JAKARTA, GRESNEWS.COM - Salah satu skandal korupsi besar yang jadi pekerjaan rumah (PR) Kejaksaan Agung ke depan menuntaskan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Namun hingga akhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kasus BLBI tak kunjung tuntas.

Sejumlah lembaga penggiat anti korupsi seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) menyayangkan tak seriusnya Kejaksaan Agung untuk menuntaskannya. Anggota Badan Pekerja ICW Emerson Yuntho mengatakan belum ada kemajuan signifikan, baik dalam mengungkap korupsi maupun menyita aset-aset mereka. Bahkan, para terpidana BLBI masih bebas berkeliaran di luar negeri tanpa tersentuh hukum.

Dalam kasus BLBI, salah satu obligornya adalah Sjamsul Nursalim. Kasus Sjamsul Nursalim dihentikan perkaranya setelah pemerintah menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL). Namun menurut Emerson, kasus BLBI secara pidananya belumlah tuntas. "Belum, masih ada uang negara di luar negeri dan buronannya di luar negeri," katanya.

Seharusnya, lanjut Emerson, Kejagung tidak hanya fokus terhadap pengembalian uang negara yang telah dirampok oleh para obligor BLBI, tetapi oknumnya juga harus diproses secara hukum. Kasus BLBI harusnya bisa dibuka kembali penyidikannya.

Emerson sendiri melihat, Kejaksaan Agung belum transparan dalam tangani kasus BLBI. Seperti kasus gagal bayar obligor BLBI Sjamsul Nursalir, sudah berapakah yang telah dibayar dan aset manakah yang disita.

"Kami menghimbau agar kasus pidananya dibuka kembali, dan ini bisa dilakukan di masa Jokowi-JK," pungkasnya.

Sedangkan pelaksana tugas (Plt) Jaksa Agung Andhi Nirwanto ketika diminta tanggapannya kasus BLBI, khususnya dalam kasus Sjamsul Nursalim yang diwajibkan membayar utang sebesar Rp3,6 triliun hanya menjawab normatif. Andhi mengatakan jika jaksa eksekutor tetap melaksanakan amar putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

Andhi tak menjelaskan berapa sisa utang yang telah dibayar dan belum dibayar. "Jadi apa bunyi putusannya itu yang kami lakukan, gitu saja normatifnya," kata Wakil Jaksa Agung ini.

Sebelumnya, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman berharap Jaksa Agung baru punya keberanian menangani korupsi kelas kakap seperti kasus BLBI. Bahkan dirinya berencana akan mengajukan PK dalam perkara gugatan SP3 Kasus BLBI Sjamsul Nursalim.

"Sengaja saya masukkan PK agar kerja kejaksaan terpacu dan termotivasi. Bila perlu kita buat praperadilan dalam setiap kasus yang di-SP3 atau diberhentikan penyidikannya," jelas Boyamin..

MAKI sendiri pernah menggugat pra peradilan penghentian penyidikan perkara BLBI Sjamsul Nursalim di Pengadilan Jakarta Selatan. Namun Pengadilan Tinggi (PT) DKI, 2008 membatalkan kemenangan MAKI tersebut karena masalah legal standing.

Dalam penanganan kasus dugaan korupsi BLBI Sjamsul misalnya, Kejagung telah menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). SP3 dilakukan setelah pemerintah saat itu Presiden Megawati Soekarno Putri menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL). Waktu Menteri Keuangan Boediono dan Menteri Perdagangan Rini Soewandi. Sjamsul diwajibkan menyerahkan aset miliknya ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) guna membayar utang BLBI Rp 3,6 triliun.

Namun, ada kekurangan yang disebabkan adanya aset bodong. Hal ini yang tengah diupayakan Kejagung melalui gugatan perdata. Dalam perkembanganan kasus ini, Sjamsul berlum pernah diperiksa oleh Kejagung meskipun jaksa penyelidik Urip Trigunawan, dan Artalita Suryani (Ayin) telah dipidana terkait penanganan kasus tersebu‬

Dalam kasus penyelesaian utang BLBI, pemerintah dalam hal ini BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) mengenakan skema APU (Akta Pengakuan Utang) dan MRNIA (pembayaran dengan jaminan aset pribadi) serta MSAA (Master Settlement of Aqusition Agreement).

Dalam catatan tak kurang sebanyak Rp146 triliun uang negara dikucurkan untuk penyehatan perbankan. Belum lagi dana recovery perbankan sebesar Rp50 triliun setiap tahun, sehingga tercatat sekitar Rp600 triliun uang negara menguap.

BACA JUGA: