JAKARTA, GRESNEWS.COM – Sampah dari material komponen elektronik seperti casing komputer, hp, dan plastik mesin fotocopy menumpuk di tempat pengepulan sampah di kelurahan Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Tiga orang lelaki sibuk memilah sampah-sampah berdasarkan jenis warna dan bahan. Mereka dimandori pemilik pengepul sampah tersebut. Namanya Haris, usianya baru menginjak kepala empat.  

Haris telah mengerjakan pekerjaan ini selama enam tahun. Memilah-milah sampah khususnya limbah elektronik tidak dia kerjakan dengan kesadaran "maha luhur" untuk mendaur ulang bahan itu demi kelestarian lingkungan. Dia hanya berpikir sederhana saja. Dari memilah dan mengumpulkan sampah elektronik ini, dia bisa mendapatkan barang-barang "berharga" seperti plastik yang bisa dia "sulap" menjadi uang.

Dari menjual barang-barang sisa ini, dia menyambung hidupnya bersama tiga orang karyawannya. Sehari-hari, Haris mengumpulkan limbah elektronik itu dari pengepul di kawasan Pulogadung, Jakarta Timur. Dia membelinya seharga Rp2500 per kilogram. Setelah dipilah-pilah, dia bisa mendapatkan limbah plastik sampai sebanyak 2,5-3 ton per minggu

Limbah-limbah itu kemudian dia klasifikasikan berdasarkan warna dan dia kirimkan kembali ke agen atau pabrik di daerah Menceng Rawa, Bogor untuk didaur ulang menjadi barang yang baru. Barang-barang itu biasanya dihargai sebesar Rp7.500 per kilo. "Paling rendah harga dari agen Rp4.000 sampai Rp7.500 per kilogram. Tiap minggu kirim ke agen," ujar Haris kepada Gresnews.com, di tempat pengolahan sampahnya di Jakarta Utara, Jumat (19/9) lalu.

Anggaplah dia rata-rata menjual hingga 3 ton plastik seminggunya dengan harga Rp7.500 per kilogram. Alhasil dia bisa mendapat uang sebesar Rp22,5 juta seminggunya. Dipotong modal sebesar Rp7,5 juta, dia bisa mendapat penghasilan bersih Rp15 juta seminggu. Sebulan dia maksimal bisa meraup penghasilan sebesar Rp60 juta dipotong sewa lapak sebesar Rp2,4 juta sebulan dan ongkos transportasi membuang limbah yang tak bisa didaur ulang sebesar Rp400 ribu.

Haris mengatakan material barang bekas yang dibelinya dari Pulogadung terkadang masih ada unsur komponen lain dari barang elektronik walau tidak banyak. Materi tersebut biasanya ia pisahkan dari barang dagangannya. "Saya tidak tahu menahu soal adanya bahaya yang terkandung di dalam material bahan bekas tersebut. Saya hanya berpikir untuk bisa menghasilkan uang melanjutkan kehidupan bersama istri," katanya.

Kisah Haris ini hanyalah sekelumit kisah yang menggambarkan belum adanya kesadaran masyarakat terhadap bahaya sampah dan pengelolaan sampah khususnya sampah elektronik secara tepat. Daur ulang yang dilakukan Haris motifnya lebih pada tuntutan ekonomi. Ia tidak mengetahui profesinya sebagai pengepul sampah elektronik itu bisa mendatangkan bahaya bagi dirinya dan pekerjanya. Mereka bisa saja terkena paparan sampah elektronik yang mengandung material berbahaya dan beracun.

Juru Kampanye Toxic Greenpeace Indonesia, Ahmad Ashov Birry menjelaskan di dalam produk elektronik sebenarnya terdapat kandungan racun yang berbahaya terutama ketika produk tersebut didaur ulang. Ia mencontohkan di dalam telepon genggam atau laptop, ketika didaur ulang bisa memunculkan racun dioksin yang menyebabkan kanker dan menganggu hormon. "Pada saat mendaur ulang, yang paling rawan terkena paparan racun ini adalah pekerja di pabrik daur ulang," kata Ashov kepada Gresnews.com, Selasa (30/9).

Data dari Greenpeace menunjukkan banyak komponen produk elektronik mengandung bahan berbahaya seperti Polyvinylchlirode (PVC) dan Brominated Flame Retardants (BFR). BFR digunakan dalam gadget untuk menghambat laju pembakaran. Komponen ini adalah senyawa beracun yang mampu berakumulasi secara biologis dalam tubuh manusa dan hewan. PVC merupakan pembungkus kabel elektrik yang juga berbahaya untuk kesehatan dalam masa pakainya.  

Dari sekian banyak produsen barang elektronik, baru 50 persen saja yang sudah bebas dari bahan beracun itu. Kebanyakan adalah perusahaan besar seperti Apple, Samsung, dan Nokia. "Itupun hanya Apple yang menjadi satu-satunya perusahaan yang sudah menghapuskan kedua bahan beracun ini di seluruh produknya," kata Ashov.


Jadi tetap saja Indonesia rentan tercemari limbah elektronik dalam tingkat yang membahayakan. Terlebih pemerintah sendiri juga tak punya strategi yang baik dalam mengelola sampah, khususnya sampah elektronik. Menurut Manajer Kampanye Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kurniawan Sabar, data jumlah sampah elektronik saja, hingga saat ini tidak pernah terdata. "Karena sampah elektronik itu terdiri dari sejumlah komponen seperti plastik, stainless steel, metal, kaca dan lain-lain," kata Kurniawan kepada Gresnews.com, Selasa (30/9).

Ia menjelaskan data valid kekinian soal sampah elektronik di Indonesia memang menjadi salah satu persoalan pokok. Pasalnya sulit memperbarui data sampah dengan arus produksi yang terus berkembang. Pemerintah sendiri hanya mendata volume sampah secara umum.

Data dari kementerian lingkungan hidup berdasarkan statistik persampahan di Indonesia pada 2008, mengungkapkan, bahwa di pulau Jawa dengan populasi terbanyak 137,2 juta orang bisa menghasilkan sampah sebanyak 21,2 juta ton pertahun. Sementara pengangkutan sampah yang bisa ditangani pemerintah hanya sebanyak 12,49 juta ton pertahun.

Lalu urutan kedua sampah terbanyak terdapat di pulau Sumatera dengan jumlah populasi sebanyak 49,3 juta orang dengan sampah 8,7 juta ton pertahun. Sampah yang bisa diangkut hanya sebanyak 4,13 juta ton pertahun. Tidak terdefinisikan berapa besar jumlah sampah elektronik dari sekian banyak sampah yang dihasilkan di Jawa dan Sumatera itu.

Padahal identifikasi yang jelas akan memudahkan pemerintah menetapkan strategi pengelolaan yang tepat, ketimbang menyerahkannya begitu saja kepada orang-orang seperti Haris yang justru berisiko menjadi korban terpapar bahan berbahaya dan beracun yang terkandung di dalamnya. Ketidakmampuan pemerintah mengidentifikasi jumlah sampah elektronik ini menunjukkan ada persoalan serius dalam pengelolaan sampah, khususnya di kota-kota besar.

Di wilayah urban inilah, sampah-sampah elektronika banyak dihasilkan. Kaum urban perkotaan yang melek teknologi cenderung adalah konsumen yang sangat antusias untuk mengikuti setiap perkembangan teknologi terbaru semisal ponsel pintar terbaru, laptop tercanggih, sampai teleivi layar datar paling anyar. Alhasil, dengan semakin cepatnya perkembangan teknologi, barang elektronik lama semakin cepat menjadi limbah, menumpuk dan menciptakan bom waktu sampah elektronik alias e-waste.

Masyarakat sadar tapi seringkali lupa bahwa sampah dan limbah dari gadget-gadget canggih itu bisa merusak lingkungan hidup mereka secara langsung. Kurniawan mengatakan, limbah elektronik itu bisa mencemari sumber-sumber air bersih yang sudah langka di kota besar seperti Jakarta. Misalnya sungai Ciliwung yang menjadi sumber air baku bagi perusahaan air minum daerah. "Limbah ini memberikan dampak langsung untuk masyarakat di perkotaan yaitu kesulitan mengakses air bersih," ujarnya.

Kurniawan mengatakan, akibat dari pengelolaan dan penanganan sampah yang masih buruk khususnya sampah elektronik, bisa kita amati hampir semua saluran sungai di Jakarta dalam kondisi tercemar karena dipenuhi limbah. Padahal, dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup disebutkan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat. "Ketika bicara dari perspektif hak, ada yang berkewajiban memenuhi hak itu. Hak itu melekat warga negara sehingga negara yang memiliki kewajiban memberikan hak tersebut," katanya.

Kondisi seperti ini, kata dia, bisa menjadi bom waktu yang akan membahayakan masyarakat khususnya di kota besar jika pemerintah tak segera menyadari dan mencari solusinya. Apalagi volumenya cenderung meningkat. Secara sederhana Kurniawan menghitung jumlah sampah elektronik di Indonesia adalah gabungan dari jumlah barang elektronik yang diimpor ditambah produksi di dalam negeri.

Mengutip laman The Wall Street Transcript, hingga akhir 2014, sebuah perusahaan riset pasar global di bidang telekomunikasi International Data Coorporation (IDC) memperkirakan pertumbuhan belanja barang elektronik dan digital di Indonesia dapat menembus angka US$16,5 miliar atau Rp192,72 triliun. Bisa dibayangkan sendiri berapa juta ton sampah elektronik yang dihasilkan Indonesia dalam setahunnya.

Jumlah produksi barang elektronik plus impor yang semakin menggila ini, kata Kurniawan, membuat departemen yang menangani urusan sampah kewalahan. "Sementara, trennya sampah tidak mengalami penurunan tapi justru peningkatan," ujarnya.

Sementara, penanganannya, tidak dalam kondisi yang semakin membaik. "Hal ini sebagai akibat dari jenis dan jumlah sampah yang meningkat, tapi kapasitas pengelolaan sampah tidak berkembang baik sehingga penanganan sampah menjadi masalah yang belum bisa ditangani dengan baik," kata Kurniawan menambahkan.


Di sisi lain ketika mengkampanyekan kesadaran pada masyarakat untuk mengelola sampah, pemerintah seperti memakai kacamata kuda alias hanya menjelaskan isu sampahnya saja. Pemerintah, kata Kurniawan, lupa kalau urusan sampah juga terkait dengan soal air dan udara bersih yang menjadi hak dari setiap warga negara. "Untuk memenuhi hak warga negara, negara tidak cukup hanya melakukan sosialisasi formal pada masyarakat tapi juga harus secara serius memiliki kebijakan terkait pengurangan sampah dari akar masalahnya," ujarnya.

Akar masalah sampah elektronik khususnya di perkotaan, menurut dia, sebenarnya berhubungan erat dengan watak atau perilaku produksi dan konsumsi di satu negara. Kurniawan menjelaskan dalam skema pasar, pasar cenderung memproduksi barang tanpa hitungan yang didasarkan pada kebutuhan masyarakat. "Misalnya di Jakarta hanya ada 1000 orang yang membutuhkan laptop. Tapi produsen justru memproduksi laptop sebanyak-banyaknya dengan skala massal," katanya.

Produksi secara massal ini akan berdampak pada peningkatan tren konsumsi gadget di masyarakat. Sehingga pasar yang mendesain kebutuhan masyarakat agar mengikuti tren yang mereka buat melalui produk yang dijual di pasaran. "Terserah orang mau butuh atau tidak. Yang penting barang itu harus dijual di kota tersebut. Sejumlah orang sebenarnya tidak butuh laptop, tapi karena semua orang pakai laptop, akhirnya orang tertarik menggunakan laptop meskipun itu bukan kebutuhannya," jelasnya.

Skema produksi dan konsumsi di atas menunjukkan pasar mengarahkan masyarakat untuk menjalani pola konsumsi yang berlebihan. Pola konsumsi yang berlebihan ini akan memicu semakin banyaknya penggunaan barang-barang oleh masyarakat karena masyarakat itu sendiri bingung mana barang yang harus beli atau tidak.

"Prinsipnya semua material yang ada di sekitar kita ini adalah calon sampah, termasuk apa yang kita gunakan sekarang. Sampah ini material yang kadar nilai dan fungsinya berkurang dan tidak akan digunakan lagi. Ketika tidak digunakan lagi maka disebut sebagai sampah. Ketika tidak digunakan lagi dan cenderung menumpuk dan tidak bisa dikelola dengan baik itulah yang disebut limbah," katanya.

Kontrol dari skema pasar yang dijelaskan di atas, secara formal ada dalam kebijakan yang pemerintah atur soal impor barang. Ketika pemerintah mendikte perusahaan untuk membatasi jumlah barang yang diproduksi atau diekspornya, industri cenderung mengakali dengan cara menciptakan situasi konsumtif, sehingga permintaan akan barang otomatis tinggi.

Dengan cara itulah industri membanjiri suatu negara dengan barang produksi mereka termasuk Indonesia. "Itulah skema kerjasama antara korporasi dan negara untuk mendikte masyarakat soal konsumsi," ujarnya.

Untuk mengatasi masalah yang terjadi di hulu ini, Kurniawan menjelaskan, pemerintah berperan penting untuk berani menolak desakan ekonomi politik negara lain. Jika negara tidak berani, peran kunci selanjutnya ada di tangan masyarakat sendiri.

Kurniawan berpendapat masyarakat sebenarnya bisa berperan sebagai kekuatan inti dari perubahan termasuk soal pengelolaan sampah. Bagaimana masyarakat bisa berperan? Tentu dengan melawan skema ekonomi politik pasar yang menjadikan masyarakat menjalani pola konsumsi berlebihan. "Ingat! Hukumnya, pola konsumsi berlebihan akan mengakibatkan makin banyak sampah yang dihasilkan," kata Kurniawan tegas.

Jika skema di hulu ini berjalan, maka jumlah sampah bisa dikurangi sehingga lebih memudahkan proses pengelolaan sampah hingga ke hilir. Mekanisme pengurangan jumlah sampah ini disebut sebagai mekanisme reduce (mengurangi).

Pola selanjutnya dalam pengelolaan sampah adalah dengan menggunakan kembali barang yang akan menjadi sampah atau reuse (menggunakan kembali). Dalam prinsip pengelolaan sampah, sampah bisa digunakan kembali dengan fungsi yang tidak lagi setara ketika sampah itu digunakan pertama kali. 


Penggunaan kembali sampah untuk diambil fungsinya akan memperkecil peredaran limbah di lingkungan masyarakat. Lalu langkah terakhir dalam pengelolaan sampah melalui mekanisme recycle (mendaur ulang) sampah.

Ketiga pola pengelolaan sampah tersebut yaitu reduce, reuse, dan recycle merupakan spirit yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Melalui tiga pola tersebut diharapkan pengelolaan sampah yang secara terpadu mengintegrasikan prinsip berwawasan lingkungan mulai dari sumber sampah sampai ke tingkat hilir atau sampai ke pengolahan akhir dapat berjalan.

Prinsipnya, kata Kurniawan, tidak boleh satu kerja pengelolaan sampah justru menimbulkan masalah baru terhadap lingkungan. Kurniawan mencontohkan misalnya ingin mengurangi sampah dengan cara membakar tapi tidak memahami sampah mana yang layak teknis untuk dibakar dan mana yang tidak. Akhirnya sampah yang tidak layak teknis untuk dibakar dan ingin dikurangi justru menimbulkan polusi udara dan mengakibatkan tercemarnya media lingkungan seperti tanah dan air.

Pada faktanya di lapangan, pemerintah cenderung membalik skema pengelolaan sampah. Skema recycle yang harusnya menjadi alternatif terakhir, justru malah digunakan menjadi solusi utama. Padahal skema pertama harusnya adalah reduce. Tanpa menjalankan skema reduce, banyaknya sampah yang kian menumpuk pada akhirnya membuat masyarakat hanya mengandalkan penanganan sampah di tempat pembuangan akhir.

Hampir 90% sampah di Indonesia didrop ke tempat pembuangan akhir yang memiliki kapasitas terbatas dalam menangani sampah berskala besar. Pengelolaan sampah di tempat pembuangan akhir pun akhirnya kewalahan dan mendapatkan justifikasi untuk dapat menggunakan teknologi yang bisa mendaur ulang sampah menjadi sesuatu yang berdaya guna.

Misalnya pemerintah telah melaksanakan penggunaan insinerator atau pembakar sampah untuk dijadikan pembangkit tenaga listrik sampah (PLTSa) sejak tahun 2012 di 10 kota besar di Indonesia. PLTSa menjadi solusi utama dan instan yang dilakukan pemerintah untuk menangani persoalan sampah yang makin menumpuk di kota besar. Padahal insinerator hanya bisa mengurangi jumlah sampah, sedangkan pembakaran sampah tersebut memberikan dampak yang buruk untuk lingkungan.

Insinerator merupakan teknologi yang digunakan negara maju seperti Eropa, Jepang, dan Cina. Di negara-negara tersebut, pengelolaan sampah telah dilaksanakan dengan mekanisme yang maju. Sehingga sampah yang masuk ke dalam insinerator adalah limbah yang benar-benar sama sekali tidak bisa digunakan dan sudah layak secara teknis untuk dibakar. "Sementara di Indonesia, belum ada pemilahan sampah yang disiplin untuk dibakar di insinerator," kata Kurniawan.

Selanjutnya, iklim tropis menyebabkan Indonesia memiliki sampah basah lebih banyak. Sebelum di bakar ke dalam insinerator, sampah wajib dikeringkan. Sehingga membutuhkan waktu dan biaya lagi untuk pengeringan sampah sebelum dibakar. Penggunaan insinerator menjadi sangat boros energi dan mahal. Pemakaian yang tidak efektif itu juga tidak diimbangi dengan pasokan listrik yang dihasilkan oleh insinerator melalui pembakaran sampah.

Temuan-temuan di lapangan tersebut, menunjukkan Indonesia masih jauh dari upaya pengelolaan sampah dari hulu hingga ke hilir. Penyadaran terhadap masyarakat secara terus menerus perlu dilakukan secara berkelanjutan. Kurniawan juga menilai penyadaran terhadap masyarakat juga harus diiringi dengan perubahan kebijakan dari pemerintah yang menjadi akar masalah dalam pengelolaan sampah.

Ashov setuju pada kerangka yang disebutkan Kurniawan. Dia menilai persoalan di hulu yaitu mengurangi konsumsi barang elektronik, untuk mengurangi jumlah sampah elektronik sangat penting. Pembatasan itu bisa dilakukan dengan cara hanya memakai produk yang dipastikan tak mengandung bahan beracun dan berbahaya.

Sementara proses recycle adalah solusi terkahir ketika jumlah sampahnya dan jumlah bahan beracunnya sudah bisa dikurangi. "Apalagi proses recycle di Indonesia tidak diarahkan untuk memenuhi kaidah yang tepat. Solusi dari Greenpeace, jika tidak ada produk dari awal, maka di akhir tidak akan ada ancaman racun tersebut untuk pekerja dan konsumen," katanya.

BACA JUGA: