JAKARTA, GRESNEWS.COM — Dalam tiga bulan belakangan ini, pihak Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Banda Aceh telah menggelar beberapa kali eksekusi hukuman cambuk bagi para pelanggar Qanun (peraturan daerah) Nomor 6 tahun 2014 tentang Jinayah (pidana). Para pelanggar umumnya terjerat masalah kesusilaan yaitu melakukan ikhtilat (bermesraan) dengan bukan muhrimnya.

Pada Senin 1 Agustus lalu misalnya, pihak Wilayatul Hisbah melaksanakan hukuman cambuk bagi tiga pasangan yang tertangkap basah melakukan ikhtilat. Pasangan yang rata-rata masih belia itu (berusia antara 18-24 tahun) dikenakan hukuman cambuk sebanyak 14 kali. Pelaksanaan hukuman cambuk ini sempat mendapatkan kritik setelah seorang terhukum perempuan jatuh pingsan setelah dicambuk.

Toh, itu tak menyurutkan penegak hukum untuk melaksanakan hukuman serupa. Pada Senin 17 Oktober kemarin, pihak Wilayatul Hisbah kembali menjalankan hukuman cambuk terhadap 13 orang pelaku ikhtilat. Satu terhukum tak menjalankan eksekusi karena sedang hamil 3 bulan.

Dalam eksekusi yang dilaksanakan di halaman Masjid Baiturrahman, Kampung Kramat, Banda Aceh, itu, para terhukum menjalani hukuman cambuk sebanyak 21 kali. "Hukuman cambuk tersebut untuk efek jera dan pembelajaran bagi masyarakat yang melanggar hukum syariat Islam," kata Wakil Walikota Banda Aceh Zainal Arifin kepada wartawan.

Meski demikian, kritik terhadap pelaksanaan Qanun Jinayah ini tetap saja mengalir. Setahun setelah diberlakukan, pelaksanaan qanun ini, terutama hukuman cambuk dinilai tidak menimbulkan efek jera, melainkan dampak trauma dan kekerasan lebih lanjut. Hukum cambuk juga dinilai merupakan sebuah pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan, dasar dari sikap kritis yang ditunjukkan ICJR terhadap pelaksanaan hukuman cambuk adalah karena hukuman itu telah melampaui batas-batas pelaksanaan hukuman yang diakui secara nasional. “Pada dasarnya kita tidak menolak qanun atau Perda Aceh. Namun ada batas-batas di mana ada hal yang tidak boleh dilanggar, yakni hukum lokal tidak boleh melewati hukum nasional,” kata Supriyadi kepada gresnews.com, Senin (24/10).

Supriyadi menambahkan, hukuman pidana yang diakui secara nasional adalah penjara atau kurungan serta hukuman mati. Sedangkan hukuman cambuk yang tergolong hukuman badan, secara tegas tidak diakui dalam sistem pemidanaan di Indonesia. "Itu catatan kritisnya," kata Supriyadi.

Supriyadi lalu menjelaskan, hukuman cambuk termasuk dalam kategori penyiksaan, hukuman kejam tidak manusiawi, serta merendahkan martabat. Hukum cambuk dan bentuk penghukuman lain yang sejenis itu diatur dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Jenis hukuman itu juga termasuk hukuman yang dilarang dalam Konvensi Internasional Melawan Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat (CAT).

Indonesia sendiri termasuk negara yang meratifikasi kedua kesepakatan internasional tersebut. Selaku salah satu anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi Kebijakan Diskriminatif, Supriyadi menyebut, ICJR merekomendasikan bentuk hukuman seperti denda dengan menggunakan emas—yang dapat membuat orang merasa rugi secara ekonomi— atau menjebloskannya ke penjara—untuk membatasi kebebasannya— sebagai bentuk pelaksaan hukuman pidana di Aceh pengganti hukum cambuk.

Disinggung bahwa ketentuan hukum cambuk bertolak dari praktik hukum Islam, dan hukum itu kemudian diadopsi Pemerintah Aceh, Supriyadi menilai, di Indonesia pelaksanaan hukuman semacam itu tetap mesti didasarkan pada konstitusi. "Tetap saja yang namanya orang Islam di Indonesia dasarnya konstitusi. Konstitusi kan tidak ada mengatakan boleh dicambuk," kata Supriyadi.

Supriyadi kembali menegaskan, apa pun alasan dasar aturan perda, itu tidak boleh melabrak UUD. "Konstitusi kita bagaimanapun diejawantahkan dalam Undang-undang Dasar (UUD). Sementara ini hukuman cambuk-red) kan hanya perda," pungkasnya.
TIDAK BERTENTANGAN — Berbeda pandangan dengan ICJR, pakar hukum tata negara Margarito Kamis menilai, hukuman cambuk yang diberlakukan di Aceh tidak bertentangan dengan UUD 1945. Alasan pokoknya, lantaran hal itu berkaitan erat dengan kedudukan Aceh sebagai sebuah Daerah Istimewa.

"Dalam UUD dinyatakan bahwa daerah-daerah tertentu bisa dikualifikasikan sebagai daerah istimewa, dan dengan keistimewaan itu dia juga diberikan kewenangan mengatur perda-perda untuk melaksanakan keistimewaannya." kata Margarito saat dihubungi gresnews.com, Senin (24/10).

Margarito juga menjelaskan, dirinya tidak melihat pertentangan antara Qanun Jinayah dengan UUD 1945 lantaran keberadaan Qanun Jinayah sebagai perda sudah dilegitimasi oleh Pasal 18 UUD 1945 tentang Pemerintahan Daerah. Sebagai perbandingan, Margarito pun mencontohkan aturan yang berlaku di Daerah Istimewa lainnya, yakni Yogyakarta.

"Coba sebutkan, hukum nasional apa yang dapat membenarkan praktik pengangkatan gubernur dan praktik pemerintahan di Yogya? Apa dasarnya?," kata Margarito.

Dalam konteks Yogya, meski dalam UUD 1945 disebut bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kedudukan yang sama di muka hukum, namun hal tersebut tidak berlaku dalam konteks menjadi gubernur DIY. Tidak setiap orang berhak mencalonkan diri menjadi gubernur. Gubernur DIY mesti berasal dari kalangan Keraton. Namun demikian, hingga saat ini, seluruh masyarakat menerima dan mengakui aturan tersebut sebagai aturan yang tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Margarito lalu menjelaskan, dalam konteks Daerah Istimewa, Perda yang disusun mesti disesuaikan dengan karakteristik daerah tersebut. Adapun mengenai Aceh, daerah paling barat di Indonesia itu mendapat keistimewaan lantaran peran dan sejarahnya di masa lalu. Aceh merupakan pintu masuknya Islam di wilayah Nusantara.

Selain itu, kata Margarito, atas dasar jihad pula rakyat Aceh punya peran penting dalam mengusir penjajah Belanda dari Indonesia. Lantaran hal itulah Margarito melihat, unsur-unsur keislaman merupakan unsur pokok yang menjadikan Aceh istimewa, dan hukum cambuk yang notabene merupakan bagian dari hukum Islam merupakan bagian di dalamnya.

"Di situlah letaknya. Dan di situlah letak rasionalitas konstitusional Pasal 18 yang diberikan kepada mereka. Jadi tidak ada yang salah," kata Margarito.  

Qanun nomor 6 tahun 2014 yang diresmikan Pemerintah NAD pada (23/10/2015) lalu disusun untuk menyempurnakan qanun Syariat Islam yang memuat tujuh pelanggaran syariat yang belum disebutkan dalam qanun nomor 11, 12, 13 dan 14 yang sudah berlaku sebelumnya. Pada qanun sebelumnya, pelanggaran yang sudah disebut antara lain khamar (minum-minuman beralkohol), maisir (perjudian), dan khalwat (berduaan dengan non-muhrim di tempat tertutup atau sunyi).

Sedang pada qanun terbaru, pelanggaran lain yang disebut kemudian antara lain perzinaan, praktik liwath (homoseksual), musahaqah (lesbian), ikhtilat (bercumbu tanpa ikatan nikah), qadzaf (menuduh orang berzina tanpa disertai saksi), pelecehan seksual, dan pemerkosaan.
 
Dalam pantaun ICJR, dari Januari hingga September 2016, Mahkamah Syariah Aceh paling tidak telah memutuskan 221 putusan perkara jinayat. Adapun 5 daerah paling banyak yang memutus perkara jinayat yakni Banda Aceh (40 perkara), Kualasimpang (29 perkara), Kutacane (24 perkara), Blangkejeren dan Jantho (masing-masing 21 perkara), dan Langsa (17 perkara). (Gresnews.com/Zulkifli Songyanan/dtc)

BACA JUGA: