JAKARTA, GRESNEWS.COM - Munculnya Kritik atas rendahnya realisasi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Kejaksaan Agung sepekan terakhir rupanya membuat gerah lembaga Adhyaksa ini. Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung buru-buru merilis data PNBP dari Januari hingga September 2015 yang disebutnya PNBP telah melampaui target, karena besaran PNBP mencapai Rp519 miliar.

"Menindaklanjuti informasi PNBP sebesar Rp41,8 miliar, dapat diinformasikan data tersebut salah dan bersumber dari data yang tidak jelas," jelas Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Amir Yanto dalam keterangannya kepada media beberapa waktu lalu.

Bahkan Kejaksaan Agung menyebut PNBP sebesar Rp512 miliar periode Januari hingga September telah melampaui target PNBP 2015 Kejaksaan sebesar Rp160 miliar. Ada 26 item sumber PNBP Kejaksaan Agung selama medio Januari-September 2015. Di antaranya pendapatan uang sitaan tindak pidana pencucian uang yang ditetapkan pengadilan sebesar Rp93 juta. Pendapatan uang sitaan hasil korupsi sebesar Rp29 miliar. Pendapatan uang pengganti  tindak pidana korupsi sebesar Rp79 miliar. Pendapatan hasil sitaan dan rampasan dan harta peninggalan sebesar Rp71 miliar. Pendapatan hasil lelang pidana korupsi sebesar Rp41 miliar dan penjualan dokumen pelelangan sebesar Rp1 miliar.

Namun pernyataan itu juga belum memuaskan kalangan DPR. Anggota Komisi III DPR Fraksi PDIP Masinton Pasaribu mengaku kurang puas dengan informasi yang diberikan Kejaksaan RI. "Pertanyaannya adalah apakah nilai PNBP tersebut sudah disetor kas negara? Dan mengapa target PNBP Kejaksaan RI tahun 2015 hanya Rp160 miliar saja," kata  Masinton  kepada media kemarin.

Politisi PDIP ini meminta Kejaksaan Agung menyampaikannya ke publik, PNBP itu telah disetorkan ke kas negara atau belum. Tak hanya itu, juga soal target PNBP 2015 yang nilainya kecil dibanding jumlah tunggakan pengembalian hasil korupsi yang nilainya mencapai Rp13 triliun.

"Tidak masuk akal jika tunggakan PNBP saja Rp13 Triliun tapi target hanya recehan. Ini namanya tidak produktif kinerjanya," kata Masinton.

EVALUASI KEJAGUNG - Tak sebandingnya nilai PNBP dan tunggakan uang pengganti hasil tindak pidana korupsi yang besar patut menjadi bahan evaluasi kerja Kejaksaan di bawah kepemimpinan Jaksa Agung M Prasetyo. Sebab kinerja belum produktif untuk memberikan kontribusi pada penegakan hukum dan pemasukan kepada negara.

"Jangan pakai alasan kondisi hukum berbeda dan belum ada yang berkekuatan hukum tetap. Yang menjadi laporan BPK soal kan PNBP yang dimana uang pengganti atau aset yang perkaranya sudah inkracht (berkekuatan hukum tetap). Presiden bisa pertimbangkan evaluasi kerja Jaksa Agungnya," kata Masinton.

Masinton mengingatkan, jomplangnya PNBP dan tunggakan yang harus dieksekusi, dikhawatirkan akan memberi peluang untuk diselewengkan oknum jaksa. Apalagi pada Peringatan Hari Bakti Adhyaksa  pada Juli lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan sinyal masih ada ATM berjalan oknum jaksa.

Sementara itu, peneliti Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch Wana Alamsyah menyatakan  minimnya target capaian PNBP Kejaksaan RI karena kurang transparansi dan akuntabilitas di lingkungan kejaksaan maupun pejabatnya. "Contoh saja Simkari tidak dioptimalkan, padahal anggaran yang digunakan untuk membuat sistem tersebut cukup besar. Belum lagi merosotnya kinerja Pusat Pemulihan Aset era Prasetyo," kata Wana.

Tak hanya itu, beberapa kasus yang ditangani kejaksaan dari 2010-2014 tidak ada perkembangan. "Jadi sangat mustahil jika kejaksaan memikirkan tunggakan PNBP, padahal PNBP sangat penting kontribusinya untuk perekonomian bangsa. Tunggakan perkara korupsi saja ada 1.775 kasus yang mangkrak di penyidikan. Jampidsus saat ini menurun kinerjanya. Jadi harus dievaluasi juga," cetusnya.

ICW pun berharap kejaksaan jangan mempersalahkan publik jika penilaian terhadap institusinya buruk. "Penilaian masyarakat itu nyata adanya. Karena masyarakat yang tahu kondisi sebenarnya di lapangan," pungkasnya.

TUNGGAKAN KASUS - Ada yang mengatakan, tingginya PNBP Kejaksaan Agung pada zaman Jaksa Agung Basrief Arief karena berhasil mengeksekusi uang pengganti kasus penggelapan pajak Asian Agri Grup sebesar Rp2,5 triliun. Memang hal itu bisa menjadi alasan. Namun di era Jaksa Agung Prasetyo juga sebenarnya PNBP bisa melampaui Rp519 miliar, jika ada keinginan mengeksekusi uang pengganti kasus korupsi PT Indosat Mega Media (IM2) sebesar Rp1,3 triliun. Namun Kejaksaan tak juga bergerak untuk mengeksekusi perkara tersebut.

Alasan Prasetyo karena ingin berhati-hati sehingga eksekusi tak pernah dilakukan hingga kini. Begitu juga dengan ekesekusi uang pengganti kasus bioremediasi PT Chevron Pasific Indonesia sebesar Rp100 miliar yang juga tidak dilakukan Kejaksaan Agung.

Contoh lainnya, proses pengembalian uang ke negara dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan obligor Sjamsul Nursalim. Ada tunggakan uang pengganti sebesar Rp4 triliun yang tak tertagih oleh Kejaksaan Agung. Telah bertahun-tahun kejaksaan  tidak berhasil menagih uang tersebut. Obligor BLBI lainnya adalah David Nusa Wijaya yang merupakan terpidana kasus korupsi BLBI Rp1,3 triliun pada  tahun 1998-1999. Pada tahun 2003, MA memvonis David hukuman pidana denda Rp30 juta dan membayar uang pengganti ke negara Rp1,2 triliun.

Data yang dihimpun Gresnews.com, proses pengembalian kerugian negara dari tangan para koruptor masih belum  optimal. Dari 1.365 kasus korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap sejak 2001, nilai kerugian negara yang harus dikembalikan mencapai Rp168,1 triliun. Namun Kejaksaan baru bisa mengembalikan 9 persennya atau sekitar Rp15 triliun.

Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) kurun 2004-2014, piutang uang pengganti kerugian negara yang belum disetorkan kejaksaan terus terakumulasi dari tahun ke tahun. Pada akhir tahun 2004, total piutang uang pengganti yang belum disetor sebesar Rp6,66 triliun. Setiap tahun jumlahnya meningkat hingga mencapai Rp13,14 triliun pada akhir 2013. Sementara pada laporan akhir tahun kinerja Kejaksaan Agung, eksekusi uang pengganti dari penanganan kasus korupsi hanya sekitar Rp1 triliun. Jumlah itu tak sebanding dengan tunggakan yang harus ditagih.

REZIM PEMULIHAN ASET - Salah satu sebab rendahnya pengembalian uang hasil korupsi karena belum terbentuk rezim pemulihan aset. Di Kejaksaan Agung sendiri ada Pusat Pemulihan Aset (PPA). Namun PPA ini hingga kini tidak bisa bekerja maksimal. Bahkan statusnya semakin tak jelas, apakah nonaktif atau dibekukan. Sebab setelah Kejaksaan Agung menyatakan akan mengevaluasi kinerja lembaga tersebut hingga saat ini tak terdengar gaungnya lagi.

Kriminolog Universitas Indonesia yang juga Komisioner Komisi Kejaksaan Ferdinand Andi Lolo mengatakan, sebenarnya keberadaan PPA dapat mengoptimalkan penerimaan kas negara dari kasus korupsi. Hanya saja, dengan melihat besarnya tunggakan hasil korupsi yang tak tertagih, menunjukkan pemberantasan korupsi di Indonesia belum efektif memulihkan aset yang dirampok para koruptor.

"Seharusnya dapat diselesaikan lewat Pusat Pemulihan Aset karena melalui PPA akan lebih mudah melakukan kontrol terhadap barang rampasan. Kalau tidak ada PPA, kontrol barang itu jadi sulit. Karena berpotensi ´dimainkan´ oleh oknum penyidik," kata Ferdinand kepada gresnews.com di Jakarta, Kamis (30/7).

Menurut ahli yang ikut menginiasi berdirinya PPA di Kejaksaan Agung ini,  sistem yang ada di PPA dinilai telah memenuhi aspek transparansi dan akuntanbilitas publik, dimana aset yang disita dimasukkan ke dalam situs dan publik ‎bisa mengakses. "Potensi korupsi yang akan dilakukan penyidik jadi tidak ada sama sekali. Karena ketika penyidik menyita 10 kemudian mengatakan 5 itu publik bisa mempertanyakan sisanya. Kalau tidak ada PPA kemungkinan terjadi dua kali korupsi," katanya.

Sayangnya, keberadaan PPA di era Jaksa Agung HM Prasetyo saat ini seperti tidak bertaji. Jaksa Agung dinilai tidak memiliki perhatian pada pemulihan aset. Hal ini, berbanding terbalik dengan mantan Jaksa Agung Basrief Arief yang fokus pada pemulihan aset. Padahal PNBP itu masih banyak yang belum tertagihkan. "Sekarang sepertinya mengendur.  Kejaksaan sepertinya disibukkan isu yang lain," kata Ferdinand.

BACA JUGA: