JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla oleh Ketua DPR Setya Novanto terus menggelinding. Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) telah memutuskan segera menyidangkan kasus ini. Sementara penegak hukum khususnya Kepolisian masih menunggu hasil MKD.

Rupanya polisi tak ingin gegabah mengusut skandal minta saham PT Freeport Indonesia (PTFI) meskipun dasar hukum melakukan penyelidikan dibenarkan. Karena semua mafhum yang dihadapi bukan orang sembarangan. Setya Novanto, politisi senior Partai Golkar yang dikenal dengan sebutan ´untouchable man´. Berulang kali namanya terseret sejumlah kasus korupsi, namun penegak hukum tak pernah menyentuhnya mulai dari Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kapolri Jendral Badrodin Haiti mengatakan masih menunggu hasil sidang MKD. Sebelum memutuskan melanjutkan proses persidangan, pada 24 November 2015, MKD menghadirkan pakar, yakni ahli bahasa hukum Yayah Bachria Mugnisjah untuk dimintai pendapat akademiknya terkait frasa ´dapat´ dalam Bab IV Pasal 5 ayat (1) tentang tata beracara MKD.

Dengan hasil putusan MKD polisi baru bergerak untuk menentukan ada tidaknya unsur pidananya. Selain menunggu, polisi akan meminta keterangan ahli. "Kami lebih baik menunggu sampai clear," kata Badrodin di Mabes Polri, Jumat (27/11).

Meskipun sejumlah pihak mendesak termasuk Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) agar polisi menjemput bola untuk menyidik skandal minta saham PTFI ini. Namun Badrodin bergeming. Hasil MKD akan jadi acuan penyelidikan polisi.

Kasus pencatutan nama presiden dan wakil presiden oleh Setya Novanto bisa masuk dari banyak aturan. Mulai dari pasal penipuan hingga pencemaran nama baik. Namun Badrodin tak ingin terlalu jauh masuk kasus ini. Jika dikenakan pasal penipuan maka deliknya juga harus sempurna. Freeport harus dimintai keterangan.

"Apakah sudah sudah deal Freeport memberi saham masalah negosiasi, makanya MKD sidangnya terbuka saja," jelas Badrodin.

Sementara Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti mengatakan langkah polisi menunggu hasil MKD dinilai tak tepat. Sebab proses MKD merupakan proses politik. MKD hanya menyidang soal etik sehingga putusan MKD tidak dapat dijadikan bukti.

"Polisi tidak perlu menunggu, tak ada pengaruh (hasil MKD) pada polisi. Tugas polisi untuk mencari bukti pidananya," kata Bivitri dalam sebuh diskusi yang digelar di Rumah Kebangsaan, Jalan Pattimura No 9 Jakarta, Jumat (27/11).

CELAH MASUK - Menurut Bivitri Susanti, skandal minta saham PTFI yang melibatkan Setya Novanto harus diselesai secara politik dan hukum. Dua penyelesaian harus berjalan.

Secara politik MKD yang harus menyelesaikannya secara jujur dan transparan. Untuk pidana, maka polisi harus segera bertindak. Ada celah bagi polisi untuk mengusut.

Pertama bisa menggunakan Pasal 12 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 423 KUHP sudah sangat jelas, bahwa jika seorang pejabat bermaksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dan memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu, merupakan tindak pidana.

Hanya deal yang dilakukan Setya Novanto dengan Freeport harus benar-benar terjadi. Saat ini Setnov belum menerima saham dari PTFI itu.

"Jadi kalau tukar menukar sahamnya sudah terjadi, bisa kena. Masalahnya ini belum," katanya.

Meski demikian, bukan berarti tidak bisa membawa kasus Setya ini ke ranah pidana. "Mungkin bisa dikenakan pasal percobaan melakukan tindak pidana, bisa kena. Tapi hanya sejauh itu," kata Susanti.

JEMPUT BOLA - Kompolnas mendorong Kepolisian responsif kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden. Ada tiga poin rekomendasi dari Kompolnas.

Komisioner Kompolnas Muhammad Nasser mengatakan, pertama, kepolisian harus melakukan langkah antisipasi atau jemput bola. Hal ini untuk menggali informasi atas kemungkinan pelanggaran yang dilakukan sehubungan dengan kasus Setnov itu.

Karena walaupun sudah bergulir di MKD tentang pelanggaran kode etik, maka kami berpendapat bahwa pelanggaran hukum juga potensial terjadi. "Oleh karena itu, polisi harus antisipasi itu," kata Nasser, Jumat (27/11).

Kedua, berdasarkan kebiasaan serta tata aturan yang ada, hampir semua terjadi di semua profesi bahwa pelanggaran etik beda dengan pelanggaran hukum. Bisa saja itu dilakukan secara terpisah. Proses untuk pelanggaran etik jalan, pelanggaran hukum juga jalan. Sepanjang ada bukti permulaan dan kecurigaan adanya pelanggaran hukum.

Yang ketiga, kata Nasser, Kompolnas mendorong kepolisian profesional, mandiri, tidak terpancing oleh hal-hal yang terkait bersifat politik. Kepolisian harus menjaga independensinya.

BACA JUGA: