JAKARTA, GRESNEWS.COM - Perkara gugat-menggugat kader Partai Golkar Joeslin Nasution dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Yasonna Laoly kembali memanas. Joeslin selaku penggugat dalam perkara itu, berusaha menegaskan bahwa Pelaksana Tugas (Plt) memiliki hak untuk melakukan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub).

Untuk diketahui, Joeslin telah melayangkan gugatan atas SK Kemenkumham Nomor M.HH-04.AH.11.01 Tahun 2016 tentang Pengesahan Personalia Pengurusan Dewan Pimpinan Pusat Masa Bakti 2014-2019. Selain itu, Joeslin juga meenggugat SK M.HH-02.AH.11.01 28 Januari 2016 sebagai pengesahan kembali SK M.HH-21.AH.11.01 Tahun 2012 dengan masa bakti enam bulan.

Joeslin Nasution menggugat karena merasa dirinya masih menjadi pelaksana tugas ketua umum DPP Golkar yang sah. Joeslin beralasan, posisinya sah karena dia telah ditunjuk oleh dewan pendiri Partai Golkar menjadi Plt Ketua Umum ketika Golkar sedang dalam sengketa antara Aburizal Bakrie dan Agung Laksono. Penunjukan itu bahkan sudah dinotariskan namun belum mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Sidang perkara gugatan ini sendiri sudah berlangsung beberapa kali di Pengadilan Tata Usaha Negara, Jakarta Timur. Nah, dalam persidangan yang berlangsung Kamis (1/9) kemarin, untuk menguatkan dalil keabsahan pengangkatan dirinya sebagai Plt Ketua Umum Golkar, Joeslin menghadirkan Saurip Kadi selaku saksi fakta.

Saurip Kadi dimintai keterangannya karena dianggap mengetahui sejarah pembentukan Partai Golkar karena pernah menjabat kepala dewan sosial politik (Wansospol) dibawah Panglima TNI masa itu. Sospol kala itu membidangi partai politik pada masa dwifungsi ABRI.

Saurip Kadi dalam keterangan sebagai saksi fakta, menyatakan, ada kebiasaan dalam Partai Golkar yakni melibatkan dewan pendiri saat mengambil kebijakan-kebijakan strategis partai. "Tradisi pengambilan keputusan di Partai Golkar  selalu melibatkan dewan pendiri. Karena Kekuatan akar rumput Golkar pada MKGR," terang Saurip Kadi di PTUN Jakarta Jalan Sentra Primer Baru Timur, Jakarta Timur, Kamis (1/9).

Dia menyatakan, Golkar memang dibentuk dari beberapa elemen seperti Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro) 1957, Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) dan Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR). Dia menyebutkan ada tujuh elemen, namun yang eksis hingga sekarang hanya tiga.

Dengan begitu, lanjut Saurip, sebagai dewan pendiri maka dapat dibenarkan ketika terjadi kekosongan kepengurusan partai, dewan pendiri berkewajiban melakukan langkah penyelamatan partai. "Kalau ada tradisi secara yang terus menerus terjadi baik tertulis maupun tidak. Ada kebiasaan yang menjadi hukum," ungkap pensiunan jenderal TNI bintang dua itu.

Joeslin mengaku mendapat mandat dari dewan pendiri partai Golkar menjadi pelaksana tugas (Plt) Dewan Pengurus Pusat Partai Golkar (DPP Golkar) saat Golkar dalam kisruh dualisme kepemimpinan beberapa waktu lalu. Namun setelah mendapat mandat itu, Menkum HAM mengeluarkan SK perpanjangan Munas Riau.

SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Nomor M.HH-04.AH.11.01 Tahun 2016 tentang Pengesahan Personalia Pengurusan Dewan Pimpinan Pusat Masa Bakti 2014-2019. Selain itu, penggugat juga meenggugat SK M.HH-02.AH.11.01 28 Januari 2016 sebagai pengesahan kembali SK M.HH-21.AH.11.01 Tahun 2012 dengan masa bakti enam bulan.

Pada persidangan sebelumnya, pihak Menkum HAM menganggap SK Menkum HAM yang menjadi objek gugatan sudah tak relevan untuk digugat. Tergugat beralasan, SK yang di menjadi objek sengketa sudah diganti dengan SK yang baru yakni pengesahan Munas Bali dengan Nomor M.HH-04.AH.11.01 Tahun 2016.

Terkait terbitnya kedua SK itu, Saurip lebih lanjut dia menegaskan, Joeslin adalah pihak yang memiliki hak untuk melakukan Munaslub karena dianggap sebagai dewan pendiri. Bahkan dia menyatakan, langkah pemerintah mengambilalih partai Golkar dengan menghidupkan kembali SK Munas Riau tidak sah. "Mekanisme (memperpanjang SK) itu tidak ada dalam AD-ART. Itu intervensi oleh pemerintah," ungkapnya.

KONVENSI Plt TAK DIKENAL - Joeslin Nasution selaku penggugat berpendapat SK tersebut menjadi landasan terbitnya SK Menkum HAM selanjutnya. Namun, kedua SK yang menjadi objek gugatan sebenarnya telah dicabut dengan SK yang terbit setelahnya. Karena SK yang berlaku adalah SK M.HH-11.AH.11.01 Tahun 2016 yang mengesahkan kepengurusan Partai Golkar dengan Ketua Umum Setya Novanto dan Sekretaris Jenderal Idrus Marham.

Dengan terbitnya SK M.HH-11.AH.11.01 Tahun 2016 maka SK M.HH-04.AH.11.01 Tahun 2016 dinyatakan tidak berlaku. Begitu pula SK M.HH-04.AH.11.01 Tahun 2016 membatalkan SK M.HH-02.AH.11.01 28 Januari 2016. Dengan begitu dua SK yang menjadi objek gugatan sebenarnya telah dibatalkan.

Kuasa hukum tergugat intervensi dalam hal ini Pengurus DPP Partai Golkar, Muslim Jaya Butar Butar menilai, keterangan saksi fakta yang dihadirkan pihak Joeslin malah membuat bias. Karena menurut Muslim, keterangan saksi banyak menerangkan sejarah pembentukan partai Golkar bukan pada apa yang dilihat terkait terbitnya SK Menkum HAM yang menjadi objek gugatan.

"Kan awalnya kami keberatan dengan saksi fakta. Karena satahu saya saksi tidak pernah tercatat sebagai pengurus partai Golkar," kata Muslim.

Selain itu, Muslim menuturkan dasar yang dipakai penggugat sangat lemah karena tidak berdasarkan pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) partai politik. Istilah Plt tidak ada dalam AD-ART Partai Golkar. "Di dalam Golkar itu tidak ada konvensi mengenai Plt di pengurusan pusat ," tegas Muslim.

Pihak DPP Golkar yang diketuai Setya Novanto sendiri terjun sebagai tergugat intervensi karena merasa dirugikan dengan adanya gugatan oleh Joeslin Nasution.

Ketua majelis hakim Roni Erry Saputro mengatakan, pihak DPP Golkar cukup beralasan untuk masuk sebagai para pihak dalam persidangan gugatan antara Joeslin Nasution melawan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham). "Mengadili, mengabulkan permohonan  intervensi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar yang diketuai oleh Setya Novanto dan Sekretaris Jenderal Idrus Marham. Pemohonan intervensi masuk dalam pihak sebagai tergugat intervensi," ungkap hakim Roni dalam persidangan dengan agenda pembacaan putusan sela di PTUN Jakarta Jalan Sentra Primer Baru Timur, Rabu (20/7).

BACA JUGA: