JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sekali membuka borok korupsi di PT Pertamina Transkontinental (PT PTK), Kejaksaan membidik dua kasus sekaligus untuk mantan Wadirut PT Pertamina, Ahmad Bambang. Pertama kasus dugaan korupsi penyediaan dan operasi kapal Anchor Handling Tug Supply (AHTS) Kapal Transko Andalas dan Kapal Transko Celebes tahun anggaran 2012-2014. Terbaru kasus dugaan pengadaan kapal mooring boat dan pilot passenger boat.

Pada Kamis (2/3) Ahmad Bambang kembali menjalani pemeriksaan sebagai saksi dalam kasus yang terbaru tersebut. "Ya, yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi pengadaan mooring boat," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Moh Rum, Minggu (5/3).

Namun penerangan hukum Kejaksaan Agung belum memberikan informasi posisi dalam kasus yang baru tersebut. Dijelaskan, jika tim penyidik tengah mengusut kasus di PT PTK.

Ahmad Bambang sendiri usai diperiksa pada Kamis, irit bicara. Dia meminta agar gresnews.com meminta penjelasan pada tim kuasa hukumnya.

Kuasa hukum Ahmad Bambang, Djaka Sutrasta menyampaikan jika kliennya diperiksa sebagai saksi dalam kasus pengadaan kapal. Djaka mengatakan kasus yang disidik Kejaksaaan Agung adalah kasus lama.

"Beliau diperiksa sebagai saksi terkait kasus mengadaan mooring boat dan pilot passenger boat, bukan AHTS," kata Djaka kepada gresnews.com.

Disoal lebih jauh tentang kasus tersebut, Djaka enggan menjelaskan. Dia berdalih belum berbicara banyak dengan kliennya soal kasus tersebut. Djaka hanya menjelaskan jika rekanan pengadaan dalam kasus ini adalah PT Tri Ratna Diesel Indonesia.

Dari penelusuran gresnews.com, kasus pengadaan yang melibatkan rekanan PT Tri Ratna Diesel adalah pengadaan dan pembangunan galangan kapal di proyek Donggi Senoro LNG. Penunjukan PT Tri Ratna diduga bermasalah. Dalam kasus ini, Ahmad Bambang yang saat itu sebagai Dirut PT PTK.

Dari dokumen Minutes of Meeting (MOM) Vessel Procurement Commitee PTK tertanggal 27 November 2013, proyek tersebut adalah  pembangunan galangan kapal harbour tug, di mana peserta tendernya adalah Geumgang Shipbuilding Ltd, PT Batarnec, PT Drydocks World. Di mana akhirnya direksi PTK sepakat menunjuk Geumgang sebagai pelaksana pembangunan empat unit harbour tug 60 ton bollard pull.

Kemudian, pembangunan galangan small marine vessels di Donggi Senoro LNG. Peserta tendernya PT Tesco Indomaritim dan PT Tri Ratna Diesel Indonesia. Akhirnya tender dimenangkan oleh Tri Ratna.

Sebelum ini, Senin (20/2) Bambang diperiksa terkait kasus pengadaan kapal  AHTS  Transko Andalas dan Transko Celebes pada PT  PTK tahun 2012-2014.

Selain Bambang, delapan jajaran Direksi PT PTK telah diperiksa Endang Sri Siti selaku mantan Direktur Keuangan, Joni H (mantan Direktur Operasional), Adam Marselan (Manager Keuangan/Anggota Tim Pengadaan Kapal dan Gita Dewi Aprilia (Manager Legal dan Compi Lancance).

Lalu, Nurkasa Siregar (Corporate Secretary), Ahmad Zainullah Santoso (mantan Sekretaris Pengadaan Kapal), Ana Yuliati (mantan Manager Akunting) dan Ginik Windaryati (Manager Treasury).
BANTAH KORUPSI - Pada Senin (20/2)mantan Wakil Direktur Utama PT Pertamina (persero) Ahmad Bambang diperiksa sebagai saksi 9 jam lamanya. ‎Dia diperiksa dalam kasus dugaan korupsi penyediaan dan operasi kapal Anchor Handling Tug Supply (AHTS) Kapal Transko Andalas dan Kapal Tranko Celebes tahun anggaran 2012-2014 di PT Pertamina Transkontinental.

Usai diperiksa Bambang membantah jika pengadaan itu dikatakan ada pelanggaran prosedur atau tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku berdasarkan audit dari BPK. "Engga ada itu, baca saja laporan resmi BPK , draf itu kan belum dikonfirmasikan ke kita belum kita counter dengan data, dan kalau mau baca saran saya yang final (hasil akhir auditnya)‎," jelasnya.

Disinggung soal apakah benar dirinya menghapuskan denda keterlambatan kontrak, Ahmad Bambang kembali membantah hal tersebut. ‎"Itu masuk materi , biar pemeriksaan jalan dulu yah,‎" tegasnya.

Yang jelas, Bambang meminta para awak media dan publik ‎untuk membaca hasil akhir audit BPK bukan draf BPK. "Baca lah hasil finalnya kalau draf itu dia baru lihat dari data, dokumen terus ngambil kesimpulan , lihat lah finalnya," tutupnya.

Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) menuntut Kejaksaan Agung mengusut tuntas dugaan korupsi penyediaan dua kapal tersebut. "Kejagung harus usut tuntas kasus ini dengan mempelajari secara lebih dalam dokumen tambahan yang diserahkan oleh kami," kata Febri Hendri AA, Koordinator Divisi Investigasi ICW.

Dugaan korupsi itu bermula pada 2012, saat PT Pertamina Trans Kontinental (PTK) melakukan pengadaan dua kapal AHTS senilai 28,4 juta dolar AS (masing-masing 14,2 juta dolar AS). Pengadaan dilakukan oleh PT VMS (Vries Marine Shiypyard) di Guangzhou, Tiongkok.

Kerja sama itu dituangkan dalam kontrak Nomor 015/C0000/2012-S1 tanggal 2 Februari 2012 antara PT PTK dan PT VMS. Pengadaan itu bertujuan untuk investasi PT PTK pada PT TEPI (Total EP Indonesia). Ia menyebutkan ICW menemukan kejanggalan PT VMS yang baru berdiri beberapa bulan sebelum mendapatkan kontrak tersebut, sementara total dana yang dimiliki perusahaan tersebut hanya Rp1 miliar.

Selanjutnya, kata dia, PT PTK memberikan tambahan uang muka kepada PT VMS senilai US$3,5 juta tanpa mengikuti prosedur yang telah diatur dalam kontrak sehingga menyalahi perjanjian yang ada dalam kontrak pengadaan kapal.

Direksi PT PTK tetap menerima satu kapal (trans celebes) meski Gear Box pada main engine tidak sesuai dengan spesifikasi gear box pada kontrak. "Spesifikasi gear box pada kontrak seharusnya merek Reintjes LAF 183P (buatan Eropa) sementara yang dipasang pada kapal tersebut adalah twin disc (buatan Amerika)," katanya.

Kejanggalan lainnya, direksi PT PTK tidak menagih denda keterlambatan penyerahan kapal US$5 ribu perkapal per hari sesuai Pasal 8 Ayat (4) Kontrak Pengadaan PT PTK dan PT VMS. Dalam kontrak itu kapal pertama harus diserahkan pada 25 Mei 2012 dan kapal kedua 25 Juni 2012, namun diserahkan pada 10 Agustus 2012 (Trans Andalas) dan 8 Oktober 2012 (Trans Celebes).

"Kami menghitung keterlambatan penyerahan dua kapal itu mencapai 175 hari, dengan demikian terdapat denda sebesar US$875 ribu yang tidak ditagih pada PT PTK pada PT VMS," katanya.

Denda keterlambatan itu, kata dia, dikompensasi pada penambahan peralatan kapal senilai Rp322 juta dan US$2.200. Kompensasi denda tidak diatur dalam kontrak dan kontrak tidak diamendemen sesuai dengan masalah ini. "Dengan demikian direksi PT PTK dan PT VMS membuat aturan yang tidak diatur dalam kontrak sekaligus melanggar isi kontrak," katanya.

Kejanggalan lainnya PT PTK memundurkan tanggal amendemen kontrak, yakni tertanggal 3 Oktober 2012. "Tapi sebenarnya kontrak tersebut ditandatangani pada November 2012," katanya.

BACA JUGA: