JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penangkapan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan oleh penyidik Bareskrim Mabes Polri diprediksi mengganggu kinerja KPK. Jika penahanan dilanjutkan, bahkan bila Polri melakukan "balas dendam" pada KPK dengan membongkar kasus lainnya tentu ada kepentingan yang terganggu, emosi masyarakat pun akan kembali teraduk-aduk.

"Jika penjelasan Polri yakni penangkapan karena ada ancaman kedaluwarsa, ini perlu dipahami," kata anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, dalam diskusi bertajuk "Telenovela KPK Polri" di Warung Daun, Cikini, Sabtu, (2/5).

Polisi dalam menangkap dan menahan Novel, perlu melihat tiga ukuran yaitu kemungkinan tersangka mengulangi perbuatannya, kemungkinan melarikan diri, dan penghilangan barang bukti. Ketiga unsur tersebut dianggapnya tak ada dalam kasus Novel, sehingga penahanan pun tak perlu dilakukan.

Walaupun begitu, ia menilai jika memang proses hukum diperlukan, maka rekonstruksi dapat terus berjalan namun tidak perlu ada penahanan atau status penahanan Novel dapat diubah dari rutan menjadi tahanan kota. Sebab, walaupun mengacu pada Pasal 11 Undang-Undang Polri, dimana Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden namun sebagai penegak hukum, memiliki kemandirian menegakkan hukum sampai derajat tertentu.

Ia meminta masyarakat tak cepat menyimpulkan pembangkangan Polri atas permintaan Presiden Jokowi yang menyatakan untuk tak menahan Novel.  "Jangan karena Novel masih ada di Bengkulu dan belum dilepas maka kita menilai pernyataan Presiden tidak dituruti," ujarnya.

Pernyataan presiden, bisa saja diartikan sebagai pembebasan  Novel pasca proses rekonstruksi kasus di Bengkulu selesai dilakukan. Atau penahanan yang berstatus tahanan kota bukan tahanan rutan.

Saat ini ia mengusulkan dua jalan utama yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan kasus Novel, yakni melewati uji praperadilan dan mediasi dua pihak berseteru oleh Presiden Jokowi. Presiden harus ikut campur tangan lantaran penahanan Novel kali ini mau tak mau pasti akan membawa tekanan publik yang tinggi kepada Presiden Jokowi.

Walaupun, instruksi presiden secara lisan disinyalir akan diabaikan Polri karena secara hukum instruksi tersebut tak bisa diproses. Ditambah, sikap Jokowi hanya mencetak ulang langkah yang dilakukan SBY pada kasus Novel di 2012 silam, sehingga kemungkinan berulangnya kasus yang sama di masa mendatang amat besar.

"Melalui mediasi, ketegangan antara dua pihak bisa diredakan dan distabilkan," katanya.

Namun hal berbeda dikatakan Ketua Perhimpunan Magister Hukum Indonesia Fadli Nasution yang menyatakan presiden belum perlu mengeluarkan Instruksi Presiden mediasi. Sebab kuasa hukum Novel masih memiliki banyak cara guna membebaskannya, seperti surat penangguhan penahanan hingga Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Namun bagitu, jika ingin melakukan intervensi maka Presiden Jokowi tak cukup hanya menyampaikan intervensi lisan. "Tak ada intervensi tulisan sehingga tak bisa diproses. Jika dari konteks hukum, Presiden bisa pakai Instruksi Presiden," kata Fadli dalam kesempatan yang sama.

Ia menyatakan, yang utama saat ini bukanlah menyelesaikan intrik antara KPK dan Polri. Namun pembenahan proses hukum yang berjalan di Indonesia sepperti menghilangkan persepsi pegawai KPK bebas dari proses hukum hingga isu Polri yang hanya membidik kasus-kasus para pegawai KPK.

Kedua lembaga ini akhirnya membawa suhu saling curiga ke dalam masyarakat. "Polri harus memastikan surat penahanan Novel sesuai administrasi karena kasus ini bukan termasuk kasus yang clean and clear," katanya.

Penahanan Novel memang akhirnya ditangguhkan. Ia di kediamannya sekitar pukul 19.50 WIB, Sabtu (2/5). Bareskrim Polri menangguhkan penahanan Novel Baswedan setelah pimpinan KPK menemui Kapolri Jenderal Badrodin Haiti. Pimpinan tersebut adalah Ruki, Johan Budi, dan Indriyanto Seno Adji. Mereka menjaminkan penangguhan penahanan anak buahnya tersebut.




BACA JUGA: