JAKARTA, GRESNEWS.COM - Entah mimpi buruk macam apa yang tengah menghampiri Wira Santoso. Pada Jumat pagi (3/7), tanpa ada peringatan sebelumnya, puluhan petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) mengepung bangunan rumah miliknya. Tanpa ba-bi-bu, mereka segera membongkar rumah seluas 148 meter persegi itu yang terletak di Jalan Raya Pasar Pagi Nomor 72 RT 001/02 Kelurahan Roa Malaka, Tambora, Jakarta Barat.

Wira hanya bisa pasrah dengan pembongkaran itu. Tetapi dia tidak diam, Wira tetap berupaya melawan tindakan Pemkot Jakarta Barat yang membongkar rumahnya itu tanpa ada sepucuk pun surat perintah dari pengadilan. Pihak Pemkot Jakarta Barat beralasan, bangunan itu berdiri di atas tanah milik pemerintah kota. Namun, Wira punya bukti-bukti lain yang menunjukkan kalau tanah dan bangunan itu memang miliknya pribadi.

Belakangan diketahui, pembongkaran oleh Pemkot Jakarta Barat itu didasari atas dasar permintaan sepihak seseorang bernama Ervin Oktariadi yang dalam beberapa tahun terakhir mengklaim sebagai pemilik hak guna bangunan (HGB) lama tersebut. Dua kali proses eksekusi dilakukan.

Pertama, pada Jumat (3/7) eksekusi dilakukan dengan mengeluarkan barang dan merobohkan bagian atap rumah. Dalam proses ini sempat terjadi ketegangan antara pemilik lama dan kelompok orang yang menyebut diri sebagai pemilik baru. Ketegangan memuncak ketika salah satu orang yang memagari rumah Wira mengeluarkan senjata dan melepaskan tembakan. Si penembak akhirnya diamankan anggota polisi.

Lalu eksekusi kedua kembali dilakukan pada Minggu (5/7) kemarin. Eksekusi kedua bahkan mendapat pengawalan ketat dari anggota Polsek Tambora. Pihak Wira menilai eksekusi kedua ini merupakan tindakan sewenang-wenang Pemkot Jakbar dan aparat penegak hukum.

Kuasa hukum Wira Santoso, John Sabita, menegaskan, tindakan pembongkaran kedua dengan mengeluarkan semua barang dalam rumah atas perintah Kapolsek Tambora sebagai tindakan sewenang-wenang. Eksekusi kedua dinilainya tindakan pencurian dengan kekerasan. "Jelas itu ilegal karena sejatinya eksekusi kedua harus ada putusan dari pengadilan terlebih dulu," jelas Sabita saat berbincang dengan gresnews.com, Selasa (7/7).

PEMKOT JAKBAR BAKAL DIGUGAT - Atas tindakan pembongkaran paksa bangunan milik Wira itu, Jhon mengaku pihaknya tengah menyiapkan langkah perlawanan. Pertama, melakukan gugatan perdata terhadap Pemkot Jakbar. Kedua kembali akan melaporkan Ervin dan Yani atas keterangan palsu soal kepemilikan rumah tersebut.

Jhon Sabita menyatakan, soal kepemilikan yang sah rumah ini pihaknya memiliki bukti jika rumah ini memang dimiliki oleh Wira Santoso. Hal itu dibuktikan dengan Surat Bukti Menggarap Tanah Negara Nomor 21/33/11/1969 tanggal 02 5ebruari 1969 atas nama Lie Thian Poe yang ditandatangani oleh Lurah Malaka Rau Dari Somah saat itu. Lie Thian yang merupakan ayah Wira Santoso telah menempati dan mengusahai tanah tersebut sejak 1948.

Hal itu juga dibuktikan dengan Surat Pernyataan dari Wira Santoso yang ditandatangani Lurah Roa Malaka sekarang Agus Saputra. Surat pernyataan tersebut menyatakan bahwa Wira adalah pemilih sebidang tanah tersebut dan tidak pernah dijual kepada siapapun dan tidak pernah dijaminkan sebagai agunan bank di manapun.

"Sampai saat ini masih saya tempati dan saya usahai bersama anak kandung saya Budi Setiawan," kata Wira seperti dikutip dari Surat Pernyataan yang dibuat Wira tertanggal 4 Juni 2015. Surat pernyataan tersebut juga ditandatangani Ketua RT 001 Jonson Tjandra dan Ketua RW 002 Wiyono Djaya.

Tak hanya surat bukti kepemilikan, menurut Sabita, bukti lainnya bahwa rumah tersebut milik Wira adalah bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tertanggal 3 Februari 2015 .

Alasan lain Wira melayangkan gugatan kepada Pemkot Jakbar adalah karena pihak Pemkot dinilai telah bertindak tak adil dan tebang pilih dalam masalah pembongkaran bangunan ini. Hal itu dibuktikan dengan tindakan aparat yang hanya membongkar bangunan miliknya meski di sekitar kediamannya terdapat banyak rumah yang tak miliki IMB.

"Kalau mau bongkar ya bongkar saja semuanya. Di sini banyak rumah tua yang seumur sama juga tidak punya IMB. Kalau begini namanya pilih kasih," kata Wira kesal.

Dia juga menyayangkan pihak Pemkot Jakbar ikut campur dengan masalah sengketa warga. Wira mengatakan, seharusnya pihak Pemkot menelusuri secara akurat mengenai duduk permasalahan bangunan rumah tersebut. Sehingga, tidak timbul stigma negatif terhadap Pemkot atas tindakan pembongkaran.

DUDUK PERKARA - Duduk perkara sengketa tanah antara Wira dan Ervin ini terjadi sejak tahun 2014 lalu. Saat itu Wira tak mengetahui jika Ervin Oktariadi ternyata telah mengklaim tanah dan bangunan miliknya itu. Hal itu baru diketahui Wira ketika pada 2014 lalu Wira mengecek di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Ternyata, di sebidang tanah tersebut juga ada sertifikat lain yang dimiliki oleh Ervin.

Setelah ditelusuri lebih jauh, Ervin diketahui memiliki rumah tersebut setelah membelinya dari pihak lain bernama Yani dan Yasafat sejak 2005 silam. Atas fakta tersebut, Wira kemudian melaporkan Yani dan Yasafat ke Polda Metro Jaya atas sangkaan keterangan memberikan palsu. Sayangnya, polisi mengaku kesulitan untuk melanjutkan proses hukumnya.

Tapi, menurut Jhon Sabita, sulitnya tindak lanjut laporan oleh polisi karena tak tepatnya obyek terlapornya. Yang harusnya dilaporkan adalah Ervin. Sabita menduga, ada pihak yang menggunakan nama Ervin untuk mengambil lahan dari Wira. Sebab saat dibeli oleh Ervin umurnya masih di bawah 18 tahun dan saat itu dia sedang studi di luar negeri.

Karenanya kliennya akan kembali membuat laporan ke Polda Metro Jaya atas kasus yang sama. Namun saat ini terlapornya bukan Yani dan Yasafat tetapi Ervin Oktariadi sebagai pemilik terakhir. Dan perintah eksekusi diduga juga atas dasar permintaan Ervin.

Wira tambah kaget ketika menerima perintah eksekusi atas rumahnya. Itu diawali dengan adanya Surat Peringatan pertama dari Walikota Jakarta Barat untuk membongkar sendiri rumahnya dalam waktu 7X24 jam pada 1 April 2015. Jika tidak, Tim Penertiban Terpadu Pemerintah Provinsi DKI akan melakukan pembongkaran dengan segala beban risiko. Surat Peringatan pertama tersebut ditandatangani Walikota Jakarta Barat Anas Efendi.

Dalam surat tersebut memang disebutkan alasan pembongkaran. Dasarnya sejumlah aturan antara lain  UU No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Perda No 7 tahun 2010 tentang Bangunan Gedung hingga sejumlah Keputusan Gubernur DKI Jakarta diantaranya Keputusan Gubernur No 886 tahun 1983 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Penguasaan Tanah Tanpa Hak di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Atas sejumlah aturan tersebut, bangunan milik Wira disebut didirikan tanpa Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di atas tanah milik orang lain SHGB No 02599/Kelurahan Roa Malaka atas nama Ervin Oktariandi luas 104 m2. Wira diingatkan untuk membongkar hingga tiga kali. Hingga pada 1 Juli 2015 muncul perintah pembongkaran dengan no 2367/-1.711.31. Wira diberikan tenggat waktu 1X24 jam.

Hanya saja Sabita melihat sejumlah keganjilan surat perintah tersebut. Pertama, terkait luas tanah sesuai HGB yang sebenarnya adalah 147 m2 setelah dilakukan pengukuran terbaru oleh BPN. Setelah dikurangi jalan dan lainnya, luas tanah berkurang hanya 136 m2. Sementara dalam surat perintah pembongkaran luasnya 104 m2. Kedua, sesuai UU No 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung Pasal 48 Ayat (3) dan Pasal 14 Ayat (3) Peraturan Gubernur DKI No 129 tahun 2012 tentang Tatacara Perbaikan Pelayanan di Bidang Bangunan bahwa luas tanah kurang dari 160 m2 tidak diwajibkan urus IMB.


LAPORKAN ANCAMAN KEKERASAN - Kasus pembongkaran rumah Wira, menurut Sabita, akan berbuntut panjang. Pihak Wira telah melaporkan salah satu orang yang melepaskan tembakan saat proses eksekusi pada Jumat (3/7). Oknum tersebut telah dilaporkan ke Polres Jakarta Barat dengan LP/844/VII/2015/PMJ/Restro Jakbar dengan Pasal 336 KUHP terkait Pengancaman.

Sabita mengatakan tembakan tersebut mengancam jiwa kliennya. Apalagi kepemilikan senjata juga ada aturannya. Sabita berharap polisi segera memproses laporan kliennya tersebut.

Sabita melihat upaya penggusuran atas rumah kliennya tersebut ada permainan terstruktur. Mulai dari BPN yang memanipulasi data kepemilikan tanah hingga keterlibatan oknum Pemkot Jakbar serta perintah eksekusi kedua yang langsung melibatkan Polsek Tambora. "Jelas ada sesuatu di sini," kata Sabita.

Dia menduga, ada oknum pejabat di BPN Jakbar yang menerbitkan sertifikat palsu di atas tanah milik Wira. Yani dan Yasafat sendiri, menurut dia, diduga merupakan bagian dari sindikat mafia tanah itu. Dia bilang, cukup banyak sertifikat bodong yang diterbitkan oleh petugas BPN Jakarta Barat di atas tanah milik warga itu yang mengakibatkan warga Pasar Pagi jadi korban.

"Aksi mafia yang berkomplot dengan oknum pejabat BPN Jakarta Barat maupun Kanwil BPN DKI Jakarta itu sudah kami laporkan ke pihak Polda Metro Jaya. Tinggal nunggu proses aparat kepolisian saja untuk memburu para pelaku," ujarnya.

Pihak Pemkot Jakbar sendiri beralasan, pembongkaran bangunan sudah dilakukan sesuai prosedur. "Bangunan ini tidak punya izinnya, ini juga sesuai perintah dari Walikota Jakarta Barat. Mekanisme ini sudah ada peringatan terkait izin bangunan, keluarlah surat pembongkaran terhadap bangunan ini," ujar Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Jakarta Barat, Kardiman Sitinjak, Jumat (3/7) lalu.

Ia mengaku hanya menjalani prosedur yang ada. "Kami hanya pelaksana dari perintah Wali Kota. Kalau untuk permasalahan ranah hukumnya kita serahkan ke bagian Biro Hukum Walikota Jakarta Barat," ujarnya. Pihak Pemkot sendiri, kata Kardiman, sudah melaksanakan prosedur termasuk memberikan surat peringatan sebanyak tiga kali sebelum melakukan pembongkaran.

BACA JUGA: