JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sidang gugatan praperadilan yang diajukan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) terhadap proses hukum terkait kasus dugaan korupsi dalam pembelian lahan RS Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta membuka sebuah fakta baru. Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (27/4), pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menjadi turut tergugat mengoreksi angka kerugian negara dalam kasus tersebut.

Kuasa hukum BPK Herry Riyadi menegaskan, BPK mengoreksi angka kerugian negara dalam kasus Sumber Waras menjadi Rp173 miliar setelah melakukan audit investigasi. Sebelumnya, seperti yang beredar di media massa, nilai kerugian negara dalam kasus ini disebut mencapai Rp191 miliar.

"Hasil investigasi terkait pengadaan tanah Sumber Waras nilai kerugian negara 173 miliar rupiah dan telah diserahkan kepada KPK pada tanggal 7 Desember 2015," kata Herry dalam persidangan.

Sayangnya, BPK menolak untuk menjelaskan secara rinci bagaimana perhitungan soal kerugian negara sebesar Rp173 miliar itu muncul. Angka itu, kata Herry, merupakan informasi yang mesti dikecualikan sehingga tidak dapat dipublikasikan ke masyarakat, meski sudah ada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

BPK merujuk kepada Pasal 17 huruf a angka (1) UU tentang Keterbukaan Informasi Publik yang membolehkan lembaga negara untuk tidak membuka beberapa informasi yang akan mempengaruhi proses penegakan hukum. Dalam konteks kasus Sumber Waras, saat ini kasusnya tengah diselidiki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dalam gugatan praperadilan MAKI menjadi tergugat I.

Herry beralasan, data itu sudah diberikan kepada KPK, sehingga BPK tidak bisa menjelaskan kepada publik terkait dari mana perhitungan kerugian negara tersebut muncul. "Untuk menghormati proses hukum yang sedang dijalankan di KPK," kata Herry.

Terkait adanya koreksi dalam penetapan jumlah kerugian negara ini, BPK juga membantah tudingan MAKI bahwa lembaga tersebut tidak menjalankan tugas dengan baik dalam rangka membantu pemberantasan korupsi di Indonesia. "BPK sudah melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai dengan perundang-undangan," ujar Herry.

Terkait pernyataan BPK yang mengoreksi angka kerugian negara tersebut, Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengaku puas. "Saya sangat gembira BPK dalam jawaban resminya menyatakan memang betul dalam kasus sumber waras adalah Rp173 miliar yang utama itu jawaban resmi," katanya.

Sebelumnya, soal besaran kerugian negara sebesar Rp173 miliar dalam kasus Sumber Waras memang sempat diungkap dalam pertemuan antara Komisi III DPR dengan BPK. "Setelah audit oleh BPK ditemukan beberapa masalah yang mencengangkan Komisi III, hasil audit BPK ada kerugian uang negara 173 miliar rupiah," kata Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman.

Benny mengatakan, BPK mengakui adanya perubahan jumlah nilai indikasi kerugian negara tersebut. "Semula Perwakilan BPK DKI ada indikasi Rp193 miliar, tapi setelah dilakukan audit investiasi atas permintaan KPK, hasil final Rp173 miliar," jelas Benny.

Kini dengan adanya pernyataan resmi dari BPK di pengadilan, MAKI berharap, KPK semakin cepat menggarap kasus ini. Boyamin mengatakan, dengan adanya kepastian soal jumlah kerugian negara itu, KPK bisa segera menaikkan status kasus Sumber Waras ke tahap penyidikan yang sebelumnya masih di tahap penyelidikan.

"Kemarin kan DPR hanya rapat tertutup sehingga kita tidak bisa mengorisinilkan. Nah, sekarang sudah orisinil jawaban tertulis tangan kuasa hukum BPK," kata Boyamin.

Terkait tidak dibukanya asal-usul perhitungan kerugian negara itu, MAKI menghormati BPK yang tak bisa mengungkap secara rinci temuan investigasi itu dalam persidangan, lantaran sudah masuk ranah penyelidikan KPK. "Biarlah BPK berkoordinasi dengan KPK. Kita juga harus hormati BPK, dan tidak boleh memaksa karena ini hasil investigasi ada istilah-istilah kerahasiaan. Nyatanya apapun sudah dikirimkan ke KPK," pungkasnya.

DORONG KPK - Dengan adanya kepastian angka kerugian negara ini, MAKI akan mendorong penyelesaian kasus Sumber Waras untuk dilanjutkan ke tingkat penyidikan. Boyamin berjanji, jika KPK masih menyatakan penyelidikan maka dia akan terus melakukan gugatan upaya hukum melalui sidang praperadilan. Karena, menurut Boyamin, praperadilan merupakan instrumen bagi masyarakat untuk mengawasi kebijakan-kebijakan penguasa. "Kalau belum ditingkatkan ke penyidikan kita akan gugat terus," kata Boyamin.

Terkait lambannya KPK mengusut kasus Sumber Waras ini, Komisi III DPR juga telah merencanakan untuk meminta keterangan mantan Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki.  Ketua Panja Penegakan Hukum Komisi III DPR Desmond J. Mahesa mengatakan, pemanggilan itu dilakukan karena pada saat BPK menyerahkan dokumen hasil audit Sumber Waras yang menerima adalah pimpinan KPK saat kembali dipimpin untuk sementara oleh Ruki.

"Apa yang dilakukan BPK ini permintaan KPK. Suratnya ditunjukan ke kami, atas permintaan KPK," kata Desmond.

Namun pemanggilan itu urung terjadi karena para pimpinan KPK tersebut menolak panggilan Komisi III dengan alasan kasus itu masih berjalan dalam tahap penyelidikan. "Untuk menghindari kesan adanya destruksi independensi penanganan kasus maupun independesi kelembagaan KPK, maka dengan segala hormat kami berhalangan untuk menghadiri undangan dari Komisi III DPR RI. Tentang dugaan adanya tindak pidana korupsi pada kasus di atas, kami berpendapat sebaiknya diserahkan sepenuhnya kepada KPK sesuai dengan SOP pada KPK," tegas para mantan Pimpinan KPK melalui pesan singkat yang dikirimkan ke Sekretaris Komisi III DPR RI, Selasa (26/4).

Meski begitu, anehnya, pada tanggal yang sama di siang hari sekitar pukul 13.30, Ruki tampak berada di area Gedung DPR. Saat ditanya wartawan soal keperluannya, Ruki mengaku hanya mengurus keperluan pribadi di Bank Mandiri di kawasan gedung DPR.

Ruki juga mengoreksi isi surat yang dikirimkan ke Sekretaris Komisi III DPR. Dia bilang, isi surat itu bukan penolakan atas panggilan Komisi III, melainkan penegasan bahwa para mantan pimpinan KPK itu memang belum pernah dipanggil secara resmi. "Begini saya kasih tahu, saya belum pernah diundang oleh Komisi III. Yang ada hanyalah SMS dari sekretariat Komisi III," kata Ruki.

Bunyi SMS itu adalah apakah mantan pimpinan KPK bersedia untuk datang. Jika bersedia, DPR akan mengirimkan undangan secara resmi. "Kalau bersedia, suratnya akan dikirim. Suratnya belum pernah dikirim. Saya katakan saya enggak mau datang," jelas Ruki.

Anggota Komisi III sendiri menyayangkan keengganan Ruki cs untuk memenuhi undangan dari DPR. Anggota Komisi III Nasir Jamil mengatakan, Komisi III mengundang mantan pimpinan KPK untuk mengetahui asal usul dan dasar dari KPK meminta audit investigasi soal pembelian lahan Sumber Waras kepada BPK. "Dengan latar belakang itu, kami bisa memetakan proses hukum ini. Apakah ini dilakukan karena indikasi adanya kerugian negara atau ada faktor lain," tutur Nasir.

"Saya menyayangkan dengan alasan ketidakhadiran mereka karena kasus itu sedang penanganan hukum di KPK. Yang kita ingin tahu posisi KPK ini sebagai penegak hukum dalam meminta audit itu," imbuh dia.

Ketua Komisi III Bambang Soesatyo menyatakan akan kembali mengundang Ruki dkk usai reses DPR. Komisi III disebutnya sangat memerlukan penjelasan dari para mantan pimpinan KPK itu. "Karena keterangan yang bersangkutan sangat penting bagi dewan dan rakyat terkait kasus Sumber Waras," terang Bambang.

MASIH KUMPULKAN BUKTI - Pihak KPK sendiri terkait soal ini, masih terus mengajukan alasan yang sama, yaitu masih berkutat di penyelidikan dan mengumpulkan alat bukti dan keterangan saksi. KPK beralasan, laporan audit BPK tidak serta merta bisa dijadikan alat bukti untuk segera menetapkan tersangka. "Hasil temuan itu mesti dikaji terlebih dahulu. Dikaji dulu untuk menemukan peristiwa pidananya dan ditemukan calon tersangka baru nanti bisa dilanjutkan ke tingkat penyidikan," kata kuasa hukum KPK Suryawulan.

Dia menjelaskan, penilaian apakah suatu dugaan perkara tindak pidana korupsi layak atau tidak untuk ditingkatkan ke penyidikan itu sepenuhnya kewenangan KPK. KPK, imbuh Suryawulan, bekerja dengan prinsip kehati-hatian mengingat KPK tidak memiliki wewenang untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan. "KPK masih melakukan serangkaian penyelidikan secara hati-hati, cermat dan profesional dalam rangka mengumpulkan bukti permulaan yang cukup," tegasnya.

KPK juga membantah tudingan sudah menghentikan penyelidikan dengan sah. Untuk menegaskan pendapatnya pihak KPK mengemukakan surat perintah penyelidikan Nomor Sprind.Lidik-65/01/09/2015 yang dikeluarkan pada 28 September 2015.

Soal perbedaan angka kerugian negara, Plh Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati mengatakan, KPK berpegang pada hasil audit investigasi yang diberikan BPK bulan Agustus tahun lalu. "Jadi kami masih berpegang pada itu. Belum ada informasi lanjutan dari BPK yang secara resmi diberikan kepada KPK," ujarnya beberapa waktu lalu.

Tentang nilai kerugian negara dalam pembelian RS Sumber Waras itu, KPK memercayakannya kepada BPK. Menurut Yuyuk, BPK bertugas melakukan audit dan itu yang menjadi pegangan KPK. "Kami sepenuhnya percaya hasil audit yang sudah diberikan kepada KPK itulah yang kami pegang dan kami lakukan untuk menjadikan dasar pemeriksaan-pemeriksaan di kasus ini," ujarnya. (dtc)

BACA JUGA: