JAKARTA, GRESNEWS.COM - Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak seluruh permohonan pengujian Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) yang dimohonkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
 
"Amar putusan, mengadili, menyatakan dalam pokok permohonan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Ketua Mahakamah Konstitusi Hamdan Zoelva saat membacakan putusan tentang kedudukan dan pemilihan ketua DPR serta ketua alat kelengkapan dewan lainnya di ruang siding pleno MK, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (29/9).
 
MK menilai dalil-dalil yang digunakan pemohon dalam permohonan uji materi UU MD3 tidak beralasan menurut hukum. Diantaranya, Majelis Hakim menolak semua keberatan pemohon yang menyatakan Pasal 84 UU MD3 tidak sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan terutama asas keterbukaan, karena materi pembentukan ketentuan UU MD3 tersebut tidak berasal dari naskah akademik yang diajukan di awal pembahasan DPR dan disampaikan kepada Pemerintah.
 
MK juga menolak keberatan para pemohon yang menyatakan Pasal 84 UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945, karena PDIP sebagai pemenang Pemilu Legislatif Tahun 2014 sesuai dengan Undang Undang Nomor 27 Tahun 2009 secara langsung menjadi pimpinan DPR.
 
Termasuk keberatan pemohon yang menilai diberlakukannya Pasal 84 untuk Pimpinan yang disebutkan dalam ketentuan UU MD3 tersebut tidak lagi diberikan kepada partai politik sesuai dengan perolehan kursi secara proporsional. Melainkan dipilih langsung dari dan anggota DPR, dan hal ini merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon.
 
Mahkamah berpendapat, perubahan mekanisme pemilihan pimpinan DPR dan alat kelengkapan lain dalam UU MD3 tidak bertentangan dengan konstitusi. Sebab, memilih pimpinan di parlemen merupakan kewenangan anggota DPR. Pemilu diselengarakan untuk memilih wakil rakyat yang duduk di parlemen.

Sedangkan, masalah pemilihan pimpinan DPR menjadi hak anggota DPR untuk memilih dan menentukan pemimpinnya sendiri. Hal dianggap lazim dalam sistim presidensial dan multi partai.

Pertimbangan MK diantaranya, PDIP selaku para pemohon dianggap tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam pengujian UU MD3. "PDIP juga tidak memiliki kerugian konstitusional," tutur Hakim Konstitusi Aswanto saat membacakan pertimbangan hakim.

Selanjutnya MK berpendapat, pembentukan UU yang tidak mengikuti aturan tata cara pembentukan UU tidak serta-merta membuat UU yang dihasilkan dianggap inkonstitusional. Sebaliknya bisa saja UU yang dihasilkan sesuai aturan, tetapi materinya justru bertentangan dengan UUD 1945.

Namun demikian, dalam amar putusan tersebut, ada dua hakim konstitusi yang menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion) yakni Arief Hidayat dan Maria Farida Indrati.

Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarno Putri, Sekretaris Jenderal PDIP Tjahjo Kumolo, Dwi Ria Latifa, Junimart Girsang, Rahmani Yahya, dan Sigit Widiarto memohon kepada Mahkamah agar menyatakan UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945, atau tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
 
Atau setidak-tidaknya menyatakan, pertama Pasal 84 tidak bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa: "Pimpinan DPR terdiri atas 1 orang ketua dan 4 orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR" dimaknai sebagai "pimpinan DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPR".
 
Kedua, Pasal 97 Ayat (2) tidak bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa: "Pimpinan komisi terdiri atas 1 orang ketua dan paling banyak 3 orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota komisi dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat" dimaknai sebagai "Pimpinan komisi terdiri dari 1 orang ketua dan paling banyak 3 orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota komisi berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi".
 
Ketiga, Pasal 104 Ayat (2) tidak bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa: "Pimpinan Badan Legislasi terdiri atas 1 orang ketua dan paling banyak 3 orang wakil ketua yang dipilih dan oleh anggota Badan Legislasi dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat dimaknai sebagai "Pimpinan Badan Legislasi terdiri atas 1 orang ketua dan paling banyak 3 orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Legislasi berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi".
 
Keempat, Pasal 109 Ayat (2) tidak bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa: "Pimpinan Badan Anggaran terdiri atas 1 orang ketua dan paling banyak 3 orang wakil ketua yang dipilih dan oleh anggota Badan Anggaran berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat" dimaknai sebagai "Pimpinan Badan Anggaran terdiri atas 1 orang ketua dan paling banyak 3 orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Anggaran berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi".
 
Kelima, Pasal 115 Ayat (2) tidak bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa: "Pimpinan BKSAP terdiri dari 1 orang ketua dan paling banyak 3 orang wakil ketua yang dipilih dan oleh anggota BKSAP berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat" dimaknai sebagai "Pimpinan BKSAP terdiri dari 1 orang ketua dan paling banyak 3 orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota BKSAP berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi"
 
Keenam, Pasal 121 Ayat (2) tidak bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa: "Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan terdiri atas 1 orang ketua dan paling banyak 3 orang wakil ketua yang dipilih dan oleh anggota Mahkamah Kehormatan Dewan berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat" dimaknai sebagai "Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan terdiri atas 1 orang ketua dan paling banyak 3 orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Mahkamah Kehormatan Dewan berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi".
 
Ketujuh, Pasal 152 Ayat (2) tidak bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa: "Pimpinan BURT terdiri atas 1 orang ketua dan paling banyak 3 orang wakil ketua yang dipilih dan oleh anggota BURT berdasarkan usulan fraksi" sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
 

BACA JUGA: