendiri. Sehingga akhirnya mencuat menjadi clash militer kedua negara," tutup Hendrajit.

FILIPINA TOLAK BANTUAN INDONESIA - Sementara itu, pemerintah sendiri masih terus berupaya membebaskan para sandera yang berada di tangan kelompok radikal Filipina itu. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, dalam 3 hari terakhir ini, koordinasi dan komunikasi dengan Filipina semakin diintensifkan. "Komunikasi saya dengan Menlu Filipina sangat intensif. Komunikasi terakhir saya lakukan pagi ini pukul 08.13," ujar Retno di Kementerian Luar Negeri, Kamis. (31/3).

Lebih lanjut ia menyatakan secara paralel, koleganya juga tengah melakukan komunikasi dengan para counterpartnya. Dari segala usaha, penjajakan untuk menghasilkan opsi terbaik terus dilakukan. "Sebagaimana yang saya sampaikan Selasa yang lalu keselamatan ABK menjadi acuan utama kita," katanya.

Retno juga telah memperoleh informasi mengenai pergerakan, posisi dan kondisi para sandera dari waktu ke waktu dan telah melakukan komunikasi dengan pihak keluarga ABK. Namun, ia menyatakan dukungan Pemerintah Filipina sangat krusial bagi upaya yang tengah dilakukan. "Indonesia menghargai kerja sama dan dukungan yang baik yang diberikan Pemerintah Filipina sejauh ini," ujarnya.

Indonesia memang meminta jaminan Filipina terkait keselamatan para ABK yang disandera. Hal ini dilakukan setelah militer Filipina menolak tawaran bantuan yang diajukan pihak Indonesia untuk membebaskan 10 WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf.

"Yang paling penting harus ada jaminan WNI itu bisa diselamatkan, karena bagaimanapun sekarang ini sudah dalam koordinasi Kemlu, Polri, TNI dan kita bersabar masih menunggu dan kita berkoordinasi dengan pemerintah Filipina meminta jaminan agar WNI yang ditawan segera bisa dibebaskan. Komunikasi terus dilakukan," kata Seskab Pramono Anung di kompleks Istana, Jl Veteran, Jakpus, Kamis (31/3).

Pemerintah sendiri tidak akan memenuhi permintaan tebusan sebesar Rp15 miliar yang diminta kelompok Abu Sayyaf. Pemerintah menegaskan tidak terpengaruh dengan ancaman kelompok Abu Sayyaf yang akan membunuh sandera bila uang tebusan tidak diberikan. "Pemerintah tidak mau ditekan oleh siapapun, apalagi oleh para perampok, pemerintah tidak mau membayar 50 juta peso," tegas Pramono Anung.

Untuk menggali informasi terkait progres kasus penyanderaan ini, Presiden Joko Widodo juga sudah memerintahkan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso untuk turun tangan. Sutiyoso sendiri kemudian mengaku memahami alasan militer Filipina menolak bantuan Indonesia. Militer Filipina disebut tak mau harga dirinya turun karena menerima bantuan dari militer Indonesia.

"Memang mereka kan mungkin harga diri dan reputasi jadi pertimbangannya. Kita juga kalau ada penyanderaan yang di sini kan kita selesaikan sendiri. Tentu secara politis tidak mudah membuat opsi serangan karena ada aspek politis," jelas Bang Yos yang memberi pernyataan bersama Pramono.

BIN, kata Sutiyoso sudah mengetahui di mana lokasi para sandera berada. "Saat ini kita tahu persis lokasinya di mana. Tapi mereka tidak berada di satu tempat satu rumah gitu dipencar," kata Sutiyoso.

Sutiyoso menerangkan, para WNI juga disekap besama 11 orang lain yang berasal dari beberapa negara. Pemerintah pun akan segera memutuskan langkah apa yang akan diambil untuk membebaskan para sandera.

"Di samping 10 warga negara Indonesia Sebenarnya ada 11 menurut informasi intelijen Filipina. 6 dari Filipina lalu 2 dari Kanada, 1 Belanda, 1 Italia dan 1 Norwegia," jelas Bang Yos. (Gresnews.com/Dimas Nurzaman/dtc)

BACA JUGA: