JAKARTA, GRESNEWS.COM - Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Wicipto Setiadi mengakui kesulitan menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU-XI/2013 yang membolehkan Peninjauan Kembali Berkali-kali. Putusan itu sulit dituangkan dalam dalam Peraturan Pemerintah (PP).Putusan MK, menurutnya, sangat umum sementara mengkonkretkannya tidak mudah karena ternyata akan muncul banyak pendapat.

"Begitu dituangkan dalam norma-norma rancangan menjadi tidak mudah. Misalnya putusan MK soal peninjauan kembali boleh berkali kali," ujar Wicipto usai memberikan keterangan dalam sidang pengujian undang-undang di MK, Jakarta, Kamis (7/5).

Ia menjelaskan, putusan MK sulit diterapkan ketika MK membatalkan sebuah UU dan memberlakukan UU yang lama untuk menghindari kekosongan hukum sebelum ada UU yang baru. Persoalannya ketika UU lama diberlakukan, terdapat peraturan pemerintah (PP) di bawahnya yang harus diberlakukan juga. Tapi dalam putusan MK, ketika UU lama dihidupkan tidak disebutkan untuk menghidupkan juga peraturan pelaksanaannya.

"Bayangkan UU lama diberlakukan lagi, kan PP-nya sudah lama-lama juga," lanjut Wicipto.

Wicipto mencontohkan kesulitan dalam merumuskan secara konkret putusan MK ke dalam draf rancangan PP soal Peninjauan Kembali berkali-kali. Putusan MK memperbolehkan adanya Peninjauan Kembali ketika ada novum atau bukti baru. Secara substantif menurutnya sulit menjabarkan seperti apa bukti baru atau novum.

Pada kasus terpidana mati asal Filipina Mary Jane, ia masih mempertanyakan apakah kasus perdagangan manusia bisa dijadikan novum atas kasus lainnya yaitu narkoba. Menurutnya pengertian novum tersebut harus diperjelas. Ia menjelaskan hingga kini fokus pembahasan dalam PP soal Peninjauan Kembali berkali-kali lebih pada soal novum. Kalau penjelasan detail tentang novum tidak bisa dirumuskan maka PP ini akan kembali pada rumusan novum Pasal 184 KUHAP.

Menanggapi hal ini, Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat mengatakan putusan MK terkait dengan sebuah substansi norma. Sehingga ketika suatu norma dalam sebuah UU sudah dibatalkan, substansi yang sama dalam UU yang lain harus mengikuti putusan MK.

"Di Mahkamah Konstitusi dimanapun seperti itu. Karena kita baru berpengalaman selama 12 tahun, itu belum dipahami semua pihak," ujar Arief saat ditemui wartawan di ruanga kerjanya, Kamis (7/5).

Ia melanjutkan, putusan MK bergantung pada kesadaran dari stakeholder atau pemangku kepentingan. Sebab MK tidak memiliki eksekutor. Berbeda dengan Mahkamah Agung yang memiliki eksekutor. "Misalnya dalam hal hukuman mati eksekutornya kejaksaan," kata Arif.

Terkait pernyataan Wicipto soal sulitnya menafsirkan putusan MK, ia membenarkan untuk mewujudkan putusan MK memang masih membutuhkan pengkajian kembali. Dalam putusan MK soal Peninjauan Kembali boleh berkali-kali, dianggap sudah sangat jelas bahwa PK bisa diajukan ketika ada novum.

Novum itu sendiri menurutnya semua bukti baru yang tidak terungkap di dalam proses persidangan yang telah berjalan. Adapun pihak yang menentukan bukti bersangkutan novum atau bukan, hal tersebut merupakan kewenangan dari hakim.

BACA JUGA: