JAKARTA. GRESNEWS.COM - Nota pembelaan atau pledoi terdakwa kasus proyek Hambalang Anas Urbaningrum hampir seluruhnya berisi bantahan dari mantan Ketua Himpunan Mahasiswa (HMI) Dipo ini. Bahkan Anas melontarkan sindiran tajam kepada Jaksa Penuntut Umum KPK dan menegaskan adanya konspirasi yang menjebak dirinya.

Dalam surat tuntutan sebelumnya, Jaksa KPK mengatakan Anas dan tim penasehat hukumnya mencoba mempolitisir kasus ini. Tidak terima, Anas pun balik menuding bahwa Jaksa-lah yang mencoba mempolitisir kasus Hambalang tersebut.

Menurut Anas, indikasi tersebut terlihat dengan dakwaan dan tuntutan Jaksa mengenai dana-dana yang mengalir sebelum dan ketika Kongres Partai Demokrat. Ia mempertanyakan mengapa Jaksa hanya menyeret dirinya, padahal dalam kongres tersebut ada dua kandidat lain yaitu Marzuki Alie, dan Andi Mallarangeng. Dan Anas menyebut Jaksa tidak menyidik seluruh kandidat dalam kongres.

"Semua orang tahu dan menjadi rahasia umum proses menggunakan cara yang sama, tidak ada yang beda secara signifikan. Jika neraca perbaikan hukum dipegang benar, maka bukan 1/3 kongres yang diselidiki, disidik dan dituntut," ujar Anas di Pengadilan Tipikor, Kamis (18/9).

Ia melanjutkan, perkara ini awalnya dimulai dari dinamika internal Partai Demokrat sejak Kongres di Bandung pada 2010 lalu. Kemudian, muncul desakan terbuka dari Ketua Dewan Pembina Susilo Bambang Yudhoyono agar KPK memberikan penjelasan terhadap kasus hukum yang menimpanya.

"Pada saat yang sama timbul sprindik (surat perintah penyidikan). Ketidakwajaran bocornya sprindik tidak bisa diganti ribuan musim hujan dan kemarau," tandasnya.

Mantan Komisioner KPU ini kembali menyindir KPK yang menahan dirinya karena perintah dari Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat yang juga Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Lantas, Anas mengutip pendapat salah satu Hakim Agung, Artijo Alkostar yang terkenal karena selalu menambah hukuman bagi para koruptor di tingkat Mahkamah Agung.

"Pemegang kekuasaan politik biasanya ketagihan berkuasa dan tidak ingin melepaskannya. Untuk menguatkan mereka, basis pendukung bisa masa dengan kekuatan fisik, ekonomis, dukungan spriitiual, ataupun hukum. Bagi yang tidak loyal penguasa akan buat batas pembeda dengan bangun stigma politik dan rekayasa agar dipenjara. Cara membuat orang dengan kelompok/orang yang tidak disukainya karena merasa bersalah, terintimidasi, atau terteror. Kemudian muncul sikap asal bapak senang," ucapnya.

Suami Atthiyah Laila ini melanjutkan, tudingan Jaksa melakukan politisasi kasus ini semakin terlihat dalam dakwaan yang menyebutkan dirinya ingin menjadi presiden sejak 2005. Padahal, dari keterangan para saksi dihadirkan, seluruhnya membantah pernyataan tersebut. Menurutnya, hanya Nazaruddin yang mengarang cerita itu dan menjadi referensi bagi Jaksa KPK.

Bagaimana mungkin ujar Anas, seorang pengurus baru seperti dirinya ketika itu
ingin menjadi presiden. Padahal ketika itu dia bukanlah tokoh penting dan merasa belum mempunyai kualitas. Ditambah lagi ia pernah ditolak menjadi tenaga pengajar di kampusnya yaitu Universitas Airlangga, walaupun  merupakan lulusan terbaik.

"Jika ingin dipaksakan sebagai presiden harusnya dimulai dari kongres, walaupun hal itu juga tidak benar," cetusnya.

Dan upaya politis Jaksa itu semakin jelas tergambar setidaknya dalam tuntutan yang meminta Hakim Tipikor untuk mencabut hak politik Anas dalam memilih atau dipilih. Menurut Anas, pencabutan hak politik itulah muara yang hendak dituju Jaksa Penuntut Umum KPK.

BACA JUGA: