JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dunia kedokteran selama ini memang jarang disebut-sebut sebagai dunia yang rawan dengan praktik korupsi. Padahal potensi seorang dokter untuk melakukan tindak pidana korupsi ternyata cukup besar. Khususnya para dokter yang berstatus Pegawai Negeri Sipil. Di mana potensi korupsi dokter PNS terletak? Yaitu pada dorongan untuk menerima sponsorship dari perusahaan farmasi ketika seorang dokter mengikuti seminar untuk mendapatkan kredit konferensi atau seminar.

Hal ini terungkap dalam pertemuan antara pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kementerian Kesehatan, Perusahaan Farmasi, BPOM dan Kosul Kedokteran Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Hadir dalam pertemuan itu diantaranta Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan Purwadi, Direktur Eksekutif Perusahaan Farmasi Indonesia Daradjatun Sanusi, Konsul Kedokteran Indonesia Bambang Supriyatno, Sekretaris BPOM Reri Indriani, dan Sekjen IDI Adip Kumaidi.

Dalam pertemuan itu, KPK memberikan pendampingan tentang gratifikasi dalam profesi kedokteran. "Intinya adalah di profesi kedokteran, perusahaan farmasi itu biasa memberikan sponsorship misal perjalanan akomodasi untuk hadir di seminar. Pemberian ini biasanya ditujukan ke individu dokter. Timbul kekhawatiran kalau menurut UU masuk gratifikasi karena masuk pemberian yang masuk jabatan dan kewenangan termasuk dokter-dokter PNS jadi harus dilaporkan dan ditetapkan KPK apakah milik negara atau dokter yang bersangkutan," kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan di KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa (2/2).

Pahala mengatakan, pemberian sponsorship yang lazim diberikan para perusahaan farmasi kepada dokter secara individu sangat rawan akan konflik kepentingan. Karena itu pemberian tersebut akan masuk dalam kategori gratifikasi. "Conflict of interest, sulit dibedakan pemberian pamrih dan tanpa pamrih. Untuk menghindarkan hal ini KPK memfasilitasi pertemuan dengan Kemenkes yang mengeluarkan regulasi dan organisasi profesi IDI dan perhimpuan lain dan rumah sakit," ujarnya.

Dalam pertemuan ini, Pahala menyebut terjadi beberapa kesepakatan antara KPK, Kementerian Kesehatan, serta pihak Farmasi. Yaitu perusahaan farmasi sepakat untuk tidak memberikan sponsorship kepada dokter secara individu.

Sponsorship tersebut jika merupakan dokter PNS, diberikan kepada Rumah Sakit yang bersangkutan dan merekalah yang mengelola atau memilih siapa dokter yang layak diberikan uang sponsor. "Katakanlah ada seminar di Jakarta, RS menjawab bahwa kami akan kirim dari A dan di RS akan dipandu oleh Kemenkes dalam bentuk SOP (standard operational procedure) untuk tawaran itu," kata Pahala.

Kemudian untuk dokter swasta, penawaran akan disalurkan melalui ikatan profesi seperti IDI, maupun perhimpunan dokter spesialis. "Nanti mereka yang menentukan siapa yang berangkat dan teknisnya, perbedaan paling substansial tidak ada lagi pemberian sponsorship dari farmasi ke individu jadi diberikan ke RS PNS dan organisasi swasta mekanisme akan diatur Kemenkes, begitu ada mekanisme langsung berlaku sehingga harapannya tidak ada lagi gratifikasi dan CoI (Conflict of Interest-red) dapat dihindarkan," ujar Pahala.

Pahala menjelaskan, KPK memahami seorang dokter harus mencapai kredit yaitu 250 kredit dalam waktu 5 tahun dengan menghadiri seminar. Untuk itu lah kemudian, sponsorship dari perusahaan farmasi diperlukan lantaran pemerintah belum bisa memberikan fasilitas bagi para dokter.

"Sponsorship itu diperlukan, dokter itu khusus kalau kredit dalam 5 tahun itu dicabut kredit untuk kalau tidak mencapai 250. Kredit itu bisa dicapai dengan seminar. Kalau negara enggak bisa menyediakan maka farmasi yang menyediakan sponsor itu. Yang kita atur agar jangan sampai sponsor jatuh sebagai suap dan gratifikasi," kata Pahala.

TIDAK TAHU - Terkait masalah ini, Irjen Kemenkes Purwadi maupun pihak perusahaan farmasi, sama-sama mengaku tidak mengetahui bahwa pemberian uang sponsor itu, khususnya kepada dokter PNS termasuk dalam kategori korupsi dalam hal ini gratifikasi. "Hari ini klimaksnya kita paham gratifikasi dan ke depan jajaran Kementerian Kesehatan, dokter, dokter gigi dan seluruh aparat Kemenkes lebih baik, lebih bersih menjalani profesi tenaga kesehatan, salam dari Menkes untuk memahami gratifikasi," kata Purwadi.

Hal senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Daradjatun Sanusi. "Kita menyambut baik upaya KPK terutama memberikan penjelasan pencegahan upaya-upaya pembinaan dan soisalisasi terhadap bagaimana kerja sama secara profesional dan proporsional," ujarnya.

Sama halnya dengan perwakilan Konsil Kedokteran Indonesia Bambang Supriyatno. Menurutnya, hampir semua dokter umum, spesialis, maupun dokter gigi tidak mengetahui bahwa pemberian uang sponsor masuk dalam ranah gratifikasi. Kesepakatan bersama ini, ujar Bambang menjadi momen untuk menjalankan profesi di bidang kedokteran dengan baik tanpa harus tersangkut kasus hukum. "Kesepakatan ini buat kita aman, dan nyaman menjalankan profesi. Tentu kesepakatan ini akan disebarkan ke teman-teman dokter semua," kata Bambang.

Meski KPK sudah menekankan agar dokter berhati-hati dalam menerima sponsor dari pihak farmasi, toh bukan berarti masalah korupsi di dunia kedokteran berakhir di situ. Pasalnya, pihak sponsor masih diperbolehkan untuk memberikan uang "bantuan" melalui RS maupun perhimpunan atau ikatan dokter.

Jika merujuk pada UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, dalam Pasal 12 unsur gratifikasi memang menyangkut orang perorang yang merupakan pegawai negeri sipil. Pemberian itu dikhawatirkan mempengaruhi jabatan yang diembannya.

Unsur dalam Pasal 12 ini memang tidak bisa menjerat korporasi, ataupun perusahaan. Sehingga pemberian uang sponsor kepada Rumah Sakit, perhimpunan ataupun ikatan dokter terbebas dari unsur gratifikasi.

Tetapi hal itu bukan berarti terbebas dari unsur korupsi. Dalam Pasal 2 dan Pasal 3, undang-undang yang sama, unsur korporasi termasuk perhimpunan ataupun rumah sakit masuk ke dalam unsur tindak pidana korupsi.

Pasal 2 mengatur setiap orang melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri ataupun korporasi yang menyebabkan kerugian keuangan negara dipenjara dengan hukuman minimal 4 tahun maksimal 20 tahun atau seumur hidup. Kemudian denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.

Dan Pasal 3, yaitu setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, suatu korporasi dengan menyalahgunakan wewenang, kesempatan, ataupun sarana yang ada padanya karena jabatan yang dimiliki diancam dengan hukuman penjara dan denda yang sama dengan Pasal 2.

Memang pemberian uang sponsor ini tidak merugikan keuangan negara sebab diberikan oleh perusahaan farmasi yang notabene adalah swasta. Tetapi tentunya pemberian ini tidaklah gratis dan dikhawatirkan terjadi balas jasa jika suatu rumah sakit pemerintah mengadakan tender dalam pengadaan alat-alat kesehatan.

Bukan tidak mungkin perusahaan farmasi yang memberikan uang sponsor dipilih menjadi pelaksana tender. Hal ini pun diakui Pahala Nainggolan. "Sulit membedakan pemberian dengan tujuan pamrih atau tanpa pamrih, tutur Pahala.

Saat ditanya mengenai hal ini, Direktur Gratifikasi KPK Giri Suprapdiono juga mengakui bahwa pihaknya belum mempunyai solusi jangka panjang khususnya menyangkut potensi korupsi di dunia kedokteran. "Kalau usulan itu harus merubah UU Kedokteran. Bakal lama. Kita butuh solusi cepat," imbuh Giri.

SUDAH PERNAH DIBAHAS - Persoalan gratifikasi di dunia kedokteran ini sebenarnya sudah pernah dibahas paa periode kepemimpinan KPK sebelumnya. Awal November tahun lalu, Menteri Kesehatan Nila Moeloek pernah berkonsultasi dengan pimpinan KPK terkait masalah ini.  

"Ini akan kita benahi. Saya tentu harus bijak dalam hal ini. Bijak untuk dokter, bijak untuk masyarakat, bijak untuk keseluruhan. Terkait hal itu (dugaan gratifikasi terhadap dokter) nanti kami serahkan ke IDI karena di sana ada majelis untuk kedokteran," kata Menkes Nila ketika itu di KPK.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zainal Abidin yang ikut mendampingi Menkes Nila tak menampik dugaan praktik pemberian gratifikasi atau suap terhadap dokter dari perusahaan farmasi.
Namun menurutnya, saat ini hal tersebut sudah mulai dibenahi dengan meminimalisir kontak langsung antara dokter dan pihak farmasi.

"Kasus-kasus yang ada kan 2013, sistem jaminan sosial nanti akan mencegah kontak langsung antara dokter dan farmasi. Karena itu, semua perusahaan farmasi akan berhubungan dengan pemerintah," jelas Zainal.

"Tadi kita sepakat membangun sistem untuk membangun pelayanan yang baik, dengan jaminan kesehatan yang bagus," imbuhnya.

Plt Pimpinan KPK (saat itu) Johan Budi menegaskan komisinya bisa menindak para oknum dokter yang menerima gratifikasi. Tapi Kemenkes diingatkan  untuk membangun sistem pengendalian gratifikasi mencegah penerimaan tak halal di lingkungan kedokteran.

"Dokter itu masuk PNS, nah di luar itu KPK nggak bisa menjangkau. Tadi pemikiran apakah yang swasta juga bisa. Ada beberapa mekanisme atau sistem akan dibuat. KPK sedang bikin kajian bagaimana proses pemakaian obat baik di RS atau klinik terkait profesi dokter. Tentu kajiannya berkait praktik gratifikasi," tegas Johan.

Terkait gratifikasi, saat itu, Johan menegaskan, definisi gratifikasi sangat luas. Untuk itu, para dokter sebaiknya mengacu pada undang-undang Tindak Pidana Korupsi Pasal 1dan KUHP pasal 92. Dalam UU TPK disebutkan bahwa subyek hukum yang menjadi ranah KPK adalah pegawai negeri dan penyelenggara negara. Dalam pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa definisi pegawai negeri adalah orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang menggunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

"Dengan kata lain pegawai Kementerian Kesehatan yang sebagiannya dokter juga termasuk. Termasuk juga dokter-dokter yang bekerja di rumah sakit pemerintah dan puskesmas," tutur Johan.

Pernyataan tersebut mengacu kepada dokter-dokter di Indonesia. Seluruh dokter diharuskan mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) untuk bisa praktik. STR ini dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia yang juga merupakan lembaga pemerintah.

Lebih jelas, Johan juga merujuk pada pasal 92 KUHP tentang subyek hukum tindak pidana korupsi. Di ‎situ disebutkan subyek hukum non-PNS juga termasuk mereka yang memberikan pelayanan publik, termasuk dokter. "Makanya definisi subyek hukum ini luas. Saya katakan dokter juga termasuk karena mereka memegang jabatan atau profesi yang diangkat oleh instansi atau kekuasaan negara," ungkapnya.

Untuk itu ia sangat menganjurkan agar para dokter yang menerima hadiah secara individu untuk melaporkan hadiah tersebut kepada KPK. Nanti KPK yang akan menentukan apakah hadiah tersebut bersifat gratifikasi, termasuk ke dalam bentuk suap atau non-suap. "Lebih baik lapor dulu ke KPK. Nanti kalau ternyata merupakan bentuk gratifikasi ya kita sita. Kalau bukan tentu saja kita berikan kepada yang berhak," tandasnya. (dtc)

BACA JUGA: