JAKARTA, GRESNEWS.COM - Terpilihnya Yasonna Laoly sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengejutkan banyak pihak. Yasonna mengalahkan sejumlah nama yang sebelumnya telah disebut-sebut banyak media menjadi calon kuat menteri, seperti ahli Hukum Internasional, Hikmahanto Juwana, Pendiri Pusat Studi Konstitusi Saldi Isra, serta Hakim Mahkamah Agung yang paling ditakuti para koruptor karena selalu memperberat hukuman, Artidjo Alkostar.

Selain itu, Yasonna juga dianggap belum mempunyai rekam jejak yang menonjol. Selama menjabat sebagai anggota DPR, tidak terlihat peran putra asli Nias ini dalam mengambil beberapa keputusan penting. Ditambah lagi, Yasonna pernah menjabat sebagai pimpinan Badan Anggaran (Banggar) DPR yang selama ini dianggap sering tersangkut kasus korupsi.

Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mengaku kecewa atas terpilihnya Yasonna. Ia juga  mempermasalahkan latar belakang Yasonna yang berasal dari partai politik.
Ia beralasan, latar belakang parpol itu bisa berpotensi terjadinya konflik kepentingan dalam tubuh Kemenkumham.

"Mengecewakan, kami berharap Menkumham diisi orang independen sehingga tidak ada konflik kepentingan. Ia juga harus punya track record yang bagus, dan kapabilitas," kata Ade kepada Gresnews.com, Minggu (26/10) malam.

Ade berpendapat, pemilihan Yasonna dianggap sarat konflik kepentingan. Hal itu, dilihat dari pemilihan Menteri Hukum dan HAM yang berasal dari partai politik. Padahal, ia menganggap masih banyak tokoh lain yang berasal dari kalangan profesional atau akademisi yang seharusnya bisa menduduki posisi tersebut.

Namun demikian ia berharap, Yasonna bisa menepis segala anggapan tersebut dengan membuktikannya kepada publik. Salah satu pekerjaan rumah yang harus dibenahi Yasonna adalah masalah pembebasan bersyarat. Menurut Ade, politisi PDIP itu harus berani mengambil kebijakan yang mencerminkan keadilan di masyarakat, bukan keadilan kepada oknum atau parpol tertentu.

"Kami dari awal, ingin surat edaran PB dianulir. Makanya dibutuhkan Menkumham yang berani menganulir surat itu," ujarnya.

Hal senada juga disampaikan Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI). Ketua Advokasi YLBHI, Bahrain menilai penunjukkan Yasonna terbilang cukup berani, karena selain dinilai belum mempunyai jam terbang yang cukup mumpuni dalam mengambil keputusan strategis, Yosanna juga tidak mempunyai rekam jejak yang bagus.

"Menkumham ini seperti orang kuliahan saja. Pemahaman dalam konteksnya saja kita kurang tahu. Kan harapan kita jangan sampai konteks keadilan nasional dan internasional lalai. Peradilan justice harus disesuaikan," kata Bahrain saat dihubungi Gresnews.com, Minggu (26/10) malam.

Artinya, kesejahteraan dalam kerangka hukum betul-betul berjalan. Tetapi, hal itu belum pernah terlihat dalam diri Yasonna. Mantan Wakil Ketua PDIP Sumatera Utara ini diminta untuk menerapkan hukum yang berdasarkan peraturan yang berlaku dan berkeadilan di masyarakat, bukan hukum yang berlandaskan politik yang selama ini menjadi latar belakangnya.

"Agar tidak berbenturan dengan partai atau parlemen, perlu masukan bagaimana konsep hukum dalam tataran praktis. Jangan lagi-lagi politik," tandasnya.

Bahrain juga berharap Yosana bisa mempertimbangkan keberadaan pembebasan bersyarat terhadap koruptor. Apalagi menurut Bahrain, ia dianggap salah satu menteri yang muncul setelah adanya rekomendasi dari KPK dan PPATK.

Untuk itu, ia berharap Yosanna tidak mengecewakan KPK yang selalu menolak pembebasan bersyarat para koruptor seperti yang terjadi saat pemerintahan Presiden SBY. Sebab, meskipun PB kewenangan Kemenkumham, tetapi hal itu tidak mencerminkan keadilan bagi masyarakat.
.
"Dia harus bisa berikan warna dalam konteks pemberantasan korupsi karena lahir dari rekomendasi KPK. PB itu hak, rasa keadilan di masyarakat kurang dan konteks itu harus dipertimbangkan, baik itu PB maupun JC (Justice Collaborator). Apa yang diharapkan masyarakat tidak dicederai," tutupnya.

Yasonna Hamonangan Laoly adalah politisi asal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Ia pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi Sumatera Utara (1999-2004), dilanjutkan sebagai anggota DPR periode 2004-2009 dan diangkat menjadi wakil ketua badan anggaran (banggar) DPR pada 2013 serta ketua fraksi PDI-Perjuangan MPR.
 
Pria kelahiran Sorkam, Sumatera Utara, 27 Mei1953 itu menamatkan sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada 1978, dilanjutkan ke jurusan Sosiologi Virigina Commonwealth University dan gelar doktornya di bidang hukum diperoleh dari North Carolina State University pada 1996
 
Sebelum menjadi politisi, ia menjadi dekan Fakultas Hukum Universitas  Nomensen Sumatera Utara 1998-1999 dan pernah menjadi pengacara pada 1978-1983.

Yasonna juga mendapat beberapa penghargaan Outstanding Graduate Student Award Virgina Commwealth University, Amerika Serikat pada 1986; Alpha Kappa Delta International Sosiology Honor Society 1987, AS dan Sigma Iota International Honor Society 1993 juga di AS.
 
Yasonna baru menghadap Jokowi pada Jumat (24/10) lalu namun mengelak menyatakan pertemuan itu membahas mengenai menteri dan malah menyatakan ia berdiskusi tentang MPR. Dengan ditunjukkan Yasonna, semakin mengukuhkan tradisi pemilihan Menteri Hukum dan HAM yang didominasi dari partai politik sejak reformasi 1998.

Sebelumnya Muladi dari Partai Golkar menjabat sebagai Menkumham pada 1998-1999, dilanjutkan Yusril Ihza Mahendra dari Partai Bulan Bintang (23 Oktober 1999 - 7 Februari 2001 dan 9 Agustus 2001-20 Oktober 2004), Mohammad Mahfud MD dari Partai Kebangkitan Bangsa (20 Juli-9 Agustus 2001), Hamid Awaluddin dari partai Golkar (2004-2007), Andi Mattalatta juga dari partai Golkar (2007-2009), Patrialis Akbar dari Partai Amanat Nasional (2009-2011) serta Amir Syamsuddin dari Partai Demokrat (2011-2014).

Pengecualian orang non-partai hanya diberikan kepada Baharuddin Loppa yang hanya menjabat sekitar 4 bulan yaitu 9 Februari-2 Juni 2001 dan Marsilam Simanjuntak yang menjabat hanya sekitar 1 bulan yaitu 2 Juni-20 Juli 2001.

BACA JUGA: