JAKARTA, GRESNEWS.COM - Para pegiat hukum yang antara lain terdiri dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Elsam, Imparsial dan Setara Institute bakal mengajukan permohonan uji materi atas Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjuan Kembali dalam Perkara Pidana ke Mahkamah Agung. Lembaga-lembaga tersebut menilai, SEMA Nomor 7 Tahun 2014 itu telah menghalangi akses terpidana dan ahli warisnya untuk mendapatkan keadilan.

Gugatan itu sendiri baru akan dilayangkan Jumat (17/4) mendatang. Supriyadi Widodo Eddyono, dari ICJR, yang juga akan bertindak sebagai salah satu kuasa hukum pemohon mengatakan, gugatan dilayangkan setelah Mahkamah Agung mengabaikan surat teguran yang dilayangkan oleh ICJR kepada Mahkamah Agung pada Maret 2015 agar Mahkamah Agung membatalkan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tersebut.

"Lagipula SEMA terkait pembatasan pengajuan Permohonan Kembali yang hanya dapat dilakukan satu kali atas dasar ditemukannya bukti baru atau novum itu telah bertentangan dengan UUD 1945 dan sejumlah undang-undang," kata Supriyadi dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Jumat (10/4).

Sejumlah UU yang ditabrak SEMA ini antara lain UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013. Putusan MK tersebut menyatakan Pasal 268 Ayat (3) KUHP, yang menyatakan permintaan peninjauan kembali hanya dapat dilakukan satu kali saja, tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Karena itu dalam permohonannya, ICJR, Elsam, Imparsial, HRWG, LBH Masyarakat dan Setara Institute selain meminta Mahkamah Agung untuk membatalkan SEMA Nomor 7 Tahun 2014, juga menghormati putusan Mahkamah Konstitusi. "Adanya upaya hukum peninjauan kembali merupakan jalan keluar dari kemungkinan terjadinya praktik peradilan sesat yang sering terjadi di Indonesia," tegas Supriyadi.

Dalam tataran ideal, apabila seluruh fungsi pengadilan telah berjalan baik, Mahkamah Agung sudah pasti tidak akan disibukkan dengan banyaknya jumlah permohonan peninjauan kembali. "Sehingga pada saat Ketua Mahkamah Agung membatasi pengajuan permohonan kembali hanya satu kali, secara tidak langsung Ketua Mahkamah Agung telah memutus hak individu untuk mendapatkan keadilan," ujarnya.

Melalui permohonannya, ICJR, Elsam, Imparsial, HRWG, LBH Masyarakat dan Setara Institute mengingatkan Ketua Mahkamah Agung bahwa kewajiban penemuan kebenaran materil dalam hukum pidana tidak seharusnya dibatasi oleh persyaratan yang bersifat formil atau administratif seperti pembatasan jumlah permohonan peninjauan kembali.

Kuasa hukum pemohon lainnya, Wahyudi Djafar dari Elsam, mengatakan, dengan diterbitkannya SEMA Nomor 7 Tahun 2014, Ketua Mahkamah Agung telah menciptakan ketidakpastian hukum. Alasannya, karena pada saat yang sama KUHAP yang telah diubah oleh Mahkamah Konstitusi menyatakan jika permohonan peninjauan kembali dapat diajukan lebih dari satu kali.

"Tindakan Ketua Mahkamah Agung dengan membatasi jumlah permohonan peninjauan kembali adalah bertentangan dengan hukum yang berlaku," ujarnya.

Dalam pertimbangannya pada SEMA Nomor 7 Tahun 2014, Ketua Mahkamah Agung menyatakan bahwa pembatasan pengajuan permononan peninjauan kembali dilakukan agar terciptanya kepastian hukum, terutama mengenai kepastian eksekusi putusan apabila permohonan peninjauan kembali dapat diajukan lebih dari satu kali.

"Alasan ini jelas tidak berdasar karena secara jelas Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menegaskan bahwa pengajuan permohonan kembali tidak menunda eksekusi," kata Wahyudi.

Jika eksekusi putusan telah dilakukan, permohonan Peninjauan Kembali juga masih dapat diajukan oleh Ahli Waris dari Terpidana. "Sehingga alasan bahwa Peninjauan Kembali yang tanpa batas akan menunda eksekusi adalah alasan yang tidak berdasarkan oleh hukum," ujarnya.

Selain itu, ICJR, Elsam, Imparsial, HRWG, LBH Masyarakat dan Setara Institute juga menilai SEMA Nomor 7 Tahun 2014 juga bertentangan dengan persyaratan formil suatu undang-undang. Pada hakikatnya surat edaran merupakan instrumen administratif yang keberlakuannya bersifat internal insitutsi Mahkamah Agung itu sendiri.

"Namun, ketentuan yang diatur pada SEMA Nomor 7 Tahun 2014 mengikat seluruh masyarakat Indonesia dan membatasi hak asasi manusia untuk mendapatkan proses persidangan yang adil pascaputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013," pungkas Wahyudi.

BACA JUGA: