JAKARTA, GRESNEWS.COM - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arif Hidayat menegaskan setiap putusan Mahkamah Konstitusi bersifat erga omnes, termasuk soal Peninjauan Kembali (PK) boleh diajukan lebih dari sekali ketika ada novum. Artinya ketika norma PK dibatasi hanya sekali, secara otomatis norma pembatasan PK itu batal berlaku dalam undang-undang dan aturan lainnya.

Menurut Arif, pengertian bersifat erga omnes, maksudnya ketika MK membatalkan ayat, pasal, atau undang-undang (UU), sebetulnya MK membatalkan norma atau substansi yang terkandung dalam pasal bersangkutan. Memang ia tak menyangkal sifat erga omnes ini belum tentu dimengerti oleh semua pemangku kepentingan (stakeholder).

"Karena masih ada orang yang menganggap pasal tertentu dibatalkan lalu dibuat UU baru dengan memasukkan pasal tersebut. Padahal kalau ada substansi yang dibatalkan MK dalam UU, maka itu sudah tidak berlaku lagi di UU lainnya yang memuat substansi yang sama," ujar Arief ditemui wartawan di ruangannya, di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (6/5).

Ia mencontohkan putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 yang membatalkan PK hanya boleh sekali dalam KUHAP, substansinya pernah diajukan uji materi lagi dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Padahal substansi norma soal pembatasan PK hanya sekali pernah dibatalkan MK. Sehingga substansi norma pembatasan PK secara otomatis tidak berlaku lagi dalam UU lainnya.

MK membatalkan pembatasan MK hanya sekali untuk betul-betul menjaga hak asasi manusia (HAM). Sehingga tidak akan terjadi kejadian ketika ada novum, tapi terpidana mati sudah terlanjur dieksekusi. Menurutnya, HAM tidak boleh dibatasi oleh prosedur. Sebab jelas semua pihak pasti menginginkan adanya kepastian hukum yang berkeadilan. Sehingga kepastian hukum tidak boleh melanggar HAM. Ia menilai kepastian hukum harus berkelanjutan.

Terkait novum, ia menjelaskan novum merupakan bukti baru yang belum terungkap di persidangan. Penilai novum tentunya adalah hakim. Ia mencontohkan pada terpidana asal Filipina Mary Jane Veloso yang ditunda eksekusinya pada gelombang kedua eksekusi mati April 2015. Di Filipina ada orang yang mengaku memproduksi narkoba yang berada di koper Mary Jane. Menurutnya, hal tersebut adalah novum atau bukti baru yang belum terungkap. Sehingga tindakan kejaksaan untuk menunda dan bukan membatalkan eksekusi dinilai telah tepat.

Ia menilai novum tetap harus diuji untuk menghindari adanya kemungkinan rekayasa. Misalnya orang yang mengaku sebagai produsen narkoba di Filipina terbukti bersalah dan dihukum. Tapi karena di Filipina tidak ada hukuman mati maka yang bersangkutan hanya dipenjara. Menurutnya, hal itu bisa saja direkayasa untuk menyelamatkan Mary Jane. Sehingga ketika hukuman terhadap Mary Jane ditinjau lagi dan hukuman matinya diubah, orang yang mengaku sebagai produsen narkoba bisa saja dilepas dari hukumannya.

Atas kemungkinan potensi terjadinya hal tersebut, menurutnya, hakim di Indonesia perlu lebih jeli untuk menilai novum yang diajukan. Prinsipnya putusan MK soal PK memberikan peluang untuk menjaga HAM.

Pendapat Arif ini berbeda dengan pendapat Mahkamah Agung. Mahkamah Agung bahkan mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang pembatasan PK hanya sekal. Mahkamah Agung berpendapat aturan PK sekali yang dibatalkan MK itu hanya ketentuan dalam KUHAP. Sementara mengacu pada UU Mahkamah Agung, PK diatur hanya satu kali.

Menanggapi pernyataan ketua MK bahwa putusannya bersifat erga omnes atau berlaku untuk subtansi yang sama di UU lainnya, Juru bicara Mahkamah Agung (MA) Suhadi menilai soal Surat Edaran MA  tidak bertentangan dengan putusan MK. Sebab putusan MK hanya menganulir norma dalam KUHAP.

"MK hanya hapus Pasal 268 dalam KUHAP soal PK hanya satu kali, (substansi yang sama dalam UU) yang lain tidak," ujar Suhadi saat dihubungi Gresnews.com, Rabu (6/5).

Untuk diketahui, persoalan PK mencuat lantaran MA mengeluarkan SEMA 7/2014 tentang pembatasan PK hanya sekali. Padahal sebelumnya sudah ada putusan MK soal pembatalan PK hanya sekali. Persoalan PK kembali memanas lantaran ada eksekusi hukuman mati dimana terpidana mati terhalang mengajukan PK karena SEMA tersebut.

BACA JUGA: