JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pembatasan peninjauan kembali (PK) hanya sekali yang dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dianggap justru menimbulkan kegamangan hukum. Sebab PK hanya sekali bertentangan dengan putusan MK. Pembatasan PK dengan dalih memberikan kepastian hukum juga seharusnya tidak boleh bertentangan dengan prinsip pencapaian keadilan.    

Pandangan ini disampaikan pemohon dalam sidang agenda bantahan atas gugatan tiga advokat Miftahur Rokhman Habibi (Peradi), Marselinus Abi (Kongres Advokat Indonesia) dan Edy M. Lubis (Peradin) terhadap MA. Sebelumnya MA digugat lantaran menerbitkan Surat Edaran MA Nomor 7 Tahun 2014 (SEMA 7/2014) yang berisi ketentuan pembatasan PK hanya sekali.

Dalam replik atau bantahan atas jawaban tergugat, Kuasa hukum pemohon Dedi Junaedi Syamsudin menyatakan menolak seluruh eksepsi dan dalil tergugat. Ia tetap pada dalil gugatan semula bahwa tindakan MA menerbitkan SEMA 7/2014 telah mengakibatkan kegamangan hukum dan membuat pranata hukum di Indonesia tidak sejalan dengan rasa keadilan dalam negara hukum.

"SEMA bukan norma hukum sehingga tidak boleh mengensampingkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU-XI/2013 yang membatalkan PK hanya sekali," kata Dedi yang tergabung dalam Himpunan Advokat Muda Indonesia (HAMI) DPD DKI Jakarta pada Gresnews.com usai sidang replik di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (27/4).

Menurutnya putusan MK bersifat final, mengikat, dan wajib dijalankan seluruh lembaga mengacu pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Lalu terhadap dalil tergugat yang menilai SEMA 7/2014 diterbitkan untuk memberikan kepastian hukum dianggap tidak sejalan dengan keadilan. Sebab menurut Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 disebutkan kepastian hukum harus sejalan dengan keadilan.

Menurutnya, kepastian hukum sesuai dengan putusan MK sangat layak untuk dibatasi. Tapi upaya pencapaian keadilan tidak seharusnya dibatasi. Dalam kaitannya dengan PK, pengajuan PK dianggap sangat terkait dengan hak asasi manusia yang paling mendasar yaitu kebebasan dan kehidupan manusia.

Menanggapi hal ini, Kuasa hukum MA Liliek Prisbawono menyatakan MA juga kekeh bahwa forum gugatan untuk membatalkan SEMA 7/2014 bukan di pengadilan negeri Jakarta Pusat. Ia berpendapat MA memang berwenang mengeluarkan SEMA. “Soal argumen pencarian keadilan itu tergantung pendapat hakim,” ujar Liliek saat dihubungi Gresnews.com, Senin (27/4).

BACA JUGA: