JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dirtipideksus Mabes Polri terus menyidik kasus penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo dan Ketum PDIP Megawati Soekarno Putri dengan tersangka Mohammad Arsyad (MA). Arsyad diduga adalah yang membuat dan mengedit foto seronok Jokowi dan Megawati Soekarnoputri. Namun Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) berharap kasus ini tak berlanjut karena yang dilakukan pelaku sebelum Jokowi jadi presiden.

Komisioner Kompolnas Adrianus Meliala mengatakan, ketika itu Jokowi masih warga biasa sehingga bisa jadi sasaran penghinaan oleh siapapun. Tapi setelah tanggal 20 Oktober, Jokowi bukan orang biasa lagi. Telah melekat pada diri kehormatan seorang presiden.

"Tidak perlu pidana, cukup untuk memberikan awareness termasuk kepada masyarakat lain," kata Adrianus ditemui usai diskusi di Jakarta, Rabu (29/10).

Sebelum Jokowi jadi presiden, banyak orang yang biasa menghina Jokowi. Dan sampai saat ini, banyak yang tergoda untuk membuat karikatur yang menghina. Adrianus juga berharap Presiden Jokowi turun untuk menyudahi kasus ini. Apalagi ini masih di awal pemerintahannya.

Sementara itu Direktur Dirtipideksus Mabes Polri Brigjen Pol Kamil Razak terus menyidik kasus ini. Razak mengatakan, Muhammad Arsad sendiri yang membuat dan mengedit foto seronok Jokowi dan Megawati Soekarnoputri. Menurutnya, Arsad kemudian menyebarnya melalui Facebook bernama Arsyad Assegaf.

"MA ditangkap karena dia memuat, menyebarkan dan memperbanyak gambar pornografi (Jokowi-Megawati)," kata Kamil Razak di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (29/10).

Atas perbuatannya, lanjut Kamil, pria yang berprofesi sebagai tukang tusuk sate itu disangkakan melanggar UU Pornografi dengan Pasal Pornografi sesuai UU Nomor 44 Tahun 2008 dengan ancaman 12 tahun Penjara. Tak hanya itu Polri juga melapisi dengan UU KUHP Pasal 310, 311 soal pencemaran nama baik.

Sebelumnya, Arsad ditangkap Mabes Polri Kamis pekan lalu karena mengunggah gambar editan telanjang berwajah Joko Widodo (Jokowi) ke media sosial Facebook. Diketahui, pihak yang melaporkan Arsad adalah PDI Perjuangan, Hedri Yosodiningrat pada Juli 2014.

Razak mengatakan, kasus ini tetap lanjut meskipun tersangka telah meminta maaf. Namun polisi mengembalikan kasus ini kepada Presiden Jokowi. "Pelaku sudah minta maaf, itu silahkan urusan pelaku sendiri. Kita tidak melakukan inisiasi. Ini kembali pada kebijakan pak Jokowi," kata Razak.

Sebelumnya, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyayangkan penindakan terhadap MA dengan menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) khususnya Pasal 27 Ayat (3) yang mengatur soal pasal penghinaan. ICJR menagih janji pemerintah mencabut pasal tersebut dan merevisi UU ITE.

Ketua Badan Pengurus ICJR Anggara mengingatkan agar Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, segera melaksanakan janji pemerintah itu. Anggara menegaskan, revisi UU ITE telah dijanjikan oleh pemerintah sejak 2009, namun hingga saat ini progres dari revisi UU ITE belum terlihat sama sekali.

Pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, sampai saat ini bahkan tidak memasukkan revisi UU ITE kedalam program legislasi nasional."Untuk itu ICJR mendesak agar Menkominfo Rudiantara segera memasukkan usulan revisi UU ITE kedalam program legislasi nasional," kata Anggara kepada Gresnews.com, Selasa (28/10).

Anggara berpendapat, revisi UU ITE perlu dilakukan segera untuk menegaskan kebijakan pengaturan terhadap konten internet dan juga menghapuskan ketentuan-ketentuan pidana yang menduplikasi ketentuan-ketentuan pidana yang ada di KUHP. Ia menegaskan pemerintah sebaiknya berkomitmen untuk menghapus tindak pidana yang pada dasarnya sudah diatur di KUHP dan juga di peraturan lain seperti penghinaan, penyebaran kebencian, dan lain lain.

"Penghapusan ini penting agar tidak terjadi inflasi peraturan pidana yang menyebabkan melemahnya perlindungan hak asasi manusia," kata Anggara.

ICJR menolak model revisi UU ITE yang hanya sekadar menurunkan ancaman pidana dalam UU ITE. Sebagai contoh dalam revisi Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tentang penghinaan dan pencemaran nama baik di dunia maya, pemerintah hanya merevisi Pasal 45 yang mengurangi hukuman menjadi 3 tahun.

"Seharusnya Pasal 27 Ayat (3) harus dicabut. Karena masalah mendasarnya adalah model perumusan tindak pidana yang sangat tidak mematuhi prinsip-prinsip hak asasi manusia dan cenderung memiliki indikator yang sangat luas dan mudah ditafsirkan secara serampangan," ujar Anggara.

Menurut ICJR penggunaan kasus-kasus pencemaran saat ini yang menggunakan Pasal 27 ayat (3) ITE masih eksesif. Berdasarkan monitoring ICJR ada beberapa kasus Pasal 27 Ayat (3) yang masih dalam penyidikan dan penuntutan di pengadilan yakni: Kasus Florence, Kasus Saut Situmorang, Kasus Iwan Sukrie, Kasus Rosali Amelia, Kasus Faike di jember, kasus Adam Amrullah, kasus Deddy Endarto, dan Kasus Budiman.

Anggara juga menegaskan perlunya pengaturan tentang kebijakan terhadap konten dalam revisi UU ITE, khususnya dalam hal model pengaturan sensor di Internet. Pengaturan sensor internet seperti yang ada dalam Peraturan Menteri Kominfo No 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif adalah pengaturan yang tidak tepat.

ICJR berpendapat, pengaturan terhadap konten internet sebaiknya diatur di level UU. ICJR sendiri, menurut Anggara, sedang dalam proses untuk segera mengajukan permohonan pengujian Peraturan Menteri tersebut ke Mahkamah Agung.

BACA JUGA: