JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penembakan dan kekerasan terkait kasus sengketa tanah yang masih terus terjadi, seperti dialami warga di Sulawesi Tenggara pekan lalu. Hal ini menjadi cermin menguapnya janji Jokowi untuk menyelesaian ribuan kasus konflik tanah. Fakta di lapangan, ruang aman dan keadilan agraria bagi rakyat hanya tinggal janji dalam teks Nawacita.

Kondisi ini diperburuk dengan konflik elit politik dalam kekuasaan nasional dan kebijakan pembanguan terkait penguasaan dan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA).  "Janji penyelesaian problem pokok konflik tanah semakin menjauh," ujar Pengkampanye Nasional  Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Edo  Rahman kepada Gresnews.com, Senin (11/5).

Masalah sengketa tanah, yang semakin kronis dan massif sama sekali tidak menjadi prioritas utama Presiden Jokowi untuk segera dituntaskan. Sebab lagi-lagi kekerasan berdarah kepada kaum tani kembali terjadi pada 3 Mei 2015 lalu.

Aparat gabungan Kepolisian Resort Kota Kendari dan Satuan Brimob menembak tiga warga Desa Polara, Desa Tondonggito, Desa Waturai dan Desa Kekea di Pesisir Pulau Wawonii, Kendari, Sulawesi Tenggara saat menangani sengketa tanah. Diman dalam kasus tersebut melibatkan perusahaan tambang PT. Derawan Berjaya Mining (DBM). Perusahan DBM merupakan perusahan tambang krom bagian dari Grup IGAWARA Industrial Service and Trading PTE LTD.

"Konflik warga dengan perusahaan tambang ini telah berlangsung sejak tahun 2008 dan hingga kini belum ada penyelesaiannya," ujarnya.

Berdasarkan temuan sementara Walhi Sulawesi Tenggara dan beberapa organisasi yang menangani laporan warga empat desa di Pesisir Pulau Wawonii, sedikitnya ada 14 orang, termasuk ibu-ibu petani menjadi korban kekerasan brutal. Mereka mendapat penembakan, penganiayaan, dan pelecehan seksual yang dilakukan pada sekitar pukul 04.00 WITA dini hari (3/5).

Tindakan brutal aparat kepolisian dengan unsur Satbrimob ini dikomandoi oleh Kapolda Sulawesi Tenggara, Brigjend Polisi Drs. H. Arkian Lubis dan Kapolresta Kendari AKBP Ilham Saparona.  Penanganan konflik agraria ini dapat dikategorikan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Sebab, aparat kepolisian telah melakukan tindakan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang, merendahkan martabat, dan penghukuman yang kejam yang secara jelas dilarang UUD 1945 dan UU HAM.

Kekerasan tersebut juga melanggar Peraturan Kapolri (Perkap) No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas-Tugas Kepolisian RI. "Sebagai institusi, Kapolri harus bertanggung jawab untuk mengusut tuntas bawahannya yang mengabaikan prinsip HAM dan keadilan," tuntut Edo.

Penyelamatan lebih kurang dua ribu warga dari daya rusak perusahaan tambang harus menjadi prioritas. Pemerintah pusat dan pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara harus segera turun tangan dengan mencabut SK Bupati Konawe Nomor 63/2007 yang menjadi dasar beroperasinya pertambangan IUP PT. DBM di areal seluas 10.070 Ha.

Berdasarkan data Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), pada tahun 2010 Group DBM mendapatkan sedikitnya empat konsesi tambang Kromit di pulau Wawonii melalui SK No. 23, 24, 25 dan 26 tahun 2010. Keempat SK ini diterbitkan pada tahun dan hari yang sama, yakni pada 5 Januari 2010 dengan total luas 5.686 hektar.

Aktivitas ini dinilai telah  melanggar Pasal 35 huruf i dan k UU No.27/2007 tentang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang melarang penambangan pasir dan mineral pada wilayah yang secara teknis, ekologis, sosial dan budaya menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan serta merugikan masyarakat. Hal ini sebab melihat fakta Pulau Wawoni sebagai pulau kecil dengan luas 867,58 km2 sesungguhnya tidak diprioritaskan bagi pertambangan

Sementara Kapolda Sultra, Brigjendpol. Arkian Lubis telah berjanji akan mengusut tuntas tindakan represif aparat kepolisian yang melakukan penembakan dan kekerasan pada beberapa warga Polara, Kecamatan Wawonii Barat, Kabupaten Konawe. Ia sendiri telah menurunkan tim investigasi dari Propam dan Irwasda guna mengecek dan menyelidiki tata cara penangkapan.

"Jika dalam proses penangkapan ada pelanggaran Protap, maka pasti akan ada sanksi pada anggota yang berbuat di luar dari tugas sebagai polisi," katanya beberapa hari lalu.
   
Ia menepis anggapan tindakan kekerasan jajarannya pada warga Polara karena berada di belakang investor tambang PT. DBM. Polisi semata-mata hanya menjalankan tugas negara dimana dalam kasus ini mereka hanya mengusut insiden pembakaran perusahaan yang dilakukan warga hingga menyebabkan kerugian mencapai puluhan miliar rupiah.

"Kami tidak pernah mengurusi konflik agraria," ujar Arkian.
   
Seperti diketahui, pekan lalu, aparat kepolisian menembak tiga warga Polara bernama Adam, Malinta dan Tamrin. Selain itu polisi juga menahan warga yang diidentifikasi sebagai pelaku pembakaran di area pertambangan PT. DBM karena konflik tanah tersebut.

BACA JUGA: