JAKARTA, GRESNEWS.COM - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Zulkifli Hasan yang juga mantan Menteri Kehutanan kembali diguncang kasus alih fungsi lahan di kawasan hutan. Setelah sebelumhya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.673/Menhut-II/2014 dianggap bermasalah oleh  Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kali ini Zulkifli kembali dianggap melakukan maladministrasi terkait terbitnya SK Menhut Nomor : 463/Menhut-II/2013 tentang Perubahan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan di Provinsi Kepulauan Riau.

Ombudsman Republik Indonesia mengaku menerima Laporan dari sejumlah investor di kawasan Batam mengenai tidak diberikannya layanan permohonan Hak Guna Bangunan (HGB) oleh Kantor Pertanahan Kota Batam akibat terbitnya SK Menteri Kehutanan Nomor 463/Menhut-II/2013. Hal ini menimbulkan ketidakpastian usaha dan investasi, terutama di Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun (BBK) yang telah ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Free Trade Zone).
 
"Setelah melakukan pemeriksaaan awal, Ombudsman RI melakukan kajian sistemik tentang penerbitan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 463/Menhut-II/2013, yang mengakibatkan terhentinya proses penyelenggaraan pelayanan publik di kawasan Pulau Batam dan Provinsi Kepulauan Riau," kata Ketua Ombudsman Danang Girindrawardhana di Kantornya, Jumat (9/1).
 
Menurut Danang, pelayanan publik yang menjadi kewajiban penyelenggara negara dan pemerintahan seharusnya tidak boleh terhenti karena adanya sengketa hukum antar institusi pemerintahan. Hal tersebut berkaitan erat dengan program prioritas Kabinet Kerja yang akan menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Salah satu tahapan yang akan dilakukan adalah mengoptimalkan SLOC (Sea Lanes of Communications) atau Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Danang menjelaskan, terdapat tiga ALKI yang ada di wilayah Indonesia. ALKI I melintasi Laut Cina Selatan-Selat Karimata-Laut Jakarta-Selat Sunda, ALKI II melintasi Laut Sulawesi-Selat Makassar-Luat Flores-Selat Lombok, dan ALKI III melintas Sumadera Pasifik-Selat Maluku, Laut Seram-Laut Banda.

"Pengembangan kawasan Batam yang didisain sebagai pelabuhan tingkat dunia sekaligus sebagai zona perdagangan bebas (FTZ) mempunyai posisi penting dalam keberhasilan program poros maritim dunia," tandasnya.

Kemudian Danang juga menuturkan, dalam menentukan perubahan kawasan hutan di wilayah Kepulauan Riau seharusnya memperhatikan kondisi eksisting dan rencana strategis nasional.  Mengingat Kawasan Batam, Bintan dan Karimun (BBK) telah ditetapkan sebagai  kawasan strategis nasional melalui PP No. 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.

"PP No. 47 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan, PP No. 48 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun juga menguatkan hal itu," imbuhnya.

Ditambah lagi dengan terbitnya Perpres 87 Tahun 2011 Rencana Tata Ruang Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun. Peraturan  ini bertujuan untuk penyelenggaraan, pengembangan dan peningkatan fungsi-fungsi perekonomian nasional yang bersifat khusus, produktif, efisien dan berdaya saing di Kawasan BBK dalam mendukung perwujudan koridor pertumbuhan ekonomi Pulau Sumatera sesuai program MP3EI.

Namun Menteri Kehutanan mengeluarkan SK No.463/Menhut-II/2013 yang tumpang tindih dan tidak harmonis dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur kawasan BBK sebagai kawasan khusus. SK No.463/Menhut-II/2013 mengabaikan kawasan BBK sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) yang dikembangkan pemerintah selama ini. Ia juga tidak memperhatikan Perpres No. 87 Tahun 2011 yang mengatur Rencana Tata Ruang Kawasan BBK berfungsi sebagai pedoman untuk penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota di Kawasan BBK.

Dalam Perpres tersebut telah ditetapkan bahwa kawasan Tanjung Uncang, Tanjung Gudap, Batu Ampar, Telaga Punggur dan Sekupang sebagai kawasan industri. Namun dalam SK No.463/Menhut-II/2013  kawasan-kawasan tersebut ditetapkan menjadi  Kawasan Hutan. Di samping itu dalam SK No.463/Menhut-II/2013 juga tidak memperhatikan kondisi eksisting dengan menetapkan kawasan Batam Center dan Batu Aji sebagai areal hutan.

"Padahal di lokasi tersebut telah berdiri kantor pemerintahan dan sudah puluhan tahun dibangun dikawasan Batam Center dan ribuan rumah penduduk sudah terbangun di Batu Aji," cetusnya

Secara hukum, Putusan Pengadilan TUN Tanjung Pinang Nomor: 16/G/2013/PTUN-TPI tanggal 30 April 2014 yang dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi TUN Medan Nomor: 125/B/2014/PT.TUN-MDN tanggal 8 September 2014 yang telah berkekuatan hukum tetap, pada pokoknya juga telah membatalkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.463/Menhut-II/2013 tersebut.

Dalam proses penerbitan SK No.463/Menhut-II/2013, Menteri Kehutanan yang ketika itu dijabat Zulkifli Hasan telah menyalahi prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan. Ia mengabaikan hasil Rekomendasi Tim Terpadu yang dibentuk melalui SK Menhut No. 676/Menhut-VII/2009 tanggal 15 Oktober 2009 sesuai amanah UU dan PP 10/2010 jo PP 60/2012.

Kemudian, Zulkifli juga tidak mempertimbangkan dan tidak memperhatikan kepentingan strategik nasional untuk membangun kawasan BBK (Batam Bintan dan Karimun) sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Serta Perpres 87 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Batam, Bintan dan Karimun dan peraturan perundang-undangan lainnya.

"Menteri Kehutanan saat itu juga melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Pasal 19 ayat 1 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyebutkan Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu," sambungnya.

"Setelah melakukan pemeriksaan dan kajian terhadap peraturan perundang-undangan terkait, Ombudsman menyatakan Menteri Kehutanan telah melakukan maladministrasi dalam penerbitan Surat Keputusan (SK) Menhut No. 463/Menhut-II/2013 berupa penyimpangan prosedur dalam bentuk mengabaikan Perpres 87/2011 dan tidak mendasarkan keputusannya pada hasil Tim Terpadu sesuai ketentuan PP 10/2010," tegas Danang

Hal itu berakibat terhentinya proses penyelenggaraan pelayanan publik di Pulau Batam dan Provinsi Kepulauan Riau yang berdampak pada munculnya ketidakpastian hukum bagi masyarakat dan dunia usaha, khususnya perizinan investasi, administrasi pertanahan, dan layanan perbankan, sekaligus melemahkan citra positif Indonesia, khususnya wilayah BBK, sebagai daerah tujuan investasi.

Tak hanya Zulkifli, Kepala Badan Pertanahan Nasional (Sekarang Menteri  Agraria dan Tata Ruang /Kepala Badan Pertanahan)  c.q. Kakanwil  Badan Pertanahan Nasional Propinsi Kepulauan Riau c.q. Kepala Kantor Pertanahan Kota Batam juga dianggap melakukan maladministrasi.

Ia menolak permohonan penerbitan Sertifikat HGB di atas tanah  yang menurut Peraturan Presiden Nomor : 87 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Batam, Bintan dan Karimun, yang diantaranya mengatur tentang wilayah yang boleh diterbitkan sertifikat.

BACA JUGA: