JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materi atas Pasal 54 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati,dan/atau Walikota dan Wakil Walikota (UU Pilkada). Uji materi itu dilayangkan oleh calon Bupati Lampung Timur, Erwin Arifin.

Erwin merasa pasal yang mengatur pengguguran pasangan calon jika salah satunya mengalami halangan tetap atau meninggal dunia telah melanggar hak konstitusionalnya. Gara-gara ketentuan itu, Erwin yang merupakan calon petahana, tak bisa ikut pilkada karena calon wakilnya Prio Budi Utomo meninggal dunia.

Lantaran pilkada Lampung Timur sudah memasuki tahap kampanye, KPUD Lampung Timur langsung menggugurkan kepesertaan Erwin dengan merujuk pasal tersebut. Kebetulan pula tak ada halangan jika pasangan Erwin dan (almarhum) Prio digugurkan karena masih ada dua pasangan calon lainnya.

Persidangan dengan Nomor Perkara 140/PUU-XIII/2015 kali ini dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Maria Farida Indrati yang didampingi Hakim Wahiduddin Adams dan Hakim I Gede Dewa Palguna sebagai anggota pleno Majelis Hakim. Persidangan perdana UU Pilkada yang menggugurkan pasangan calon Bupati nomor urut 3 ini mengagendakan pembacaan permohonan pendahuluan.

Kuasa hukum Pemohon dari Badan Bantuan Hukum dan Advokasi (BBHA) DPP PDI Perjuangan Ridwan Darmawan mengatakan, ketentuan dalam Pasal 54 Ayat (5) UU Pilkada yang menyatakan calon pasangan Nomor urut 3, Erwin Arifin dan Priyo Budi Utomo (Alm) secara otomatis gugur dari kontestasi pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Lampung Timur itu telah merugikan kliennya.

Terlebih lagi, dalam aturan tersebut tidak memberikan ruang kepada calon bupati atau partai koalisi pengusungnya untuk menggantikan Calon Wakil Bupati yang berhalangan tetap karena meninggal dunia itu.

"Pemohon dalam hal ini calon Bupati Lampung Timur Saudara Erwin Arifin merasa dizalimi dan dirugikan oleh Pasal a quo, karena secara otomatis telah digugurkan kepesertaanya sebagai calon Bupati Lampung Timur tanpa diberikan hak untuk mengganti pasangan calonnya yang berhalangan tetap," kata Ridwan Darmawan, SH di muka persidangan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (24/11).

Ia menambahkan, frasa "pemilihan dilanjutkan dan pasangan calon yang berhalangan tetap dinyatakan gugur" dalam Pasal 54 Ayat 5, haruslah diterapkan secara hati-hati dan diupayakan secara sungguh-sungguh untuk diberikan kesempatan bagi partai pengusung pasangan calon atau pasangan calon yang masih hidup atau pemohon. "Seharusnya, pemohon berhak untuk mendapatkan pasangan pengganti dalam jangka waktu yang wajar dan tidak menghalangi proses tahapan pemilihan kepala daerah," tegasnya.

Selain itu, norma yang terdapat dalam Pasal 54 Ayat (5) itu dinilai tidak berlandaskan pada kaidah penyusunan pembentukan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan yakni asas keadilan. Padahal, dalam penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf g mengatakan, yang dimaksud dengan "asas keadilan" adalah setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.

Dalam Pasal a quo lanjut Ridwan, sama sekali tidak memberikan ruang bagi pemohon yang juga memiliki hak untuk dipilih sebagai Warga Negara Indonesia dalam pelaksanaan pemilihan calon Kepala Daerah atau Bupati. "Karena Pasal a quo telah menghilangkan pemenuhan hak pemohon yang telah diatur oleh konstitusi, yakni hak memilih dan dipilih," tegasnya.

Oleh karena itu, Ridwan meminta kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar menyatakan Pasal a quo sebagai pasal yang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena telah bertentangan dengan konstitusi yang diatur dalam UUD 1945. Ia pun mendesak agar Majelis Hakim MK dapat memprioritaskan penanganan perkara ini serta mengabulkan permohonan a quo.

Hal itu dianggap penting mengingat pelaksanaan Pilkada Serentak tinggal beberapa hari ke depan. Dengan demikian, potensi kerugian konstitusional yang akan dialami oleh pemohon sudah dapat dipastikan dalam Pasal 54 Ayat (5) tersebut. "Setidak-tidaknya klien kami dapat kepastian hukum yang adil dari Mahkamah," ujarnya menegaskan.

LEGAL STANDING PEMOHON – Menanggapi permohonan yang dibacakan kuasa hukum pemohon, Hakim Anggota I Gede Dewa Palguna mempertanyakan kerugian konstitusional yang dialami oleh pemohon dengan berlakunya Pasal 54 Ayat (5) UU Pilkada tersebut. Menurut Palguna, kerugian yang disampaikan oleh pemohon melalui kuasa hukumnya masih sebatas kerugian secara umum.

Alasannya, dalam permohonan disebutkan legal standing pemohon adalah sebagai Warga Negara Indonesia yang mencalonkan diri sebagai calon Bupati hanya mencantumkan kerugian secara global tentang konstitusi. Pemohon belum menjelaskan logika kerugian secara spesifik yang dialami oleh pemohon terhadap norma yang berlaku dalam Pasal a quo.

Dalam kesempatan yang sama, Hakim Anggota Wahiduddin Adams menegaskan, pihaknya memahami kerugian konstitusional yang dimaksud oleh pemohon atau kuasa pemohon dalam berkas pengajuan judicial review UU Pilkada ini. Hanya saja, ia menyarankan agar pemohon memperjelas kerugian yang langsung dialami oleh pemohon untuk memperkuat dalil kerugian konstitusi yang sudah dimasukkan oleh pemohon dalam berkas uji materi tersebut.

"Ini penting agar uji materi ini tidak sebatas sebagai konstitusional complain. Jadi tolong diperjelas kerugian-kerugian lebih rinci lagi ya," kata Wahiduddin di muka persidangan.

Selain itu, Hakim Mahkamah juga mempersoalkan legal standing para kuasa hukum pemohon yang mengatasnamakan Badan Bantuan Hukum dan Advokasi (BBHA) DPP PDI Perjuangan. Menurut Majelis, dalam persidangan berikutnya kuasa hukum yang namanya terdaftar sebagai kuasa pemohon dalam berkas uji materi ini harus mendapatkan atau membubuhkan tandatangan dari pemohon principal.

"Ini penting juga diperhatikan ya, saya mengerti anda ingin ini diproses cepat karena waktunya sudah mepet, tapi legal standing kuasa pemohon ini juga harus diperhatikan. Karena ini kan namanya banyak yang terdaftar kan, jadi tolong tandatangannya diberikan ya, karena kalau tidak kuasa hukum tidak bisa duduk di sini (ruang persidangan)," kata I Gede Dewa Palguna mengkritik kuasa hukum pemohon sesaat sebelum persidangan usai.

Majelis Hakim Maria pun mempersilahkan kepada kuasa hukum pemohon untuk memperbaiki permohonan uji materi dengan mempertimbangkan saran atau masukan dari hakim Mahkamah Konstitusi. Ia memberikan waktu maksimal 14 hari dari sekarang atau paling lambat (7/12) mendatang.

"Akan tetapi kalau bisa lebih cepat itu lebih baik. Karena mempertimbangkan waktu yang sudah semakin dekat dan sebagaimana permintaan pemohon agar bisa diprioritaskan tadi. Kalau bisa diselesaikan lebih cepat lebih bagus, siapa tahu nanti Mahkamah bisa mempertimbangkan untuk segera memproses sesuai keinginan pemohon tadi," kata Maria Farida sesaat sebelum menutup persidangan.

Menanggapi saran Hakim Mahkamah, salah satu kuasa hukum pemohon, Badrul Munir mengatakan, pihaknya menghormati saran dan masukan yang disampaikan oleh majelis hakim dalam persidangan. Menurutnya, pihaknya telah mencantumkan kerugian konstitusi yang dialami oleh kliennya atas diberlakukannya Pasal 54 Ayat (5) UU Pilkada itu.

Hanya saja Hakim Mahkamah meminta agar kuasa pemohon juga menambahkan kerugian secara langsung yang dialami oleh kliennya. Misalnya, kerugian ekonomi atau pun kerugian sosial atas pengguguran pencalonan terhadap Erwin Arifin akibat berlakunya Pasal 54 Ayat (5) UU Pilkada tersebut.

"Saya pikir itu saran yang bagus, dalam permohonan yang sudah kita ajukan itu memang sudah ada alasan yang normative formal ya, tetapi majelis hakim inginkan hal-hal yang lebih subjektif lebih kepada kerugian yang dirasakan calon, jadi hakim menginginkan yang lebih subjektif, lebih ke diri pemohon yang dirugikan. Kita akan mempertimbangkan saran-saran itu," kata Badrul Munir usai persidangan.

Lebih jauh ia jelaskan, kerugian normatif secara formal sudah dimasukkan dalam alasan pada pokok permohonan yang diajukannya. Menurutnya, alasan yang telah disampaikan adalah alasan yang sudah cukup logis menggambarkan pasal a quo bertentangan dengan konstitusional.

Badrul menjelaskan, dalam peraturan hukum perdata, jika seseorang berperkara karena force majeure, dia diberikan kelonggaran waktu, setelah force majeure itu selesai, baru dia diminta menyelesaikan kewajibannya. Ia pun menegaskan, kendati UU Pilkada ini berbeda dengan hukum bisnis perdata, seharusnya ketetapan dalam Pasal 54 Ayat (5) UU Pilkada tetap bisa merujuk pada ketentuan force majeure dalam peraturan hukum perdata yang berlaku di Indonesia.

Dengan demikian, hak untuk dipilih pasangan calon yang pasangannya meninggal dunia tidak serta merta hilang dan dapat diberikan waktu untuk melakukan pergantian pasangan calon yang berhalangan. "Padahal alasan berhalangan tetap itu kan salah satu bagian dari sesuatu yang sudah tidak bisa lagi ditolak oleh manusia, itu sudah kehendak Yang Maha Kuasa, sama halnya dengan force majeure," kata Badrul.

PERTIMBANGKAN LANJUT KE PTTUN – Badrul Munir mengatakan, selain mengajukan uji materi di MK, pihaknya akan mempertimbangkan mengajukan banding atas putusan Panwaslu Kabupaten Lampung Timur yang memenangkan KPUD Lampung Timur terkait gugatan yang dimohonkan oleh Calon Bupati Erwin Arifin ke Panwaslu beberapa hari lalu.

Menurut Badrul, dalam peraturan Bawaslu nomor 8 Tahun 2015 telah menyatakan bahwa sengketa di Panwas atau Bawaslu itu bisa dilanjutkan dengan proses banding di PT Tata Usaha Negara (PTTUN). "Tapi memang waktu kita sudah mepet ya, tapi kita tetap mempertimbangkan untuk itu," kata Badrul Munir.

Ditemui secara terpisah, Calon Bupati Lampung Timur, Erwin Arifin mengaku masih belum bisa memutuskan untuk melanjutkan upaya banding terhadap putusan Panwaslu Kabupaten Lampung Timur yang telah menguatkan SK KPUD Lampung Timur yang menggugurkan pencalonan pasangan Erwin Arifin–(alm) Prio Budi Utomo ke PTTUN.

Di satu sisi, kata Erwin, putusan Panwaslu Lampung Timur memang tidak mempertimbangkan norma-norma kerugian konstitusional yang dialami oleh dirinya yang secara tiba-tiba dicoret dari kontestasi pencalonan hanya karena pendampingnya berhalangan tetap atau meninggal dunia tanpa memberikan kesempatan untuk mengganti pendampingnya.

Ia mengakui ada pergeseran nilai atas putusan yang ditetapkan oleh Panwaslu Lampung Timur. Pergeseran yang dimaksud Erwin adalah, Panwaslu tidak mempertimbangkan bahwa selain pasangan calon yang berhalangan tetap, masih ada pasangannya yang saat ini masih bisa ikut serta dalam pemilihan.

"Nah, nilai atau norma-norma itu yang tidak dilihat oleh Panwaslu. Kan didalam UU Pilkada itu jika pasangan calon berhalangan tetap, tapi kan yang berhalangan tetap itu cuma satu orang, bukan kedua pasangan calon yang berhalangan atau meninggal. Tapi kenapa yang masih hidup tidak diberikan kesempatan untuk mencari pengganti,” kata Erwin kepada gresnews.com di Lobi Gedung Mahkamah Konstitusi.

Erwin menambahkan, pihaknya memang menyadari, bahwa masih ada kesempatan untuk melakukan banding ke PT TUN terhadap putusan Panwaslu Lampung Timur itu. Hanya saja, kata Erwin, proses di PT TUN itu adalah proses yang sudah dapat dipastikan memakan waktu yang tidak singkat.

Sementara, pelaksanaan Pilkada serentak perdana dalam proses demokrasi di Indonesia sudah dalam hitungan hari, tepatnya sekitar 15 hari kedepan. Sehingga ia mengaku akan fokus pada tahapan yang saat ini tengah berjalan di MK.

"Proses PTTUN sangat lama, kita masukan itu belum tentu seminggu bisa sidang. Saya fikir itu hanya menghabis-habiskan waktu saja. Saya fikir saat ini bolanya ada di MK ini, jadi kalau pun ingin yurisprudensi yaa di Mahkamah Konstitusi ini," ujar Erwin menegaskan.

Sebagaimana diketahui, pasangan calon bupati Lampung Timur nomor urut 3, Erwin Arifin-(alm) Prio Budi Utomo telah dicoret dari kontestasi peserta calon Pilkada 9 Desember mendatang. Pasangan yang diusung oleh koalisi partai PDI Perjuangan, PKS, dan PAN itu dinyatakan gugur lantaran pendamping calon bupati Erwin, Prio Budi meninggal dunia karena sakit yang dideritanya beberapa waktu lalu.

Alasan KPUD Lampung Timur mencoret calon Bupati Erwin berdasarkan Pasal 54 Ayat (5) UU Pilkada. Pasal itu berbunyi: "Dalam hal pasangan calon berhalangan tetap pada saat dimulainya kampanye sampai hari pemungutan suara dan terdapat 2 (dua) pasangan calon atau lebih, tahapan pelaksanaan Pemilihan dilanjutkan dan pasangan calon yang berhalangan tetap tidak dapat diganti serta dinyatakan gugur."

Selain itu aturan lain yang mengatur pasangan calon Erwin-Prio Budi dicoret juga diatur dalam Pasal 83 Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Pencalonan Pemilihan Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, dan/atau Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota.

Pasal 83, yang menyatakan:

1. Dalam hal pada saat dimulainya kampanye sampai dengan hari pemungutan suara terdapat pasangan calon yang berhalangan tetap, tetapi masih terdapat 2 (dua) pasangan calon atau lebih, KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota melanjutkan tahapan Pemilihan.

2. Calon atau pasangan calon yang berhalangan tetap sebagaimana dimaksud Ayat (1) dinyatakan gugur dan tidak dapat diajukan calon atau pasangan calon pengganti.

3. Calon atau pasangan calon yang dinyatakan gugur sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) ditetapkan dengan keputusan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. (Gresnews.com/Rifki Arsilan)

BACA JUGA: