JAKARTA, GRESNEWS.COM - Ketua DPR Marzuki Alie menegaskan, apapun, proses politik sudah selesai dan UU Pilkada telah disetujui DPR untuk disahkan. Bagi masyarakat, manakala UU sudah disahkan maka harus taat untuk melaksanakan undang-undang tersebut. Namun bila ada yang tidak puas dengan UU tersebut, ada jalan lain yang dijamin oleh konstitusi.

"Jalan itu bisa ditempuh dengan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, apakah bertentangan dengan amanat konstitusi. Kita tidak boleh berpolemik tiap hari manakala UU telah disahkan. Tidak ada satu jaminan apapun bahwa pilkada langsung atau tidak langsung itu yang paling baik. Karena kedua-keduanya kita telah mengalami, dan kedua-duanya belum memberikan efek yang baik dalam rangka pilkada itu," kata Marzuki Alie Senin (29/9) seperti dikutip situs dpr.go.id.

Karena itu, apa yang dilakukan DPR dan pemerintah adalah usaha kita untuk melakukan perbaikan dan dalam melakukan usaha perbaikan tentunya  ada berbagai pandangan. Usulan yang disampaikan Partai Demokrat juga merupakan usul untuk mencapai kesempurnaan.

Menurut politisi Partai Demokrat ini, diputuskannya kembali pilkada lewat DPRD juga bukan berarti kembali ke cara-cara lama, tetapi juga dengan perbaikan. "Kalau kita biarkan pemilu langsung seperti selama ini tanpa perbaikan, maka dampaknya  luar biasa. Muncul, konflik, kemudian korban pilkada juga ada birokrasi yang dipindahkan ada guru-guru yang dicopot dari jabatannya tanpa diketahui kesalahanhya. Banyak sekali korban dampak dari pemilihan langsung yang menunjukkan bahwa pemilu langsungpun memberi dampak yang tidak baik," tegasnya lagi .

Dikatakannya, kalau mau melanjutkan Pilkada langsung maka harus ada perbaikan-perbaikan sebagaimana yang diusung PD. Tetapi sayangnya apa yang disampaikan PD itu tidak mendapatkan sambutan yang baik dari fraksi-fraksi di DPR.

"Karena sudah diputuskan, mari kita hormati. Ini adalah keputusan konstitusional yang dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga kalau belum puas, ada jalan untuk melakukan perubahan itu," pungkas Marzuki.

Sebelum, gerakan masyarakat sipil banyak yang menggugat UU Pilkada karena dianggap merampas hak berdemokrasi rakyat. Ahli Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan, pilkada melalui DPRD lebih banyak efek negatifnya daripada pilkada langsung. Karena dengan sistem ini kedaulatan konstitusi masyarakat dihilangkan secara paksa. Selain itu hal ini juga berarti mengembalikan konstitusi negara kepada rezim orde baru.

"Salah satunya bisa kembali menghidupkan MPR sebagai lembaga tinggi negara. Siapa yang kontrol MPR, itu bisa menjadi enses power. Tidak ada yang cek lagi," kata Refly, Minggu (28/9).

Refly menambahkan, hal tersebut tentunya membahayakan proses bangsa yang demokratis. Karena paradigma dalam demokrasi yaitu adanya check and balances, agar hal tersebut dapat dikontrol dan dikritisi masyarakat sehingga menimalisir terjadinya penyimpangan.

Dan kemunduran birokrasi ini juga memunculkan oligarki politik di Indonesia. "Pemilihan gubernur bupati, walikota, tinggal bagi-bagi aja, lalu suruh bayar," tandasnya.

Kemudian, lanjut Refly, para calon tersebut diajukan ke DPRD untuk proses pemilihan. Sistem ini menurut Refly, juga menutup kesempatan bagi calon independen untuk menjadi kepala daerah. Karena para calon tersebut diajukan oleh partai politik dan penentuannya oleh DPRD.

BACA JUGA: