JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) di ruang sidang pleno MK. Sidang yang digelar pada Rabu (7/6) itu beragenda mendengarkan keterangan saksi, dalam hal ini adalah kepala daerah. Walikota Surabaya Tri Rismaharini dihadirkan sebagai saksi dalam perkara yang diregistrasi dengan Nomor 31/PUU-XIV/2016 itu

Dalam kesaksiannya, Risma menyampaikan, jika pengelolaan pendidikan SMA/SMK diserahkan ke provinsi maka akan banyak anak–anak yang hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat sekolah menengah pertama (SMP). "Problem ini akan terasa pada 10 hingga 15 tahun yang akan datang, mereka menjadi beban negara, tidak bisa melanjutkan ke jenjang SMA/SMK," kata Risma dalam kesaksiannya.

Uji materi atas UU Pemda khususnya terkait pengambilalihan wewenang pengelolaan penyelenggaraan pendidikan sekolah tingkat menengah di tingkat provinsi itu diajukan oleh empat wali murid di sebuah sekolah di Surabaya. Para orang tua murid itu tidak setuju jika kewenangan pengelolaan pendidikan dilimpahkan ke provinsi.

Apalagi, selama ini, ketika kewenangan itu masih dipegang pihak kota/kabupaten, dana pendidikan dari provinsi sudah sedemikian minim. Maka keempat orang tua murid itu pun mendaftarkan gugatan mereka ke MK diwakili kuasa hukum Edward Dewaruci. Gugatan dilayangkan pada Senin (7/3) lalu.

Pada saat bersamaan gugatan serupa juga dilayangkan oleh Walikota Blitar Muhammad Samanhudi. Karena gugatan itu datang pada saat bersamaan, kedua gugatan tersebut disatukan dalam satu berkas perkara.

Risma sendiri mengaku hadir di sidang tersebut sebagai saksi atas kesadaran sendiri. Dia menegaskan, pendidikan adalah hak setiap warga negara Indonesia (WNI). Sebab itu, setiap orang tidak berhak membatasi seseorang untuk memperoleh pendidikan, terlebih pemberian pendidikan kepada rakyat miskin.

"Pendidikan itu nomor satu, walapun orang miskin juga berhak mendapatkan pendidikan, karena itu di Surabaya sekolah gratis," ujarnya.

Dalam sidang tersebut, Risma mengatakan, pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat seharusnya malah membantu pihak kota/kabupaten dalam menyelenggarakan pendidikan, jika memang masih ada kekurangan. "Bukan mengambil alih, apabila tidak sesuai harapan. Ya misalnya tidak sesuai standar ya mestinya ditutup dengan pusat dan provinsi, bukan justru menjauh," paparnya.

Dia bersikukuh, pengelolaan pendidikan menengah harus dilakukan oleh tingkat kota/kabupaten dan bukan ke provinsi. Alasannya, pendidikan terhadap anak-anak dilakukan oleh semua pihak di masyarakat termasuk pihak kecamatan dan kelurahan.

"Saya dengan hormat meminta agar diberikan kewenangan, dan saya juga mendidik seluruh lurah dan camat, silakan dicek semua sekarang perhatian terhadap anak-anak," ujarnya.

Dalam kesempatan itu, politisi PDIP tersebut juga mengeluhkan minimnya anggaran pemerintah baik itu untuk SMA maupun SMK di Jawa Timur yang hanya mencapai Rp400 miliar. Padahal di Surabaya saja, anggaran pendidikan mencapai Rp600 miliar. "Kalau anggaran saja minim hanya Rp400 miliar, bagaimana bisa untuk dapat pendidikan secara merata?" ujarnya.

BANYAK PUNGUTAN LIAR - Terkait argumen Risma, Ketua MK Arief Hidayat sempat bertanya bagaimana sikap Risma atas persoalan ini, jika dia menjadi gubernur. Arief menilai soal kewenangan pendidikan menengah bukan masalah peraturannya tapi kepada siapa orang yang menjalankan aturan itu.

"Kalau itu dilakukan Bu Risma sebagai Gubernur Jawa Timur, apakah manfaatnya tidak lebih besar? Karena Bu Risma bisa melakukan pengaturan sebagaimana yang dilakukan," kata Arief.

"Kalau kita berandai-andai lagi, kalau Bu Risma jadi Presiden itu seluruh Indonesia pendidikannya bisa lebih bagus kalau itu ditangani oleh pemerintah pusat. Jadi sebetulnya bukan dalam kerangka pengaturan pasal ini tapi pistol ini yang pakai itu siapa," imbuh Arief.

Menanggapi pertanyaan itu, Risma menjelaskan, sikapnya tetap sama. Menurut dia, pemkot atau pemkab akan lebih tahu apa yang terjadi di daerahnya daripada pemprov. Jika kewenangan diserahkan ke gubernur belum tentu detail apa yang terjadi di lapangan akan terlaporkan semua.

Lantas Risma juga bercerita bagaimana dia pernah mengungkap adanya pungutan liar di sekolah meski sudah ditetapkan gratis. Ceritanya, ketika itu tahun 2008, dia masih menjabat sebagai Kepala Badan Perencanaan Kota Surabaya.

Suatu ketika, kata Risma, dia mendapatkan surat yang ditulis oleh seorang ayah yang mengaku mempunyai tiga anak yang masih sekolah. Di dalam surat tersebut, si ayah mengeluh anak-anaknya tidak bisa mengikuti ujian karena belum membayar uang sekolah.

Risma pun langsung turun untuk mengecek ke lapangan soal masih adanya pungutan uang sekolah tersebut. "Saya datang ke sana atas kesadaran sendiri, dan ingin membantu agar anak-anak bisa ikut ujian ulangan," ucap Risma.

Tiba di sekolah itu, sang kepala sekolah kemudian memberikan catatan tagihan sekolah sebesar Rp900 ribu dengan rincian Rp450 ribu untuk biaya khusus selama sembilan bulan dan sisanya untuk biaya rekreasi. Saat itu, Risma datang dengan cara menyamar sebagai wali murid yang ingin membayar uang sekolah yang ditagihkan.

Si kepala sekolah berdalih tidak ada pungutan untuk pembayaran SPP, tetapi pihak sekolah mengaku uang yang tertunggak adalah biaya kursus dan rekreasi anak-anak. Mendengar alasan yang tak masuk akal itu, Risma pun berang. Dia lantas membuka identitasnya sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan.

"Saya mengaku Kepala Perencanaan Pembangunan, dan saya pertanyakan soal sikap pihak sekolah terhadap anak tersebut, yang tidak bersikap adil kepada anak miskin," tegasnya.

Risma juga bercerita pernah menerima surat dari seorang siswa yang tidak mampu menebus ijazah karena harus membayar dengan sejumlah uang. Kemudian dia tebuskan senilai hampir Rp1 juta. Cerita lainnya yaitu mengenai uang operasional SMP anak dari stafnya senilai Rp3 juta, padahal gaji seorang staf tak sampai segitu.

"Saya punya anak buah, PNS, anaknya sekolah di samping kantor saya di SMP 1 uang operasionalnya Rp3 juta, bagaimana mungkin, saat itu gaji saya Kepala Bappeko hanya Rp4 juta, staf dia. Mana cukup? Anaknya pinter itu," ujar Risma.

"Setelah saya jadi wali kota, masyarakat surabaya memberi amanah kepada saya, saya sampaikan kepada kepala sekolah semuanya, kepala dinas pendidikan, saya akan penuhi biaya berapa pun biaya pendidikan asal sekolah gratis," tutupnya.

BANYAK PENOLAKAN - Penolakan pengambilalihan SMA/SMK menjadi aset pemprov di Jatim juga bukan hanya disuarakan Walikota Surabaya dan Blitar. Penolakan serupa juga datang dari Pemkot Malang. Mereka juga secara resmi melayangkan surat protes baik kepada pemprov Jatim dan Kementerian Pendidikan.

"Kami tidak ingin itu terjadi, yang jelas kami menolak rencana itu. SMA/SMK menjadi aset Pemprov," kata Wali Kota Malang Mochammad Anton beberapa waktu lalu.

Menurut Anton, pemda dalam hal ini Pemerintah Kota Malang sudah baik serta maksimal dalam mengelola dan melakukan pembinaan di SMA/SMK. Jika itu kemudian beralih kepada Pemprov Jatim maka otomatis akan dilakukan pembenahan dari awal lagi.

Anton turut menyinggung adanya ruang UKS di SMA Negeri 2 sudah cukup baik, begitu juga SMAK Dempo juga memiliki ruang perpustakaan memadai. "SMA/SMK di Kota Malang sudah baik. Lalu buat apa diambil alih, ini masalah baru dan kami tetap akan berjuang untuk mempertahankan," tegas politisi dari PKB ini.

Dia mencontohkan, hanya Kota Malang yang tetap mempertahankan Kurikulum 2013 dan kini menjadi percontohan. "Kami punya dasar dan alasan untuk menolak. Bukan semata-mata hanya ngomong," tandasnya.

Pihaknya berharap, Pemprov Jatim bisa menghargai perjuangan pemerintah daerah dalam meningkatkan mutu pendidikan. Jangan sampai pengambilalihan justru akan menciptakan situasi kurang baik di lembaga pendidikan. "Banyak dari guru-guru sekarang bingung dan takut. Jika diambil alih, saya harus memperhatikan juga nasib dan keluhan mereka," ujar Anton.

Pemprov Jawa Timur akan mengambil alih pengelolaan Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMA/SMK) dari Pemerintah Kabupaten/kota. Hal itu merujuk pada amanat UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Dalam UU tersebut dicantumkan soal pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Salah satunya adalah pembagian urusan pemerintahan bidang pendidikan.

Peralihan pengelolaan didasarkan pada UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pengganti UU Nomor 32 Tahun 2004 bahwa manajemen pengelolaan SMA/SMK berada di tangan pemerintah provinsi. Sementara pemerintah kabupaten/kota hanya menangani sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. (dtc)

BACA JUGA: