JAKARTA, GRESNEWS.COM - Majelis Ulama Indonesia (MUI), Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), meminta Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mengabulkan pengubahan batas usia pernikahan dari 16 menjadi 18 tahun bagi perempuan. Alasannya, ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Undang Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) bukan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari pembentuk undang-undang.

Berlakunya batasan tersebut juga dinilai tidak bertentangan konstitusi dan telah sesuai dengan nilai agama Islam. Dalam hukum Islam, batas minimal usia menikah adalah setelah seseorang akil baligh (dewasa). Masa ini dicapai seorang ketika berusia 9-15 tahun. Atau bagi perempuan ditandai telah mengalami haidh (menstruasi) dan bagi laki-laki sudah mengalami mimpi "basah". Tanda lainnya, laki-laki atau perempuan yang telah mencapai 15 tahun tanpa syarat haidh dan mimpi "basah".
 
Tanda-tanda tersebut, kata Ketua MUI KH Amidhan Shaberah, sejalan dengan ketentuan UU Perkawinan yang menentukan batas minimal usia perempuan untuk menikah adalah 16 tahun. "Batasan itu sudah sesuai ketentuan agama dan hukum positif," ujarnya saat menyampaikan keteranggannya di sidang  lanjutan pengujian batas usia nikah minimal bagi perempuan di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (2/12).

Amidhan berpendapat, penetapan batas usia nikah minimal 16 tahun bagi perempuan yang terumuskan dalam Pasal 7 Ayat (1) UU Perkawinan agar tidak terjadi kesenjangan terlalu jauh dengan usia akil baligh. Menurutnya, norma undang-undang tersebut tidak menghilangkan hak konstitusional warga negara, khususnya bagi kaum perempuan maupun pemohon, seperti yang didalilkan para pemohon.

Ia juga menolak dalil yang mengatakan batasan nikah bisa mempengaruhi unsur kesehatan bagi perempuan. Alasan negara membuat ketentuan soal batasan nikah itu untuk menghindari perbuatan yang dilarang agama, seperti melakukan hubungan layaknya suami istri di luar nikah. "Dengan pemberlakuan sarat minimal nikah 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki, saja masih ditemukan banyak kasus hubungan diluar nikah," kata Amidhan.
 
Pendapat serupa juga disampaikan Ketua Majelis Hukum dan HAM Pengurus Pusat Muhammadiyah Syaiful Bakhri. Menurut Syaiful, ketentuan sarat minimal usia dimaksudkan agar tercapai kematangan berpikir bagi mempelai yang akan melangsungkan permnikahan. Dengan demikian, kemungkinan terjadinya perpecahan di rumah tangga bisa dihindari. "Pasangan yang lebih matang akan memiliki pemahan yang lebih dalam terhadap tujuan perkawinan," tuturnya di sidang yang sama.
 
Rais Syuriah PBNU KH Ahmad Ishomuddin menjelaskan, pembatasan tersebut dilakukan negara untuk mengatur rakyat mendapat kemaslahatan bersama. "Pengaturan oleh negara suatu hal yang wajar," jelasnya.
 
Lain lagi dengan pendapat tokoh agama dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin). Bagi agama Hindu, perkawinan dapat dilakukan setelah mencapai usia dewasa. Ummat Hindu dianggap dewasa apabila secara jasmani dan mental telah memiliki kestabilan jiwa.
 
Ketua Dewan Pakar PHDI Pusat, I Nengah Dana mengungkapkan, dalam buku Perkawinan Hukum Hindu, usia yang layak menikah bagi perempuan adalah 18 tahun. Karena itu, ia berpendapat, frasa 16 tahun dalam pasal 7 Ayat (1) UU Perkawinan perlu diubah menjadi 18 tahun bagi perempuan. Sementara frasa 19 tahun bagi pria bisa diubah menjadi 21 tahun. "Bagi laki-laki, setidak-tidaknya sama dengan ketentuan saat ini," tuturnya.

Sedangkan menurut ajaran Matakin kedewasaan dihitung dari setelah dilaksanakannya prosesi upacara agama Konghucu ketika wanita memasuki usia 15 tahun dan laki-laki memasuki usia 20 tahun. Perempuan boleh menikah, lima tahun setelah upacara, sedangkan laki-laki 10 tahun sesudah prosesi upacara.
 
Meski demikian, kata Wakil Ketua Matakin Djaengrana Ongawijaya, saat ini batas usia perkawinan dalam agama Konghucu mengikuti perkembangan zaman. Bagi ummat Konghucu, lanjutnya, aturan negara tetap ditaati dan disesuaikan dengan agama Konghucu. "Matakin tidak dalam posisi mendukung atau menolak," paparnya.
 
Ketentuan pasal yang dipersoalakan tersebut diajukan oleh dua pemohon berbeda. Perkara nomor 74/PUU-XII/2014, dimohonkan Indry Oktaviani, Fr Yohana Tantria W, Dini Anitasari SA Baniah. Mereka meminta MK menguji Pasal 7 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Perkawinan. Sedangkan perkara nomor 30/PUU-XII/2014 dimohonkan Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) mengajukan uji materi terhadap Pasal 7 Ayat (1) UU Perkawinan.
 
Pasal 7 Ayat (1) berbunyi: "Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun".

Sedangkan Ayat (2) menyebutkan: "Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita".
 
Mereka berpendapat, batas usia anak perempuan dalam UU Perkawinan secara contrario tidak memiliki kesesuaian dengan 19 peraturan perundang-undangan nasional, baik dalam bentuk undang-undang, keputusan menteri, peraturan pemerintah, hingga putusan Presiden Republik Indonesia. Secara umum peraturan-peraturan tersebut menyatakan bahwa anak disebutkan telah dewasa apabila telah berusia di atas 18 tahun. Kondisi ini dianggap secara faktual dan aktual telah menimbulkan situasi ketidakpastian hukum mengenai batas usia anak di Indonesia.
 
Misalnya, dengan Pasal 26 UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mewajibkan orang tua untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak sampai usia 18 (delapan belas) tahun. Pasal di UU Perkawinan itu juga bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang mengatur bahwa usia anak sampai dengan 18 (delapan belas) tahun.
 
Selain itu bertentangan pula dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengenai pengaturan wajib belajar anak selama 12 (dua belas) tahun dan Pasal 131 Ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal ini menyebutkan, upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak anak masih dalam kandungan , dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas) tahun.

BACA JUGA: