JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah mendapatkan kritik bertubi-tubi setelah dinilai gagal dalam menegakkan keadilan dalam kasus-kasus kehutanan. UU No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H), dinilai hanya bertaji menghukum masyarakat kecil seperti nenek Asyani di Situbondo. Sementara beleid tersebut tumpul dalam menjangkau korporasi pelaku perusakan hutan.

Direktur Walhi Jawa Barat Dadan Ramdan mengatkan, peristiwa semacam ini, terus terjadi dimana warga kemudian menjadi korban-korban kriminalisasi. "Peristiwa ini sungguh sangat bertolak belakang dengan penindakan hukum terhadap para pelaku pembalakan kayu dalam skala besar dengan ratusan ribu kubik yang ditebang di kawasan hutan Perhutani. Peristiwa yang menyakitkan dan tidak adil yang membuktikan bahwa hukum lebih memihak pada kelompok orang yang memiliki uang dan aparat," ujarnya dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Rabu (18/3).

Contohnya, kata Dadan, Perum Perhutani tidak melakukan penindakan apa-apa terhadap praktik pembalakan kayu dan penebangan liar yang masif dilakukan di Desa Sukajaya Kecamatan Cisewu Kabupaten Garut. Padahal, ratusan kubik kayu lenyap dari hutan. Ada indikasi pembiaran yang dilakukan oleh aparat kepolisian setempat dan pihak Perum Perhutani.

"Bahkan, menurut informasi warga yang dilaporkan ke Walhi Jawa Barat, pihak perhutani dan kepolisian seolah-olah menjadi bagian dari praktik penebangan kayu yang dilakukan," ujar Dadan.

Warga setempat kerap melaporkan peristiwa penebangan liar ini kepada pihak aparat setempat bahkan ke pihak Perum Perhutani, namun laporan warga yang sebenarnya sudah berperan dalam melakukan pengawasan sekaligus menjaga kawasan hutan tidak ditanggapi secara serius oleh aparat kepolisian dan Perhutani. Malah warga yang melaporkan mendapatkan ancaman dan intimidasi dari pihak-pihak tertentu untuk diam dan tidak melakukan apapun.

"Bukan saja kepolisian dan Perhutani, ketika warga melaporkan kepada Bupati Garut, namun Bupati Garut juga lambat dalam menyikapi dan menindaklanjuti laporan warga," tegas Dadan.

Karena itulah,  kata dia, Walhi Jawa Barat mendesak aparat kepolisian dan aparat penegak hukum tidak tebang pilih kasus dan menindak pelaku penebangan liar skala besar yang dilakukan di kawasan hutan di Kabupaten Garut. "Usut tuntas para pelaku termasuk aparatur Perum Perhutani yang terlibat dalam praktik penebangan liar," ujarnya.

Selain itu Walhi Jabar juga mendesak agar pemerintah melindungi warga yang sudah berperan aktif dalam melakukan pengawasan dan penyelamatan kawasan hutan di Garut. Walhi juga mendesak Perum Perhutani menghentikan tindakan-tindakan kriminalisasi terhadap warga setempat dan mengedepankan dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah konflik di sekitar kawasan hutan.

Selain itu, Walhi Jabar juga saat ini tengah mengajukan gugatan praperadilan kepada Polda Jabar terhadap penghentian kasus pertambangan di kawasan hutan berkedok kerjasama operasional reklamasi. Kasus ini, kata Dadan, melibatkan Perhutani dan 12 perusahaan tambang di Kawasan Bogor.

Kasus tersebut diadukan Walhi Jabar sejak 20 Maret 2014. Namun setelah satu tahun berjalan, penyidikan kasus ini malah dihentikan oleh tim penyidik Unit 1 Tipidter Polda Jabar. "Kami menilai bahwa selama proses hukum ditingkat penyidikan banyak terjadi kejanggalan dan rekayasa yang dilakukan oleh penyidik," kata Dadan.

Kejanggalan tersebut antara lain adalah, penyidik dalam meminta keterangan saksi ahli telah mengarahkan pertanyaan-pertanyaan yang meringankan dan bahkan menghindarkan Perhutani hingga lepas dari jerat hukum. Selain itu, Tim penyidik telah mengesampingkan bukti-bukti dokumen tertulis, visual dan fakta lapangan terjadinya pertambangan di dalam kawasan hutan.

Tim penyidik juga dinilai tidak memberikan kontruksi hukum yang jelas dari hasil  risalah gelar perkara internal 29 agustus 2013 yang merekomendasikan penghentian penyidikan karena tidak di temukan unsure tindak pidana. "Selama proses penyidikan tim penyidik hanya memberikan informasi proses tetapi kurang transparan dalam memberikan keterangan hasil penyidikan terkait dengan substansi perkara," tegas Dadan.

Padahal kasus perkara yang dilaporkan oleh Walhi sangat jelas yaitu adanya dugaan pelanggaran Pasal 50 Ayat (3) huruf (g) UU Kehutanan. Pasal itu menyatakan: "Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi didalam kawasan hutan, tanpa izin menteri".

Dengan demikian kegiatan pertambangan didalam kawasan hutan seharusnya dilakukan melalui mekanisme izin pinjam pakai kawasan oleh kementrian kehutanan. Sehingga kegiatan pertambangan melalui mekanisme kerjasama operasional (KSO) tidak dapat di benarkan dan merupakan tindak pelanggaran sebagaimana diatur dalam UU 41/1999 tentang kehutanan.

Berdasarkan alasan dan penilaian diatas Walhi Jawa barat bersama LBH Bandung sebagai kuasa hukum, pada tanggal 13 maret 2015 telah mendaftarkan pengajuan permohonan gugatan pra peradilan atas penghentian penyidikan oleh Polda Jabar melalui Pengadilan Negeri Bandung. Walhi Jabar, kata Dadan, menuntut agar Pengadilan Negeri Bandung mengabulkan permohonan praperadilan itu.

Walhi juga mendesak pihak Polda Jawa Barat meneruskan proses penyidikan kasus hingga ke pengadilan. "Meminta penanganan perkara pidana kehutanan ini dilakukan secara transparan, objektif dan profesional," tegas Dadan.

BACA JUGA: