JAKARTA, GRESNEWS.COM — Tak terlalu banyak mendapatkan sorotan, sidang etik terhadap mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan tuduhan menerima suap terkait uji materi UU Peternakan dan Kesehatan Hewan, ternyata sudah selesai. Anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Bagir Manan menyebut, pemeriksaan etik terhadap Patrialis Akbar sudah cukup.

"Sudah selesai. Kita anggap cukup. Kita sudah mendapatkan bahan dari KPK, kita sudah dengar pendapat Patrialis, kita sudah dengar keterangan ditahan KPK, dengan hakim konstitusi sudah dengar, juga dengan petugas-petugas konstitusi tertentu. Kita anggap sudah cukup," kata Bagir, Jumat (3/2).

Lantaran dianggap sudah cukup, Bagir pun menerangkan saat ini MKMK tengah menyusun draf putusan atas hasil pemeriksaan yang dilakukan sejak Rabu (1/2) lalu. Bagir berharap, putusan itu bisa segera dipublikasikan kepada masyarakat pekan depan. "Mudah-mudahan Senin dibacakan. Jadi sekarang ini sedang disusun, dirapikan. Mudah-mudahan Senin dibacakan agar terpublikasi," katanya.

Disinggung apakah pelanggaran etik yang dilakukan Patrialis semata berkaitan dengan bocornya draf putusan perkara 129/PUU-XIII/2015, Bagir menyebut tidak. Menurutnya, draf bocor itu memang termasuk unsur yang diperiksa, namun bukan satu-satunya materi pemeriksaan.

Bagir menjelaskan, paling tidak ada tiga hal yang dipertimbangkan MKMK. Pertama, menyangkut ada-tidaknya hubungan atau komunikasi antara Patrialis Akbar dengan orang-orang yang berkepentingan dengan perkara tersebut. Kedua, soal kebocoran draf putusan. Ketiga, menyangkut persoalan uang.

"Sebetulnya ada pertimbangan keempat yang dimuat surat kabar berkaitan dengan soal wanita, tapi kita tidak pertimbangkan itu. Kita merasa tiga hal tadi dapat dipertimbangkan, sehingga yang ini (soal wanita) tidak perlu lagi," kata Bagir.

Bagir menerangkan, persoalan adanya wanita tidak didalami karena MKMK berpendapat, secara hukum atau etik MKMK harus mencari tahu juga siapa wanita itu. Dan dalam hal ini, MKMK tidak tahu apa-apa. "Asasnya, orang yang terkena persoalan hukum dia akan didengar (keterangannya). Tapi siapa wanitanya kita tidak tahu. Jadi yang tiga itu saja sudah cukup," katanya.

Disinggung bagaimana nasib rekomendasi MKMK andai terbukti Patrialis melakukan pelanggaran etik, sedang yang bersangkutan sudah lebih dulu mengundurkan diri, Bagir menerangkan hal itu tidak ada kaitannya sama sekali. Menurutnya, secara normatif seseorang  yang mengundurkan diri memang semestinya diberhentikan dengan hormat.

Namun dalam kasus Patrialis, alasan yang bersangkutan mengundurkan diri juga harus menjadi pertimbangan. Bagaimanapun, Patrialis mengundurkan diri bukan dengan kerelaan penuh, tapi karena menghadapi kenyataan proses hukum di KPK.

"Makanya dia mengundurkan diri. Jadi dia mengundurkan diri karena ada keterpaksaan. Kita hormati haknya mengundurkan diri, tapi kita harus tetap mempertimbangkan motif pengunduran diri itu sehingga kita punya peluang untuk melihat dari sudut pelanggaran etik," papar Bagir.

Sementara itu, Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat menerangkan, hasil putusan MKMK akan dijadikan bahan rekomendasi bagi MK kemudian disampaikan kepada presiden. Arief berharap, apa pun isi suratnya nanti—katakanlah, kemungkinan paling buruk adalah meminta Patrialis untuk diberhentikan dengan tidak hormat—presiden bisa merespons surat itu dengan mengangkat hakim konstitusi baru dengan cepat.

"Karena ini keadaan darurat menyongsong Pilkada, kalau bisa cepat, hakim full bench. Kalau tidak, kita bisa antisipasi penanganan pilkada dengan dua panel. Empat orang saya pimpin langsung, empat  orang lagi wakil ketua yang pimpin. Tapi kalau sudah dipilih penggantinya, bisa tiga panel dengan masing-masing tiga hakim seperti keadaan normal," kata Arief.

EVALUASI PENANGANAN PERKARA — Arief menambahkan, pihaknya berterimakasih kepada KPK lantaran telah bersikap kooperatif membantu memperlancar tugas MKMK. Menurutnya, dengan sikap tersebut ada-tidaknya masalah etik dalam kasus Patrialis bisa diperiksa dengan segera.

Adapun mengenai persoalan suap, Arief menyebut pihaknya tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah. "Untuk masalah suap, hormati jalur hukum. Soal suap atau gratifikasi, itu saya serahkan sepenuhnya ke KPK," kata Arief.

Bocornya draf putusan menjadi isu sentral dalam kaitannya dengan pelanggaran etik yang dilakukan Patrialis. Terhadap hal itu, Arief menyebut bahwa hal tersebut menjadi salah satu pembahasan di dalam RPH.

"Sudah dibahas di RPH waktu dengar Pak Patrialis kena OTT kita rapat rahasia, tapi bukan rapat perkara. Memang sudah berkembang usulan kita perbaiki manajemen perkara sampai pembacaan putusan," kata Arief.

Menurut Arief, Ketua Dewan Etik Abdul Mukhtie Fajar juga sudah memberi masukan agar putusan bisa dipublikasikan secepat mungkin pasca putusan itu final di RPH. "Ada metodologi baru, tidak ada sesuatu yang dirahasiakan, Misalnya di RPH uji materi dikabulkan, mungkin hanya diumumkan bahwa itu dikabulkan, ditampilkan di-website bahwa itu dikabulkan, atau sebagian (dikabulkan)," kata Abdul Mukhtie.

Namun demikian, Abdul Mukhtie mengakui bahwa cara demikian akan membuat sidang pembacaan putusan menjadi tidak menarik.

Terlepas dari menarik-tidaknya sidang pembacaan putusan andai putusan itu dipublikasikan lebih dulu, menurut Arief, hal itu tidak mungkin dilakukan. Disinggung apakah Kamaludin—perantara Patrialis dan Basuki Hariman—sering datang ke MK, Arief mengakuinya. "Iya, mungkin ada keperluan," kata Arief.

Arief menerangkan, jika ada tamu yang ingin bertemu hakim konstitusi di MK, lalu hakim tersebut tidak mau menerimanya, maka yang bersangkutan tidak mungkin naik ke ruang hakim. Kalaupun hakim mau menerima tamu, biasanya tamu tersebut sudah dikenal.

Sedang jika tamunya tidak dikenal, maka hakim diharuskan bertemu tamu tersebut didampingi salah satu pejabat MK, misalnya Sekjen MK Guntur Hamzah. Hal itu dilakukan agar adanya kontrol. "Itu sebetulnya kenapa (Kamaludin) bisa sering ke sini karena hakim yang bersangkutannya oke," kata Arief. (gresnews.com/zulkifli songyanan)

BACA JUGA: