Koordinasi Buruk, PT Pos dan Kementerian BUMN Tidak Tahu Sang Dirut Jalani Tahanan Kota

JAKARTA, GRESNEWS.COM - Koordinasi antara instansi di negeri ini memang payah. Bahkan menyangkut nasib seseorang yang menjalani tahanan kota pun pun tak ada kejelasan.  PT Pos Indonesia (Persero) mengaku belum mengetahui kabar dari Kejaksaan Agung bahwa Direktur Utama PT Pos Indonesia (Persero) Budi Setiawan menjalani tahanan kota atas jaminan direksi dan uang sita sebesar Rp9,56 miliar. Bahkan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pun juga tidak mengetahui mengenai penetapan status dari Kejaksaan Agung.

Kepala Humas PT Pos Indonesia (Persero) A.Sofian mengaku berdasarkan keterangan dari Vice President Bidang Hukum PT Pos Indonesia (Persero) bahwa perusahaan belum menerima kabar resmi dari Kejaksaan Agung. Maka dari itu, Sofian mengaku perusahaan akan mencari tahu terkait penetapan Budi Setiawan oleh Kejagung.

"Setahu VP Hukum, kami belum menerima kabar resmi dari Kejagung," kata Sofian kepada Gresnews.com. Jakarta, Sabtu (7/2).

Sementara itu, Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik dan Perhubungan Kementerian BUMN Dwijanti Tjahjaningsih mengaku belum mengetahui bahwa Direktur PT Pos Indonesia (Persero) Budi Setiawan saat ini menjalani tahanan kota. Dia mengaku setelah mendapatkan konfirmasi dari sang Dirut bahwa dirinya belum mendapat info resmi dari Kejagung terkait menjalani masa tahanan kota.

"Kok kata Pak Dirut (Budi Setiawan) belum ada info resmi ya ?" kata Dwijanti kepada Gresnews.com melalui pesan singkatnya.

Saat ditanyakan bagaimana tanggapan Kementerian BUMN terkait penetapan status Budi Setiawan yang menjalani tahanan kota. Dwijanti tidak membalas pesan singkat dari Gresnews.com.

Sebagaimana diketahui, kasus pengadaan portabel data terminal (PDT) berawal saat proyek pengadaan alat itu dicanangan pada Mei Agustus 2013. Alat yang bentuknya mirip telpon genggam itu akan digunakan pengantar pos untuk mengirimkan barang kepada penerima. Nantinya data yang berasal dari pengatar pos tersebut akan terkirim ke server pusat.

PT Pos Indonesia (Persero) menjalin kontrak dengan PT Datindo Infonet untuk pengadaan alat tersebut dan mengeluarkan dana hingga Rp10,5 miliar. Dana itu didapat perusahaan dari Kementerian BUMN.

Kendati demikian, dari 1725 alat PDT yang dibeli hanya 50 alat yang berfungsi namun tidak sesuai dengan spesifikasi yang tertera dalam kontrak. Salah satunya kekurangan dalam alat tersebut adalah tidak adanya Global Position System (GPS) dan daya baterai yang hanya bertahan selama tiga jam. Padahal dalam kontrak, harusnya alat tersebut memiliki GPS dengan daya tahan baterai mencapai delapan jam.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung memang telah melakukan penyitaan terhadap ribuan unit PDT merk Intermec di Kantor Pos Pusat, Jl Lapangan Banteng, Jakpus. Penyitaan ini terkait dugaan korupsi di PT Pos Bandung dan PT Datindo Infonet Prima.

Penyitaan dilakukan di sebuah gudang di lantai 6 gedung utama PT Pos Indonesia. Para penyidik yang mengenakan seragam dan rompi Kejagung ini tiba di gedung PT Pos Indonesia sejak pukul 14.30 WIB.

Mereka langsung menyita dan menyegel ribuan kardus berisi alat PDT itu. Penyegelan juga disaksikan oleh beberapa petugas dari PT Pos Indonesia. Penyegelan dilakukan hingga pukul 16.30 WIB.

Menurut Kasubdit Tindak Pidana Korupsi Jampidsus Kejagung, Sarjono Turin, PDT adalah alat yang berbentuk seperti handphone yang digunakan oleh petugas pos di lapangan untuk pendataan surat. Informasi tersampaikannya surat tersebut langsung terkoneksi dengan server yang berada di kantor pos.

Kejagung telah menetapkan 2 tersangka dalam kasus ini. "Tersangka sementara ini 2 orang yaitu M dari PT Pos selaku ketua penerima barang dan EC dari PT Datindo selaku rekanan," ucap Sarjono.

Namun saat ini keduanya belum ditahan. Pengadaan PDT kali ini, menurut Sarjono, sebetulnya sebanyak 1.725 unit. Namun 50 unit lainnya masih dapat digunakan meski tak sesuai spesifikasi yang dipesan.

Sarjono mengatakan, PT Pos Indonesia sebelumnya pernah melakukan pengadaan barang serupa pada tahun sebelumnya. Namun pihaknya belum menyelidiki apakah alat tersebut dapat digunakan dan sesuai dengan spesifikasi atau tidak. "Yang jelas ini bukan pengadaan yang pertama," ujarnya.


BACA JUGA: