JAKARTA, GRESNEWS.COM - Lima orang komisioner Komisi Yudisial (KY) masa bakti 2015 - 2020
telah resmi dilantik Presiden Joko Widodo pada hari Jum’at (18/12). Lima komisioner ini akan menggantikan tujuh komisioner KY jilid II yang telah berakhir masa jabatannya pada 20 Desember 2015 lalu. Namun pergantian pimpinan lembaga negara yang khusus mengawasi pelanggaran etik hakim itu menyisakan persoalan terkait legal standing kedudukan lima Komisioner KY. Sebab keabsahan pelantikan kelimanya masih menyisakan persoalan.

Mantan Komisioner KY jilid II Taufiqurrahman Syahuri mengatakan, lima orang komisioner KY jilid III yang baru saja dilantik Presiden di Istana Negara itu kemungkinan akan menghadapi persoalan yang cukup serius dalam menangani sejumlah perkara etik. Sebab Menurut Taufiq, kelima komisioner itu memiliki celah yang sewaktu-waktu dapat diserang oleh pihak-pihak tertentu yang tidak ingin Komisi Yudisial menangani perkara etik hakim.

Menurut Taufiq, celah hukum untuk menyerang KY jilid III ini ada pada dasar hukum yang melatarbelakangi keabsahan pelantikan lima orang komisioner KY masa bakti 2015 -2020. Sebab, Pasal 6 UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial (KY), lanjut Taufiq, mengatur ketentuan tujuh orang komisioner yang harus dilantik oleh pemerintah sebagai komisioner KY. Sehingga,  tidak menutup kemungkinan legal standing kelimanya akan dipersoalkan oleh oknum hakim yang memiliki kepentingan tertentu, dengan cara mencari celah agar kasus dugaan pelanggaran etik yang ditangani oleh lembaga ini tidak dilanjutkan.     

"Bisa saja hakim yang tidak setuju dengan dugaan pelanggaran etik yang ditangani KY, mencari-cari alasan agar tidak bisa diperiksa oleh kelima komisioner terpilih sekarang," kata Taufiqur kepada gresnews.com, Selasa (22/12).

Ia menambahkan, ketentuan yang diatur dalam UU KY itu merupakan landasan hukum bagi perangkat di lingkungan KY yang harus dipatuhi oleh pemerintah dan seluruh pihak terkait, tidak terkecuali  para komisioner KY. Ia mengisahkan, Pasal 25 UU KY juga telah mengatur mekanisme pengambilan keputusan dalam menangani perkara. Dalam pasal itu, seluruh komisioner KY diutamakan untuk mengambil keputusan dengan cara musyawarah mufakat. Jika tidak bisa mencapai kata mufakat, keputusan bisa diambil dengan cara votting suara terbanyak melalui rapat pleno tujuh orang komisioner KY, atau setidaknya minimal lima orang komisioner.

"Jadi aturan serta batasan yang dijadikan pedoman bagi komisioner KY itu jelas dan semua diatur dalam UU KY," katanya Taufiq. Menurutnya mekanisme pengambilan keputusan melalui rapat pleno yang dihadiri oleh 7 komisioner, atau minimal 5 orang komisioner. Batasan minimalnya rapat pleno minimal 5 orang. Berbeda dengan jumlah komisioner, dalam UU KY komisioner itu harus 7 orang, tanpa ada batasan terkecuali. Jadi 5 orang komisioner yang baru ini legal standingnya bisa dipermasalahkan.

Ia meminta pemerintah memperhatikan dasar hukum posisi lima komisioner  baru itu. Menurutnya saat ini pemerintah melalui Tim Pansel KY sudah menyerahkan dua nama baru ke DPR RI untuk dilakukan proses uji kelayakan atau fit and proper test oleh Komisi III DPR RI.

Kendati demikian, lanjut Taufiq, posisi DPR RI saat ini tengah memasuki masa reses dan baru akan kembali aktif sekitar bulan Januari 2016. Ia memprediksi Komisi III kemungkinan baru akan menyelesaikan tahapan fit and proper test dua calon komisioner KY lainnya sekitar bulan Februari - Maret 2016.

Masalahnya menurut dia, harus menunggu DPR selesai menentukan dua nama komisioner KY lainnya, kemudian baru dua nama itu diserahkan pemerintah, prosesnya kemungkinan baru selesai bulan Maret tahun depan. "Nah, menunggu itu legal standing lima komisioner gimana?” ujarnya.

BELAJAR KASUS HENDARMAN VS YUSRIL -  Taufiq mengingatkan kembali kasus perseteruan hebat antara mantan Jaksa Agung Hendarman Supandji dengan mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra lima tahun silam. Perseteruan antara dua tokoh itu diawali dengan penetapan status tersangka yang dilakukan oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji terhadap Mantan Menkumham Yusril Ihza Mahendra terkait dugaan korupsi Sisminbakum.

Dalam kasus ini, Yusril berhasil lolos dari penetapan status tersangka oleh penyidik gedung bundar karena Yusril mempersoalkan legalitas jabatan dan wewenang Hendarman Supandji dalam penetapan status dirinya sebagai tersangka ketika sudah habis masa jabatannya sebagai Jaksa Agung.

Yusril telah memanfaatkan celah administrasi hukum yang saat itu dimiliki oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji. Ketika itu, alasan yang sangat sederhana pun terlontarkan dari mulut Yusril untuk menghadang Hendarman. Yusril berdalih, posisi atau Jabatan Jaksa Agung adalah sebuah jabatan setingkat menteri yang sama dengan dirinya.

Sebagai pejabat setingkat menteri, seharusnya masa jabatan Jaksa Agung habis bersamaan dengan dilantiknya jajaran menteri-menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II, dengan demikian penetapan status tersangka terhadap dirinya dianggap tidak sah alias ilegal karena Presiden SBY saat itu tidak memberikan Surat Keputusan (SK) perpanjangan masa jabatan Jaksa Agung yang secara administratif telah habis bersamaan dengan pergantian jajaran menteri KIB II.  

Taufiqurrahman menegaskan kasus perseteruan antara Hendarman dan Yusril itu bisa dijadikan sebuah pembelajaran ditubuh KY, sebagai sebuah lembaga negara kepastian administrasi hukum sangat penting untuk menguatkan legal standing setiap pejabat negara yang memiliki tugas dan wewenang memimpin sebuah lembaga.

Dengan demikian, ia pun mendesak Presiden Jokowi memperhatikan legal standing lima komisioner KY yang baru saja dilantik di Istana Negara beberapa hari lalu itu. Menurutnya, Presiden Jokowi harus menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait dengan legalitas lima komisioner KY yang baru dilantik itu.

Dalam posisi seperti sekarang ini, lanjutnya, ada dua pilihan yang bisa diambil oleh pemerintah. Pertama, menerbitkan Perppu dengan menunjuk dua orang Plt. komisioner KY sampai pemerintah melantik dua komisioner yang baru untuk melengkapi lima komisioner periode 2015 – 2020 lainnya.

Kemudian, pilihan kedua adalah, pemerintah bisa saja tidak menunjuk dua orang Plt.Komisioner KY untuk mendampingi lima komisioner itu, Tapi dengan cara menerbitkan Perppu yang memperjelas legalitas hukum untuk menguatkan alasan pemerintah melantik lima orang komisioner yang baru itu dengan mengacu pada ketentuan UU KY yang menyatakan jumlah komisioner KY itu tujuh orang.

Hal itu dianggap penting agar kedudukan lima komisioner KY periode 2015 – 2020 yang sudah dilantik itu tidak akan dipersoalkan dikemudian hari oleh oknum-oknum hakim yang hendak meloloskan diri dari pemeriksaan pelanggaran kode etik.

"Jadi sebenarnya kami ini hanya ingin menjaga agar kasus seperti Hendarman Supandji (mantan Jaksa Agung) dan Yusril itu tidak terulang lagi. Karena sekarang ini sudah kadung dilantik 5 orang komisioner, jadi harusnya pemerintah segera mengeluarkan Perppu yang akan menjadi dasar hukum karena melantik lima orang Komisioner KY.” tegasnya.

TIDAK PERLU PERPPU - Namun pakar hukum tata negara Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Refly Harun mengatakan, pelantikan lima dari tujuh orang komisioner KY oleh Presiden Jokowi itu tidak perlu diikuti dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Menurut Refly, ia tidak menemukan urgensitas dilahirkannya Perppu yang dikatakan oleh Taufiq untuk menguatkan legal standing lima komisioner yang sudah resmi menjabat komisioner KY kemarin.

"Saya tidak sepakat kalau masalah yang begini ini Presiden harus mengeluarkan Perppu untuk memperpanjang komisioner yang lama. Untuk apa Perppu? Yang ada ini kan sudah dilantik, lalu kekurangan dua itu harus cepat diisi, begitu saja cukup," kata Refly  kepada gresnews.com.

Mantan staf khusus Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Era Jokowi ini menyayangkan pendapat Taufiqurrahman yang mendorong agar Presiden Jokowi menerbitkan Perppu untuk memperkuat legal standing lima orang komisioner KY yang baru dengan alasan undang-undang telah menetapkan jumlah pimpinan KY terdiri dari 7 orang komisioner. Meskipun dalam UU KY tidak mengatur secara detail batasan minimal pelantikan komisioner KY, tapi menurut Refly, alasan tersebut tidak dapat dibenarkan untuk menerbitkan Perppu.

Menurutnya, kasus pelantikan komisioner KY yang tidak sesuai dengan jumlah di dalam UU KY ini, kurang lebih sama halnya dengan pelantikan anggota DPR RI dan anggota DPD RI. Dalam undang-undang jumlah anggota DPR RI adalah 560 orang, sementara jumlah anggota DPD RI tercatat sebanyak 132 anggota. Ia meyakini, jumlah itu tidak sama persis dengan jumlah anggota parlemen yang dilantik tahun lalu.  

"Kalau karena pelantikan komisioner KY Presiden harus menerbitkan Perppu, lalu bagaimana dengan pelantikan anggota DPR dan DPD yang saya yakin tidak sesuai dengan angka yang disebut dalam undang-undang? mau Perppu juga? Kita ini memandang hukum itu jangan terlalu teknis begitu lah," ujarnya.

Ia pun meyakini, tanpa Perppu dari presiden, KY tidak akan mengalami masalah dalam menangani perkara atau kasus dugaan pelanggaran etik yang tengah ditanganinya. Sebab, kewenangan KY dalam menangani perkara etik hakim berbeda dengan menangani perkara pidana. "Kalau pun ada persoalan tidak terlalu signifikan persoalannya itu, ketimbang presiden harus membuat Perppu memperpanjang masa jabatan komisioner yang lama untuk mengisi kekosongan misalnya, kan makin repot saja," tegasnya.

Dalam kesempatan berbeda, Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Dwi Ria Latifa juga menyatakan tidak diperlukan adanya Perppu untuk payung hukum lima komisioner KY. Menurutnya, kelima komisioner itu sudah bisa bekerja menjalankan tugas-tugasnya tanpa perlu adanya Perppu. "Untuk apa Perppu itu? saya pikir kelimanya tidak memerlukan Perppu, mereka sudah bisa mulai bekerja kok," ujarnya kepada gresnews.com ditemui di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (22/12) lalu.

Ia menambahkan, saat ini sudah menerima dua nama calon komisioner KY dari pemerintah yang diserahkan oleh Tim Pansel KY beberapa waktu lalu, mereka adalah Aidul Fitriciada Azhari dan Jaja Ahmad Jayus. Aidul dikenal sebagai salah satu dosen di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), dan Jaja Ahmad juga memiliki background akademisi Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Bandung.

Ria menegaskan, pada masa persidangan awal tahun 2016 nanti, Komisi III DPR RI akan melanjutkan proses uji kelayakan atau fit and proper test terhadap keduanya untuk memenuhi jumlah 7 komisioner lembaga pengawas kode etik hakim itu.

"Kan sekarang masih reses, jadi masa sidang berikutnya kita akan melanjutkan fit and proper test terhadap dua nama lagi yang sudah diajukan oleh pemerintah melalui pansel kemarin kepada kita. Jadi sidang berikutnya kita bahas itu," tegasnya.

Diketahui sebelumnya, Oktober lalu, Komisi III DPR RI menolak dua dari tujuh nama calon komisioner KY yang diajukan Presiden Jokowi. Dua nama yang ditolak adalah Wiwiek Awiati dan Haryono. Wiwiek memiliki background sebagai akademisi di salah Perguruan Tinggi di Indonesia, sementara Haryono adalah mantan Hakim.

Dalam uji kepatutan dan kelayakan atau fit and propertest Komisi III DPR RI menolak keduanya karena dianggap tidak memenuhi unsur integritas sebagai pimpinan. Sementara, lima nama yang diterima dan kini sudah resmi menjabat sebagai komisioner KY adalah Maradaman Harahap, Sukma Violetta, Sumartoyo, Joko Sasmito, dan Farid Wajdi.

Dari kelima nama tersebut, unsur mantan hakim diwakili dua nama, yaitu Joko Sasmito yang tercatat sebagai mantan Hakim Pengadilan Militer, dan Maradaman Harahap yang dikenal sebagai mantan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Kota Semarang.

Sementara unsur praktisi hukum diwakili Sumartoyo dan Farid Wajdi yang berprofesi sebagai advokat. Nama terakhir, Sukma Violetta, mewakili unsur masyarakat dan memiliki latar belakang sebagai Tim Asistensi Reformasi Birokrasi Kejaksaan RI.

Untuk diketahui, lima komisioner KY yang sudah resmi menjabat periode 2015 – 2020 ini telah diwariskan setidaknya tiga perkara sidang etik Majelis Kehormatan Hakim (MKH) yang harus segera dilaksanakan oleh komisioner baru KY itu. Adapun tiga kasus itu terdiri dari dua sidang etik kasus dugaan korupsi dan satu sidang etik lainnya adalah kasus dugaan tindak asusila. Tiga perkara etik tersebut, tercatat sebagai terlapor melibatkan sejumlah hakim di pengadilan negeri. (Rifki Arsilan)

BACA JUGA: