JAKARTA, GRESNEWS.COM - Ombudsman RI meminta dan merekomendasikan Kapolri memeriksa dan menindak seluruh penyidik yang dinilai melanggar aturan saat penangkapan Wakil Ketua KPK non Aktif Bambang Widjojanto. Salah satu perwira penyidik yang diduga melakukan pelanggaran adalah Kombes Polisi Daniel Bolly Tifaona.

Daniel dinilai bertanggungjawab baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penangkapan yang melibatkan Bambang. Karena, ia merupakan Kepala Sub VI Direktorat Tindak Pidana Ekonomi khusus. Lebih spesisifk lagi, Daniel adalah kepala penyidik kasus Bambang.

"Berdasarkan kewenangan Ombudsman RI dengan ini mengeluarkan rekomendasi kepada Kapolri (untuk) melakukan pemeriksaan dan memberikan sanksi kepada jajaran Bareskrim sehubungan maladministrasi yang dilakukan oleh Kombes Polisi Daniel Bolly Tifaona," kata Komisioner Ombudsman Budi Santoso saat membacakan rekomendasi Ombudsman RI terkait kasus BW, Selasa (24/2).

Budi memaparkan sejumlah kesalahan prosedural yang dilakukan penyidik Bareskrim Polri. Diantaranya dalam proses penangkapan, seharusnya, sebelum proses tersebut penyidik melakukan pemanggilan melalui surat resmi terlebih dahulu. Jika dalam dua kali panggilan berturut-turut yang bersangkutan tidak hadir tanpa ada keterangan, baru dilakukan upaya paksa yaitu penangkapan.

Aksi penyidik lain yang juga dianggap melanggar yaitu ada dua anggota Polri berseragam yang membawa senjata laras panjang di lokasi penangkapan. Aksi tersebut melanggar Pasal 8 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Tindak Pidana.

"Hal itu tidak dibenarkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana," ujar Budi.

Ombudsman menganggap, penyidik Bareskrim tidak cermat, teliti dan hati-hati dalam menyiapkan administrasi penyidikan yaitu surat perintah penangkapan Nomor SP. Kap/07/I/2015/Dit Tipideksus tertanggal 22 Januari 2015. Dalam surat itu, terdapat kesalahan pada alamat tempat tinggal tersangka yang dalam surat perintah itu disebutkan beralamat di RT 01.

Padahal, sebenarnya beralamat di RT 006 dan kesalahan dalam penyebutan kecamatan. Yaitu Kecamatan Sukmajaya padahal yang sebenarnya adalah kecamatan Cilodong. "Selain itu, dalam surat perintah penangkapan tidak diuraikan pengenaan ayat (pasal) secara rinci yang menunjukkan peran dan kualifikasi tersangka sebagai pelaku tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) KUHAP," ujarnya.

Penyidik Bareskrim juga seharusnya meminta izin pengadilan setempat dalam hal ini Pengadilan Negeri Depok untuk menggeledah tubuh seseorang, maupun tempat tinggalnya. Penyidik memang memperlihatkan surat tersebut, tapi surat itu diragukan formalitasnya karena dalam faktanya mereka tidak pernah meminta izin kepada Ketua Pengadilan Negeri Depok.

Dalam proses penanganan perkara tindak pidana, seharusnya melalui dua tahapan yaitu penyelidikan dan penyidikan. Perkara yang disangkakan kepada BW bukan merupakan operasi tangkap tangan sehingga penyidik seharusnya melakukan proses penyelidikan terlebih dahulu.

"Berdasarkan dokumen yang diperlihatkan dan keterangan penyidik ditemukan fakta bahwa terhadap perkara pelapor (BW) tidak dilakukan langkah penyelidikan terlebih dahulu sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 dan angka 5 KUHAP serta Pasal 4 dan Pasal 15 Perkap Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana," tutur Budi.

Ombudsman meminta Kapolri menindaklanjuti rekomendasi ini sesuai ketentuan Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI. Pasal tersebut pada intinya dalam waktu 60 hari, Kapolri wajib melaporkan tindaklanjut dari rekomendasi yang diajukan Ombudsman RI.

BACA JUGA: