JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sidang uji materiil perluasan Pasal 284, 285, dan Pasal 292 KUHP terus berlangsung di Mahkamah Konstitusi. Sidang gugatan yang dilayangkan oleh Guru Besar IPB Euis Sunarti dan kawan-kawan ini memasuki jilid ke-15 pada Senin, (28/11).

Pengajar Islamologi dan Filsafat Islam di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakara Budi Munawar Rachman dihadirkan sebagai ahli dari salah satu pihak terkait, yakni Koalisi Perempuan Indonesia (KPI). Budi berpendapat, perluasan 3 pasal dalam KUHP yang mengatur masalah zina, hubungan sesama jenis, dan pencabulan tidak perlu dilakukan. Ia menilai aturan yang ada saat ini sudah cukup dan tidak perlu diperluas lagi.

"Komunitas atau lembaga yang lebih tinggi seharusnya tidak mencampuri urusan individu atau lembaga di bawahnya, jika hal itu dapat dikerjakan sendiri dengan baik. Dengan argumen seperti ini, saya ingin menegaskan bahwa apa yang bisa diselesaikan oleh keluarga sebaiknya juga diselesaikan oleh keluarga, tidak perlu diurus oleh negara," kata Budi, Senin (28/11).

Sebelumnya, Budi memaparkan bahwa dalam konteks ajaran Islam, penyelesaian atas suatu masalah harus dilakukan dengan cara-cara yang penuh kasih dan mengutamakan asas bemusyawarah. Bahkan jika salah seorang anggota keluarga terbukti melakukan zina, cabul, atau mempunyai orientasi seksual yang menyimpang.

Budi menjelaskan, dalam satu riwayat disebutkan bahwa seorang sahabat telah mendatangi Nabi Muhammad SAW untuk melaporkan perbuatan zina yang dia lakukan. Namun Nabi tidak serta merta menanggapi pengakuan itu. Nabi Muhammad sampai tiga kali memalingkan muka menghindari pengakuan sang sahabat. Barulah setelah tiga kali memaksa Nabi untuk mendengar pengakuannya, sahabat itu dijatuhi hukuman rajam oleh Nabi Muhammad SAW.

"Saya menafsirkan membuang mukanya Nabi Muhammad tiga kali itu pertanda bahwa dia percaya bahwa perbaikan manusia itu lebih penting ketimbang menghukum rajam dan memberi kesempatan manusia untuk tumbuh lagi di dalam situasi yang paling buruk itu sangat penting. Saya kira, itulah moral dari cerita atau sunah Nabi ini," katanya.

Budi menyadari bahwa perilaku seks bebas ataupun hubungan sesama jenis bukanlah perilaku yang sesuai dengan norma masyarakat Indonesia. Namun demikian, menyerahkan perilaku tersebut secara penuh kepada hukum adalah tindakan yang tidak tepat.

"Yang harus dilakukan sekarang ini adalah membangun karakter. Karakter bangsa Indonesia itu jelek. Kita belum punya kualitas kemanusiaan yang tinggi. Mencapai itu adalah hal yang paling penting, namun caranya bukan harus melalui aspek hukum," kata Budi kepada gresnews.com.

Budi menjelaskan, persoalan zina atau seks bebas timbul karena gagalnya proses penyampaian nilai-nilai di dalam masyarakat. Lantaran hal itulah jika negara ingin bersama-sama menyelesaikan masalah tersebut, hal paling penting yang harus dilakukan negara adalah memberi penguatan (empowering) kepada lembaga-lembaga yang bisa menghidupkan nilai-nilai.
Ditegaskan Budi, negara harus memperkuat masyarakat, bukan memperkuat hukum. "Jauh lebih baik kita memperkuat institusi keluarga, memberi pemahaman yang baik, serta meningkatkan kesadaran beragama," katanya.

PERTIMBANGAN MORAL - Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) Syamsuddin Arif berpendapat permohonan perluasan pasal zina layak dikabulkan MK. Pasalnya, ditinjau dari perspektif sosiologis, tindakan kriminal dapat didefinisikan sebagai tindakan yang mendapat reaksi sosial dari masyarakat.

Syamsuddin menambahkan, ditinjau dari aspek filosofis, persoalan hukum tidak bisa dipisahkan dari moralitas. Menyitir pendapat Grotius, salah seorang pemikir abad pertengahan, Syamsuddin menegaskan posisi hukum adalah seperangkat aturan perilaku moral yang mewajibkan manusia untuk melakukan tindakan yang benar.

"Dalam bahasa latinnya, saya kutip, lex ut sic regula actuum moralium obligans, ad id quote rectum est," kata Syamsuddin, Senin (28/11).

Dijelaskan Syamsuddin, persidangan mengenai perluasan pasal zina memang kerap dibenturkan dengan persoalan moralitas. Antara pemohon dan pihak-pihak terkait masing-masing memiliki pandangan berbeda dalam memandang masalah zina. Lantaran hal itulah Syamsuddin menawarkan pemikiran filsuf Jerman Immanuel Kant untuk mengatasi perbedaan pandangan moral tersebut.

"Dalam pemikiran Immanuel Kant terselip sebuah pesan bahwa dengan akal sehatnya, manusia yang normal dan rasional sebenarnya dapat menemukan standar moral objektif, yakni standar moral universal yang diakui semesta, bukan standar moral relatif dan subjektif," paparnya.

Bahwa kemudian perilaku zina atau hubungan suka sama suka kerap dibenarkan dengan dalih suka sama suka, Syamsuddin menyebut bahwa perspektif agama harus digunakan untuk menyelesaikan masalah ini. "Saya pikir jawaban di sini bisa kita kemukakan secara tentatif bahwa ada bidang-bidang irisan, dimana larangan agama bisa menjadi larangan hukum, seperti larangan mencuri, larangan membunuh, dan larangan berzina," katanya.

Syamsuddin juga memaparkan bahwa konsep dosa dan kejahatan kadang menjadi dua hal yang tidak bisa dipisahkan.

"Artinya, ada perilaku yang dianggap sinful, perilaku yang dianggap salah, dosa dalam agama, itu juga merupakan tindakan kriminal. Sehingga tidak salah kalau kemudian kita mengatakan bahwa ada pendosa yang menjadi penjahat dan banyak penjahat itu juga pendosa," katanya.

Namun, Syamsuddin menjelaskan bahwa bentuk hukum terhadap hal itu bukan ditujukan untuk mengkriminalisasi perempuan atau warga negara dengan seenaknya. Hukuman, kata Syamsuddin, justru diberikan untuk melindungi perempuan dan calon korban. "Di sini saya pikir kita tidak hanya melihat hukum berfungsi sebagai punitive, tetapi hukum di sini berfungsi preventif," paparnya.

Terakhir, Syamsuddin menyampaikan salah satu hasil penelitian yang dimuat di Majalah Sten ( terbit di Jerman) edisi tahun 2005. Dijelaskan di situ, angka kelahiran di Jerman dan di negara-negara Eropa yang hingga kini terus merosot menyebabkan mereka mengalami krisis demografis dan berpotensi menyebabkan Jerman akan dihuni oleh orang tua jompo pada tahun 2060.

"Kenapa begitu? Karena ini adalah dampak dari seks bebas dan dampak dari perzinaan yang dianggap sebagai hak asasi manusia," pungkasnya.

BUKAN MENYOAL LGBT - Kuasa Hukum Euis Sunarti Feizal Syah Menan menyebut bahwa panjangnya sidang perluasan pasal zina bukanlah suatu persoalan. Ia menilai, panjangnya persidangan ini justru membuktikan kepedulian MK terhadap segala aspirasi yang disampaikan masyarakat.

Sebagai informasi, permohonan perluasan pasal zina ini diajukan oleh Euis Sunarti dan 11 guru besar lainnya. Sejumlah pihak juga mendaftarkan diri sebagai pihak terkait. Pihak-pihak tersebut antara lain Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Komnas Perempuan, Yayasan Peduli Sahabat, dan Persatuan Islam Istri (Persistri). MK memberi kesempatan yang luas kepada setiap pihak terkait untuk mengajukan ahli di persidangan. Hal tersebut membuat persidangan menjadi terkesan alot.

Feizal juga menekankan, permohonan Euis Sunarti dkk untuk memperluas makna ketiga pasal di dalam KUHP tidak dimaksudkan untuk mengadili kaum LGBT, melainkan untuk menguji pasal-pasal buatan kolonial Belanda yang dianggap sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai saat ini.

"Kami datang ke MK untuk menguji hal-hal yang bersifat konstitusional. Apakah undang-undang yang diujikan ini sesuai dengan konstitusi kita?" kata Feizal kepada gresnews.com. Namun, Feizal menegaskan bahwa perilaku LGBT memang tidak sesuai dengan konstitusi Indonesia.

Hanya, Feizal juga menekankan jika permohonannya dikabulkan, para pelaku seks bebas dan kaum homoseksual tidak begitu saja dapat dipidanakan. "Intinya baru dipidana jika ada yang melaporkan kepada polisi atau jika tertangkap basah oleh polisi atau jika melakukannya di area publik," katanya.

Sementara itu, perwakilan pemerintah, Hotman Sitorus berpendapat bahwa pasal-pasal yang digugat oleh pemohon sama sekali tidak bertentangan dengan konsitusi. Oleh karena itu Hotman menilai agar keinginan untuk merubah pasal-pasal tersebut diajukan kepada DPR, dengan catatan perubahan itu dilakukan karena perubahan zaman, bukan karena adanya pertentangan dengan konstitusi.

"Pemerintah akan berupaya membuat produk UU yang sesuai dengan konsititusi. Pemerintah akan sangat tidak nyaman jika ada UU yang bertentangan dengan konstitusi," katanya.

Ditanya apakah pemerintah tidak peduli dengan data yang disodorkan pemohon bahwa saat ini perilaku seks bebas dan hubungan sesama jenis marak dilakukan, Hotman tidak memberi jawaban pasti. "Persoalan fakta, nanti dilihat lagi, yang jelas sudah masuk di RUU KUHP. Substansi bisa sama, tapi argumentasi berbeda," kata Hotman.

Hotman menerangkan bahwa dalam RUU KUHP yang kini tengah digodok di DPR, pasal-pasal yang diajukan pemohon memang diperluas. Namun hal itu belum tentu disetujui karena hingga saat ini sama-sama masih terus menjadi bahan perdebatan.

Sebagai catatan, Euis Sunarti dkk menghendaki agar tiga pasal dalam KUHP diperluas subjeknya. Pasal tersebut antara lain Pasal 284, 285, dan Pasal 292 KUHP. Pasal 284 tentang perzinaan disebutkan bahwa definisi zina hanya berlaku bagi suami atau istri yang sudah menikah namun melakukan hubungan badan dengan orang lain. Pemohon menghendaki agar subjek hukum dalam pasal itu berlaku umum.

Sementara Pasal 285 tentang perkosaan berbunyi, "Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun. Pemohon menghendaki agar norma itu juga tidak berlaku sebatas bagi laki-laki terhadap perempuan. Menurut pemohon, dalam prakteknya perilaku perkosaan bisa dilakukan oleh perempuan terhadap laki-laki,perempuan terhadap perempuan, atau bahkan oleh laki-laki terhadap laki-laki lainnya.

Adapun Pasal 292 berbunyi, "Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun". Pemohon menghendaki agar pasal itu juga berlaku umum, tidak sebatas berlaku pada orang dewasa. Menurut pemohon, anak-anak di bawah umur juga rentan menjadi korban atas perbuatan cabul yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur lainnya. (Zulkifli Songyanan)

 

BACA JUGA: