JAKARTA, GRESNEWS.COM - H. Suhaemi Zakir, seorang pedagang emas di Pasar Mayestik Jakarta Selatan mengajukan uji materi (judicial revew) terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (UU Perbankan). Dia mengajukan uji materi itu lantaran kesal, polisi dan Otoritas Jasa Keuangan tidak menindaklanjuti bahkan menolak pengaduannya atas Bank DKI yang dinilai menghalang-halangi eksekusi pencairan rekening sitaan miliknya.

Kuasa hukum Suhaemi, Rinaldi mengatakan, pihaknya meminta Mahkamah Konstitusi menguji Pasal 49 Ayat (3) huruf b UU Perbankan. Pasal ini berbunyi: "Yang dimaksud dengan pegawai bank adalah pejabat bank yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab tentang hal-hal yang berkaitan dengan usaha bank yang bersangkutan".
 
Menurut Rinaldi pasal tersebut bertentangan dengan norma Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945. "Penjelasan pasal tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan mengakibatkan hilangnya hak konstitusional pemohon sebagai pemohon eksekusi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," tutur Rinaldi dalam sidang pengujian UU Perbankan dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan I di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (5/11).
 
Dalam petitumnya, Rinaldi meminta penjelasan Pasal 49 Ayat (3) huruf b UU Perbankan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: "Yang dimaksud dengan pegawai Bank yang mempunyai wewenang dan tanggung-jawab tentang hal-hal yang berkaitan dengan usaha Bank yang besangkutan".
 
Dalam permohonan terpisah, Suhaemi juga mengajukan uji materi KUHP. Norma yang diujikan adalah Pasal 231 Ayat (3) yang berbunyi: "Penyimpan barang yang dengan sengaja melakukan atau membiarkan dilakukan salah satu kejahatan itu, atau sebagai pembantu menolong perbuatan itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun".
 
Menurut dia pasal tersebut bertentangan dengan norma Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai: "Penyimpan barang sitaan yang dengan sengaja melakukan atau membiarkan dilakukan salah satu kejahatan itu (menarik, menyembunyikan, menghancurkan, merusak, atau membikin tak dapat dipakai barang sitaan), atau sebagai pembantu menolong perbuatan itu, atau tidak mau memberikan secara sukarela barang yang disita atas perintah hakim diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun".

Gugatan Suhaemi ke MK ini berawal ketika dia melaporkan Bank DKI kepada kepolisian dan OJK karena dinilai telah menghalangi eksekusi pencairan rekening miliknya sesuai penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 07/Del/2013/PN.JKT.PST. Suhaemi menggunakan Pasal 216 dan Pasal 231 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Pasal 49 UU Perbankan sebagai dasar laporannya.

Namun laporan ini tidak diterima oleh kepolisian dan OJK dengan alasan yang sama, yakni Penjelasan Pasal 49 Ayat (3) huruf b UU Perbankan tidak jelas maknanya sehingga tidak memberikan kepastian hukum. Kasus Suhaemi dengan Bank DKI sendiri berawal dari gugatannya kepada PD Pasar Jaya lantaran toko emas miliknya dibongkar pada malam hari dan sebanyak 10 kilogram emas hilang.

Gugatan Suhaemi dikabulkan PN Jakpus dan pembayaran atas kerugian itu dilakukan melalui rekening milik Pasar Jaya yang ada di Bank DKI. Bank DKI merupakan penyimpan dan penjaga rekening sitaan milik PD Pasar Jaya yang dijadikan jaminan untuk membayar kerugian Suhaemi sebesar 10 kilogram emas.
 
Lalu pada 7 Maret 2014, PN Jakpus telah melaksanakan eksekusi pencairan sesuai penetapan PN Jakpus itu tertanggal 3 Maret 2014. Namun eksekusi ini tidak berhasil karena digagalkan dan dihalang-halangi oleh Bank DKI. Kemudian pada 27 Maret 2014, PN Jakpus kembali melaksanakan eksekusi tetapi lagi-lagi tidak berhasil karena kembali digagalkan dan dihalang-halangi Bank DKI.
 
Atas kejadian tersebut, Suhaemi pun kemudian menggugat Bank DKI kepada Kepolisian dan OJK lantaran dianggap melakukan perbuatan melawan hukum. Bank DKI dinilai menghalang-halangi eksekusi pencairan yang telah berkekuatan hukum.
 
Menyikapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Aswanto, Ahmad Fadlil dan Sumadi dan Arief Hidayat menilai permohonan pemohon sangat banyak kesalahan. Diantaranya, format penyusunanan permohonan, kewenangan Mahkamah Konstitusi, pasal yang dipersoalkan, batu uji yang dipilih, legal standing pemohon hingga kaitan persoalan yang dihadapi dan diinginkan pemohon tidak jelas.

"Saya sependapat dengan Pak Ahmad Fadlil Sumadi tadi, coba anda perhatikan formatnya, yang harus diuraikan itu apa," kata kata Arief Hidayat menasihati Rinaldi.

BACA JUGA: