JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sejumlah organisasi pemerhati lingkungan menyayangkan langkah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menempuh banding atas putusan Komisi Informasi Pusat  (KIP) terkait permintaan informasi data perencanaan kehutanan oleh   Forest Watch Indonesia (FWI). Langkah tersebut seolah membuktikan KLHK sebagai lembaga pemerintah yang mendukung keterbukaan publik.   

Padahal sesuai putusan sidang sengketa informasi publik Komisi Informasi Pusat  (KIP) pada 8 Mei 2015 lalu telah dikabulkan permohonan informasi oleh Forest Watch Indonesia (FWI). KIP menyatakan sebagian jenis informasi yang dimohonkan merupakan dokumen terbuka yang harus dapat diakses publik.

Untuk itu KLHK harusnya mematuhi Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi (UU Keterbukaan Informasi) sesuai putusan KIP. Sehingga sejumlah organisasi lingkungan seperti FWI, Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menyayangkan langkah KLHK banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada 29 Mei 2015.

Banding menurut mereka justru menegaskan KLHK anti terhadap keterbukaan informasi. "Saya yakin Menteri LHK akan lebih bijaksana dan menarik banding tersebut jika mendapatkan informasi yang lengkap dan obyektif," kata Direktur ICEL, Henri Subagiyo dalam keterangannya, Kamis (11/6).

Sebaliknya ia berharap, Menteri LHK bisa memimpin langsung kebijakan keterbukaan informasi di tubuh KLHK karena terkait dengan kepentingan banyak pihak. Terlebih lagi, KLHK juga menjadi barometer bagi pelaksanaan keterbukaan informasi lingkungan hidup dan kehutanan di daerah.

"KLHK secara jelas telah mengabaikan UU Keterbukaan Informasi dan melanggar visi pemerintahan dalam menjalankan transparansi tata kelola pemerintahan sebagaimana tertuang dalam Nawa Cita," jelas Henri.

Alasannya, keterlibatan masyarakat dalam merumuskan, melaksanakan, sampai dengan mengawasi sebuah kebijakan publik merupakan prasyarat utama dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance), sebagaimana dimandatkan Pasal 3 UU Keterbukaan informasi.

Sementara dalam dokumen permohonan keberatan yang dikirimkan ke PTUN Jakarta. KLHK berargumen data yang dimohonkan oleh FWI merupakan data rahasia perusahaan sehingga data tersebut dikecualikan.

Data yang dimohonkan berupa data perencanaan kehutanan seperti Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK), Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKTUPHHK), Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri Primer Hasil Hutan Kayu (RPBBI)  dan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK).

Data-data tersebut, lanjutnya, sangat dibutuhkan untuk memantau kinerja pengusahaan hutan yang saat ini menyebabkan hancurnya sumber daya alam dan banyaknya konflik dengan masyarakat lokal atau adat.

Dinamisator JPIK, Mardi Minangsari, menambahkan upaya banding KLHK merupakan langkah mundur pemerintah dalam hal keterbukaan dan transparansi pengelolaan kehutanan. Padahal, Pemerintah sudah meratifikasi perjanjian kerjasama internasional dengan Uni Eropa dalam perdagangan kayu dan secara spesifik kerjasama tersebut mendukung penuh transparansi dalam aspek pengelolaan hutan, termasuk penyediaan data dan informasi yang saat ini dianggap oleh KLHK adalah rahasia.

Selain itu, Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang berlaku di Indonesia mengatur keberadaan pemantau independen yang mengawasi pelaksanaan aturan tersebut dan juga menjamin akses informasi publik bagi pemantau.

"Adalah ironis jika KLHK malah kemudian mengingkari aturan yang dibuatnya sendiri," terangnya, Kamis (11/6).

Pengkampanye Forest Watch Indonesia (FWI) Linda Rosalina, menilai, langkah yang diambil KLHK ini sangat bertolak belakang dengan semangat Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam yang belum lama ini ditandatangani oleh 27 Kementerian dan Lembaga. Sekaligus menjadi bukti masih buruknya tata kelola pemerintahan Indonesia.

Sebab kata Linda, secara nyata, KLHK mengunci akses data dan informasi yang berimplikasi terhadap tertutupnya ruang partisipasi masyarakat dalam melakukan pemantauan dan pengawasan perencanaan dan pengelolaan hutan. Kondisi ini menurut dia, menunjukan betapa kuatnya keberpihakan KLHK kepada perusahaan, ketimbang melindungi kepentingan masyarakat luas, bukan pada kepentingan segelintir pengusaha.

"Kami mendesak Menteri KLHK untuk segera membuktikan aktualisasi Nawa Cita, khususnya pada aspek transparansi pada praktek penyelenggaraan kehutanan," tegasnya Kamis (11/6).

Karena itu Linda mendesak agar KLHK mencabut permohonan keberatan kepada PTUN Jakarta dan segera menyediakan informasi yang dimohonkan sesuai dengan amar putusan Komisi Informasi Pusat.

"Apabila ini gagal dilakukan, maka KLHK membuktikan bahwa Revolusi Mental yang digagas pemerintahan ini hanya sekedar jargon," tegas Linda.

Seperti diketahui pada Jumat (8/5) lalu, dalam putusan sengketa Informasi antara FWI dengan KLHK, KIP menyatakan dokumen IUPHHK dan RKUPHHK-Hutan Alam, RKUPHHK-Hutan Tanaman Industri (HTI), RKTUPHHK-HTI, dan Rencana Pemanfaatan Bahan Baku Industri (RPPBBI), adalah informasi publik yang bersifat terbuka.

BACA JUGA: