JAKARTA, GRESNEWS.COM - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pandeglang hari ini mevonis bebas tiga nelayan miskin Ujung Kulon, Damo, Rahmat, dan Misdan atas dakwaan pencurian biota laut. Tak hanya itu, pengadilan juga merekomendasikan beberapa hal yang harus dilakukan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) agar kejadian pengkriminalisasian nelayan tidak terulang lagi.

Putusan atas kasus Damo cs yang dikriminalisasi karena menangkap kepiting di TNUK menjadi penting untuk melihat keberpihakan hukum. "Hasil putusan merupakan gambaran keberpihakan kepada masyarakat majinal atau sebaliknya," kata Hendra Supriatna, kuasa hukum terdakwa dari LBH Jakarta kepada Gresnews.com, Rabu (28/1).

Pada sidang sebelumnya, Senin (19/1), Jaksa penuntut umum setengah ragu menuntut dengan empat bulan penjara dan lima ratus ribu rupiah kepada ketiga terdakwa. Keraguan jaksa ditenggarai akibat fakta berbeda antara data pada jaksa dengan bukti yang hadir di persidangan.

Terkait batas kawasan yang menjadi pokok masalah, Damo cs mengatakan penangkapan kepiting dan lobster dilakukan di laut lepas tanpa mengetahui daerah tersebut merupakan bagian dari kawasan konservasi. Hal ini disebabkan tidak adanya batas-batas antara kawasan konservasi dengan non konservasi. "Zonasi yang telah ditetapkan tidak disosialisasikan, sehingga tapal batas menjadi kabur dan tidak diketahui oleh masyarakat setempat," katanya.

Batas zonasi, tidak hanya menjadi masalah untuk Damo cs namun juga bagi masyarakat yang tinggal di daerah sekitar TNUK. Ia menceritakan pernah ada warga Ujung Jaya dipenjara akibat mengambil kayu dari pohon yang ditanam diatas tanah miliknya. Madu yang diambil secara tradisional oleh masyarakat di hutan dirampas oleh TNUK, bahkan pada 2006 seorang warga tewas ditembak oleh petugas TNUK.

Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat IPB, Soeryo Adiwibowo yang sempat diminta pendapatnya sebagai saksi ahli pun menyatakan penetapan zonasi harus dibuat secara partisipatif antara TNUK dan masyarakat yang tinggal disekitar agar terbit kesepahaman. Jika hal itu tidak dilakukan, maka konflik akan terus berjalan. "Sebab sistem yang tidak partisipatif akan selalu menganggap masyarakat sebagai sumber ancaman semata," katanya.

Kasus Damo cs harus dimaknai sebagai perampasan negara pada hak atas penghidupan layak ribuan masyarakat Ujung Kulon yang tidak sederhana. Dinilai dari segi aturan, mayarakat tidak boleh dirampas haknya sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 Ayat 2 UUD 45 bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian. Juga pada Pasal 1 Ayat 1 UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan setiap orang berhak, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.

Kriminalisasi Damo cs merupakan contoh negara di masa lalu mengabaikan masyarakat dan menerapkan kebijakannya secara sewenang-wenang terutama terkait pengelolaan hutan. Hal ini akhirnya terakumulasi menjadi konflik.

Untuk diketahui bersama, bukan hanya sekadar putusan bebas saja yang diberikan oleh hakim. Namun Hakim Ketua Yunto Tambupolon juga memberikan pertimbangan berisi solusi-solusi yang seharusnya dilakukan oleh pihak TNUK.

Baik dalam hubungannya dengan masyarakat setempat, berdasarkan peraturan menteri, undang-undang, bahkan UUD 45 yang terkait kesejahteraan bagi rakyat yang harus dipenuhi negara. "Termasuk penetapan batas-batas yang merupakan kewajiban pihak TNUK," kata Ahmad Hardi, kuasa hukum terdakwa lain kepada Gresnews.com, Rabu (28/1).

BACA JUGA: