JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus suap yang diduga melibatkan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APLN) Ariesman Widjaja dan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Muhammad Sanusi ternyata berbuntut panjang. Berdasarkan hasil pengembangan penyidikan kasus tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menemukan indikasi adanya pihak lain yang terlibat yaitu taipan properti, yang juga pemilik PT Agung Sedayu Group, Sugianto Kusuma, atau yang lebih dikenal dengan nama Aguan.

KPK telah melakukan pencegahan terhadap pria yang disebut-sebut sebagai pentolan sembilan naga penguasa bisnis properti Indonesia itu. Aguan dilarang bepergian ke luar negeri selama enam bulan ke depan. Surat permintaan pencegahan itu telah dikirimkan kepada pihak Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Jumat pekan lalu.

Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati mengatakan pencegahan tersebut dilakukan untuk proses penyidikan. Menurut Yuyuk, bila Aguan sewaktu-waktu diperlukan keterangannya oleh penyidik, ia tidak sedang bepergian ke luar negeri.

Namun, ternyata, pencegahan terhadap Aguan tidak sesederhana itu. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan Aguan bukan sekadar diperlukan keterangannya sebagai saksi melainkan terindikasi terlibat dalam kasus suap.

"Kita meminta yang bersangkutan untuk membantu KPK guna menegakkan keadilan, kebenaran, dan kejujuran dalam kaitan masalah yang menimpa perusahaannya," kata Saut kepada gresnews.com, Minggu (3/4).

Namun, Saut enggan membeberkan secara rinci mengenai keterlibatan Aguan dalam kasus suap tersebut. "Ada small signal," tutur mantan staf Ahli Badan Intelijen Negara (BIN) tersebut.

Berdasarkan penelusuran informasi yang dilakukan oleh gresnews.com, anak perusahaan PT Agung Sedayu Group yang mendapatkan jatah proyek reklamasi Teluk Jakarta, yaitu PT Kapuk Naga Indah, ditengarai mendapatkan perlakuan yang istimewa. Perusahaan itu mendapatkan jatah reklamasi jauh lebih besar daripada perusahaan lain.

PT Kapuk Naga Indah mendapatkan total jatah reklamasi seluas 1.331 hektare, yakni Pulau A, B, C, D, dan E. Perusahaan lainnya yakni PT Muara Wisesa Samudra (anak perusahaan Agung Podomoro Land) mendapatkan jatah 161 hektare (Pulau G), PT Jakarta Propertindo 190 hektare (Pulau F), PT Taman Harapan Indah 63 hektare (Pulau H), PT Jaladri Kartika Eka Paksi 405 hektare (Pulau I), PT Pembangunan Jaya Ancol 348 hektare (Pulau J dan K), PT Manggala Kridha Yudha 587 hektare (Pulau L dan M), dan PT Pelindo II 411 hektare (Pulau N).

Menurut Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta, setiap pengembang dikenakan kewajiban yang terdiri dari: kewajiban menyediakan prasarana, sarana, utilitas, infrastruktur antarpulau, dan sebagainya; kontribusi menyerahkan lahan seluas 5% dari areal Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada Pemprov; dan tambahan kontribusi 15% dari NJOP total lahan yang dapat dijual, yang hasilnya akan digunakan untuk revitalisasi kawasan utara Jakarta dan revitalisasi daratan Jakarta secara keseluruhan

Sumber gresnews.com di internal KPK menyebut bahwa Aguan memang terindikasi terlibat kasus ini, tetapi bukan untuk memberi suap kepada Sanusi. Ia diduga menyuap anggota dewan lainnya di DPRD DKI Jakarta.

Sumber tersebut mengatakan banyak perusahaan yang mempunyai kepentingan terkait pengesahan Rencana Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara.

"Malah mereka (pengembang) ada yang mulai bangun, padahal izin belum jelas," kata sumber tersebut tanpa menjelaskan perusahaan mana yang dimaksud.

Dua Raperda yang di dalamnya memuat aturan-aturan terkait proyek reklamasi dan berujung rasuah itu sebelumnya memang ramai diperbincangkan dan menuai polemik. Pembahasan Raperda di DPRD DKI Jakarta bahkan berkali-kali tertunda.

Penundaan itu diklaim DPRD DKI Jakarta lantaran ada pasal yang dipersoalkan. Pasal yang dipermasalahkan itu disinyalir terkait aturan soal nilai tambahan kontribusi yang harus diberikan pengembang ke pemerintah. Dalam Pasal 116 Ayat (10) seperti termaktub dalam draf Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara yang dilansir dari laman situs DPRD DKI disebutkan bahwa tambahan kontribusi itu sebesar 15 persen.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sempat menyatakan anggota DPRD DKI Jakarta beberapa kali meminta kewajiban pengembang untuk menyerahkan 15 persen itu diturunkan menjadi 5 persen. Pria yang akrab disapa Ahok itu menenggarai adanya kongkalikong dan rasuah terkait permintaan tersebut.

USUT TUNTAS - Sementara itu, sejumlah elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta meminta KPK terus mengembangkan dan mengusut tuntas dugaan kasus korupsi pembahasan dua Raperda itu. Kasus itu diduga tak hanya melibatkan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Muhammad Sanusi dan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APLN) Ariesman Widjaja.

"Kami berterima kasih ke KPK yang mengungkap isu strategis praktik korupsi. Karena kami menduga ada keterlibatan anggota (DPRD DKI) lain. Logikanya, sulit pembahasan Raperda itu hanya ditentukan satu anggota, ketua Komisi D," ujar Riza Damanik dari DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), di kantor LBH Jakarta, Jl Diponegoro, Jakarta, Sabtu (2/4).

Dia mengatakan proyek reklamasi rentan dengan korupsi. Contohnya, kejadian reklamasi di Makassar dan Teluk Benoa yang mendapat penolakan dari masyarakat. Kajian akademis lemah dan kurang memperhitungkan dampak sosial terhadap masyarakat sekitar.

Kemudian, KPK diharapkan juga mengembangkan dugaan kasus ini ke pihak swasta lain. Tak hanya pihak developer (pengembang, red). "Kami minta KPK periksa pihak swasta lain yang terlibat. Tak hanya developer tapi bagaimana dugaan praktik korupsi untuk reklamasi. Misalnya, penambangan pasir untuk reklamasi, karena kami duga penambangan yang jadi bagian reklamasi ini sarat manipulasi," tuturnya.

Hal senada dikatakan perwakilan dari LBH Jakarta, Mohammad Isnur. Dia menyebut KPK harus fokus dan teliti dalam mengembangkan kasus ini terkait dugaan keterlibatan perusahaan lain. "KPK harus menyasar dengan teliti dan benar ke perusahaan lain. Apakah praktik ini juga menyasar perusahaan lain. Ini menandakan proyek reklamasi sarat korupsi," tutur Isnur.

Selain itu, dalam pengembangan kasus ini, KPK sebaiknya meminta penjelasan pihak terkait tak hanya legislatif, namun juga dari eksekutif yaitu Pemerintah Provinsi DKI seperti Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

UNSUR KORUPSI - Pihak KNTI sendiri sudah membuat sebuah kajian terkait adanya unsur korupsi dalam kasus ini yang tak hanya melibatkan DPRD tetapi juga eksekutif. Ketua Bidang Hukum dan Pembelaan Nelayan KNTI Marthin Hadiwinata menilai, terbitnya izin-izin reklamasi oleh pihak Pemprov DKI Jakarta juga memenuhi unsur tindak pidana korupsi, terutama delik korupsi yang berkaitan dengan perbuatan memperkaya diri dan/atau orang lain atau suatu badan (korporasi) yang dapat merugikan keuangan negara dengan cara melawan hukum.

Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 berbunyi: "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."

Marthin mengatakan, terdapat dua rumusan penting dalam memahami persoalan tindak pidana korupsi terkait unsur "memperkaya dan atau menguntungkan diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi" tersebut, antara lain: Pertama, melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau korporasi dan dapat merugikan keuangan negara adalah korupsi.

"Dalam konteks ini, telah terjadi pelanggaran hukum baik administratif dalam izin pelaksanaan reklamasi, maupun pelanggaran terhadap upaya perlindungan lingkungan. Maka, patut diduga telah terjadi perlawanan hukum," terang Marthin dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Minggu (3/4).

Kedua, menyalahgunakan kewenangan dan/atau jabatan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dan dapat merugikan keuangan negara adalah korupsi. Terkait ini, keputusan Pemrpov DKI Jakarta menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi telah melampaui kewenangannya.

"Terbitnya izin pelaksanaan reklamasi diduga telah menjadi alat untuk memperkaya orang lain, diantaranya para pengembang proyek reklamasi," ujar Marthin.

Karena itu, kata dia, KNTI mendukung KPK untuk terus mendalami keterlibatan pihak lain, baik eksekutif, legislatif, maupun swasta yang terlibat dalam jual-beli Raperda Zonasi Pesisir, perizinan reklamasi Teluk Jakarta dan pengambilan material pasir urugan yang merugikan negara. KNTI juga meminta kepada Presiden Republik Indonesia, Gubernur DKI Jakarta, dan DPRD DKI Jakarta untuk menghentikan proyek reklamasi di Teluk Jakarta secara keseluruhan.

"Hal ini didasari penolakan masyarakat nelayan dan warga Jakarta terhadap proyek reklamasi; penjelasan akademik yang membuktikan reklamasi bukanlah solusi pembangunan Jakarta," tegas Marthin.

Selain itu, berbagai pelanggaran peraturan-perundangan terkait perizinan reklamasi, serta terungkapnya praktik korupsi dalam penyusunan Raperda Zonasi Pesisir untuk melegalisasi proyek reklamasi Jakarta, ini semakin menegaskan proyek itu memang tak layak dilanjutkan. Proyek reklamasi bukanlah solusi untuk pembangunan kota-kota pantai di Indonesia, bukan pula solusi untuk menyejahterakan nelayan, apalagi menyelamatkan lingkungan perairan dan cadangan pangan perikanan ke depannya.

"Sebaliknya, proyek reklamasi memperparah tingkat kerentanan masyarakat pesisir terhadap perubahan iklim, mempersempit ruang hidup dan penghidupan nelayan, bahkan sangat rentan dengan praktik korupsi," pungkasnya.

BACA JUGA: