JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus perbudakan terhadap ABK asing asal Myanmar, Laos dan Kamboja yang dilakukan PT Pusaka Benjina Resources (PBR) di Kepulauan Aru, Maluku dinilai telah memberikan banyak pelajaran bagi pemerintah. Kasus tersebut perlu dievaluasi secara serius agar tidak terulang kembali.

Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Riza Damanik mengatakan, peristiwa Benjina merupakan momentum bagi pemerintah untuk berbenah. Riza menuturkan, pembenahan sangat dibutuhkan untuk menjamin keberlanjutan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan nasional.

"Kasus Benjina perlu sebagai jalan bagi pemerintah untuk berbenah. Ini sekaligus penting bagi pengelolaan kelautan dan perikanan kita kedepan," ucap Riza dalam diskusi publik di Kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (28/4).

Menurut Riza, terdapat sejumlah hal yang perlu dicermati pemerintah terkait kasus Benjina diantaranya, pemerintah diminta berkomitmen menutup praktik ilegal kapal asing. Dalam hal ini, pemerintah diminta secara serius mengontrol keberadaan setiap kapal yang beroperasi di Indonesia.

Riza menilai, sejauh ini sistem pengawasan masih terlampau lemah. Akibatnya, membuka celah bagi berbagai tindakan penyimpangan. Minimnya patroli dan pengawasan membuat praktik ilegal kian meluas.

Menurut Riza, pemerintah perlu responsif menyikapi segala tindakan pelanggaran illegal fishing atau aksi penjarahan seperti yang terjadi di Benjina. Menurutnya, langkah pencegahan dapat dilakukan melalui peningkatan jumlah armada dan ukuran kapal nelayan Indonesia agar bisa melaut di jarak yang lebih jauh.

Riza menilai, kapasitas nelayan Indonesia masih minim sehingga memungkinkan peluang bagi kapal asing ukuran besar menjarah sumber daya alam negara. "Sekitar 97 persen kapal nelayan kita masih dibawah 30 GT sehingga mereka hanya bisa menangkap di area dibawah 12 mil laut," ucap Riza.

Riza mengatakan, terbatasnya zona tangkap nelayan membuat wilayah laut Indonesia di zona 12-200 mil (Zona Ekonomi Ekslusif) menjadi relatif lebih kosong sehingga mudah terjadi praktik pencurian ikan oleh kapal asing.

Selain itu, Riza menyebut, langkah evaluasi bagi pemerintah adalah terkait pembangunan infrastruktur pelabuhan. Riza menyebut, Indonesia memiliki total 1.735 pelabuhan namun mayoritas (68 persen) terletak di Indonesia bagian barat. Sementara kawasan Timur masih sangat minim. Minimnya sarana dan infrastruktur tersebut dinilai berpotensi menimbulkan pelanggaran dan penyimpangan.

Selain itu, Riza menekankan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Bea Cukai dan aparat pengawas harus bebas dari praktik suap. Ia menilai, persoalan selama ini aparat pengawas masih mudah disuap terutama oleh pihak asing.

Menurut Riza, bukan hanya di Benjina namun banyak daerah lain juga yang mengalami kasus serupa. Sejauh ini, ada 97 kapal yang membutuhkan penanganan pemerintah. Terkait hal itu, Riza mendesak agar pemerintah kedepannya lebih ketat dalam memberikan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI).

"Sistem perizinan perikanan Indonesia masih jauh dari ideal. Harusnya kapal bermasalah tidak diberikan izin sebelum kinerjanya dievaluasi," tegasnya.

Selain itu, pemerintah dihimbau untuk mengkaji UU Nomor 39 tahun 2014 tentang bidang investasi yang tertutup bagi pihak asing. Aturan tersebut dinilai terlalu berisiko dimana pemerintah membuka peluang bagi pihak asing untuk bebas berinvestasi di pulau-pulau kecil dan pulau-pulau tak berpenghuni.

"Pemerintah harus menutup kegiatan investasi di pulau-pulau kecil dan tak berpenghuni. Karena sejauh ini ada sekitar 10.000 pulau-pulau kecil yang jika diberi izin bisnis perikanan, maka pengawasannya akan sulit. Aturan ini perlu direvisi," kata Riza.

Sebagai bahan evaluasi bagi pemerintah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu sistem perizinan harus terintegrasi dengan empat hal diantaranya, kapal asing harus patuh membayar pajak, patuh melindungi ABK dan nelayan lokal, wajib membangun Unit Pengelolaan Ikan (UPI) agar bisa dinikmati oleh penduduk setempat, serta wajib menjaga lingkungan.

Sementara, Anggota Divisi Ekonomi dan Sosial sekaligus aktivis Kontras Ananto Setiawan mengatakan, pemerintah perlu berbenah pasca pengungkapan kasus perbudakan Benjina. Ananto menekankan, perlindungan hak ABK harus dijaga agar tidak terjadi kekerasan dan pelanggaran HAM.

Selain itu, menurut Ananto, upaya penegakan sanksi hukum perlu diberikan agar kasus tersebut tidak terulang kembali. "Pemerintah perlu menjaga hak ABK. Menegakan hukum bagi pelaku pelanggaran HAM Benjina," ucapnya.

BACA JUGA: