JAKARTA, GRESNEWS.COM – Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyatakan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena itu MUI dan PBNU meminta Mahkamah Konstitusi menolak untuk seluruhnya permohonan pengujian Pasal 1 Ayat (2) UU Perkawinan yang menginginkan pernikahan beda agama diakui di Indonesia.
 
Menurut MUI, Pasal 2 ayat (1) adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena telah mendapatkan otoritas yang kuat dari alinea III dan IV Pembukaan UUD 1945. Ketentuan pasal tersebut  juga dinilai sejalan dengan Pasal 29 Ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
 
"Permohonan pemohon tidak berdasarkan hukum karena itu harus ditolak untuk seluruhnya," kata Wakil Sekretaris MUI Luthfi Hakim saat menyampaikan keterangannya di sidang lanjutan pengujian UU Perkawinan di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat (5/11).
 
Luthfi meminta ketentuan Pasal 2 ayat (1) tersebut tidak merujuk agenda HAM (Ham Universal Declaration of Human Rights). Sebab MUI beranggapan, tidak sedikit agenda HAM menabrak ketentuan agama, khususnya agama Islam.
 
Pernyataan serupa disampaikan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). "Isi pasal tersebut sudah benar dan tidak perlu mendapat perubahan karena sudah sesuai dengan ajaran Islam dan menjiwai UUD 1945," kata Wakil PBNU Ahmad Ishomaddin di sidang yang sama.
 
Ahmad menegaskan, perkawinan beda agama tidak bisa dilakukan dalam Islam dan tidak bisa dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). "Kami memohon kepada Majelis untuk tidak mengabulkan mana pun dari pemohon atas pengujuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan," tuturnya.
 
Sedangkan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) berpandangan, hukum perkawinan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan yang masuk dalam bagian hukum Perdata. Sementara keadaan hukum perdata yang berlaku di Indonesia sangat beragam, termasuk dalam hukum perkawinan. Hal ini dapat dilihat dalam Penjelasan Umum UU Perkawinan angka 2.  
 
Disebutkan, ´Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warganegara dan berbagai daerah seperti berikut: a. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum Agama yang telah diresipiir dalam Hukum Adat; b. bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat; c. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesia (S. 1933 Nomor 74)´.
 
Kemudian, d. bagi orang Timur Asing Cina dan warganegara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan; e. bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warganegara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum Adat mereka; f. bagi orang-orang Eropa dan Warganegara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
 
"Pengelompokan demikian tidak sejalan dengan amanat UUD 1945," kata Komisi Hukum PGI, Nikson dalam sidang yang sama.
 
Sebab kata dia, dengan UU Perkawinan tersebut berlaku asas aturan khusus yang  mengenyampingkan aturan umum. Dijelaskannya, aturan khusus adalah hukum agama dan kepercayaan. Sementara aturan umum adalah syarat-syarat perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU Perkawinan.
 
Menurut PGI rumusan Pasal 2 ayat (1) telah mengabaikan realitas warga Negara Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika. Ketentuan ini juga dinilai mengabaikan rasa cinta yang bersifat universal, tidak mengenal warna kulit, keturunan, golongan maupun agama.
 
Oleh karena itu, PGI berharap agar rumusan Pasal 2 ayat (1) harus diinterpretasikan dalam semangat Bhineka Tunggal Ika untuk melayani perkembangan masyarakat yang semakin plural. "Meskipun perkawinan beda agama bukan yang ideal, bukan mustahil perkawinan beda suku, ras, dan agama tetap berlangsung dalam kondisi sekarang ini," jelasnya.
 
Rumusan pasal ini juga dianggap PGI telah melanggar HAM, menyimpang dari prinsip keadilan dan diskriminatif terhadap perempuan sehingga perlu diganti atau direvisi.  "Seharusnya lembaga catatan sipil sekedar mencatat perkawinan yang sudah disahkan agama, tapi kenyataanya lembaga ini melebihi fungsi dan perannya," tuturnya.
 
Sementara Ketua Perwakilan Umat Budha Indonesia (Walubi), Suhadi Sanjaya, menyatakan dalam ajaran Budha, sepasang manusia bisa melangsungkan pernikahan karena ada jodoh masa lampau yang sangat kuat. “Inilah landasan kuat bagi ummat Budha untuk melangsungkan pernikahan," jelasnya.
 
Terkait kebebasan beragama menurut pandangan Budha, lanjutnya, tidak begitu saja umat lain diterima menjadi penganut agama Budha. Kata dia, dalam suatu cerita Budha, ada seseorang yang mendatangi Budha dan meminta untuk diterima sebagai penganut Budha. Namun Budha menyarankan agar orang tersebut tidak perlu masuk dalam ajaran Budha. Akan tetapi bisa menjalankan ajaran Budha dengan tetap menjalankan agamanya saat itu.
 
"Ini prinsif dasar dalam ajaran agama Budha dalam perkawinan, kami tidak menyampaikan pandangan hukum," jelas Suhadi.
 
Seperti diketahui, pengujian UU Perkawinan ini dimohonkan oleh sejumlah mahasiswa dan alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI). Mereka adalah Anbar Jayadi, Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, dan Lutfi Sahputra.
 
Menurut mereka Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang berbunyi "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu", telah menyebabkan ketidakpastian hukum bagi yang akan melakukan perkawinan beda agama di Indonesia.
 
Karena itu, para pemohon meminta kepada MK agar ketentuan pasal tersebut diberikan pemaknaan baru (kondisional konstitusional). Menjadi "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu sepanjang penafsiran mengenai hukum agama dan kepercayaannya itu diserahkan kepada masing-masing mempelai".

Para pemohon beralasan, Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28B ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

BACA JUGA: