JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menjadwalkan pengesahan RUU Kelautan menjadi Undang-Undang Kelautan pada Senin (29/9) besok. Menanggapi bakal disahkannya RUU ini, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menilai, intensi atau tujuan pengesahan RUU Kelautan ajan tepat jika arahnya ingin mengatasi pengelolaan sumber daya laut yang selama ini sektoral.

Sayangnya hal itu sama sekali belum terlihat dari draft terakhir RUU ini. Dalam naskah RUU Kelautan tertanggal 15 Agustus 2014, pembangunan bidang kelautan difokuskan pada tujuh sektor utama, yaitu: perhubungan laut, industri maritim, perikanan, pariwisata bahari, energi dan sumber daya mineral, bangunan kelautan, dan jasa kelautan.

Sekjen KIARA Abdul Halim menilai, pembagian seperti ini masih menunjukkan adanya ego sektoral dalam pengelolaan kelautan. "Egosektoral di bidang kelautan adalah persoalan kronis yang harus dipastikan teratasi dengan lahirnya UU Kelautan," ujarnya kepada Gresnews.com, Minggu (28/9).

Ia juga menyayangkan masih terdapat pasal karet yang melonggarkan praktek pencemaran laut dengan menyebut prinsip pencemar membayar (polluter pays) dan kehati-hatian di dalam Pasal 40 ayat (3). "Semestinya RUU Kelautan ini memperkuat upaya melestarikan laut yang tidak diatur di UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)," kata Halim menegaskan.

Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mendefinisikan prinsip pencemar membayar (polluter pays) sebagai: "pencemar harus menanggung biaya langkah-langkah untuk mengurangi polusi sesuai dengan tingkat kerusakan yang dilakukan, baik kepada masyarakat atau melebihi dari tingkat yang dapat diterima (standard yang diatur oleh UU PPLH)".

Dengan perkataan lain, kata Halim, RUU Kelautan tidak menjawab persoalan pencemaran laut yang selama ini menjadi ancaman serius bagi laut dan masyarakat pesisir di Indonesia.

Tabel 1. Klausul mengenai Pencemaran Laut UU PPLH dan RUU Kelautan

UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH
RUU Kelautan
Pasal 20 ayat (3)

Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan: a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan

b. mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan

kewenangannya.

Pasal 60

Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin.

Pasal 61

(1) Dumping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 hanya dapat dilakukan dengan izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

(2) Dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi yang telah ditentukan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan dumping limbah atau bahan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
 
Pasal 40

(1)      Pencemaran laut meliputi:

a.       pencemaran yang berasal dari daratan; dan

b.       pencemaran yang berasal dari kegiatan di laut.

(2)      Pencemaran laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terjadi:

a.       di perairan yurisdiksi Indonesia;

b.       dari luar perairan yurisdiksi Indonesia; atau

c.       dari dalam perairan yurisdiksi Indonesia keluar perairan yurisdiksi Indonesia.

(3)      Proses penyelesaian sengketa dan penerapan sanksi pencemaran laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan berdasarkan prinsip pencemar membayar dan prinsip kehati-hatian.

(4)      Ketentuan lebih lanjut mengenai proses penyelesaian dan sanksi terhadap pencemaran laut dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (September 2014), diolah dari Naskah RUU Kelautan tertanggal 15 Agustus 2014 dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH

Tabel di atas, menurut Halim, menunjukkan masih adanya pembolehan membuang limbah ke media lingkungan, termasuk laut, dengan seizin pemerintah, tanpa partisipasi masyarakat melalui prinsip FPIC (free, prior, inform, consent).

Karena itu, bertolak dari hal di atas, KIARA meminta DPR RI bersama dengan pemerintah untuk menuntaskan pembahasan RUU Kelautan terlebih dahulu, khususnya menyangkut pencemaran laut, dengan memastikan larangan dan sanksi berat bagi  pelaku pencemar laut, sebelum melakukan pengesahan.

"Karena hal tersebut menyangkut hajat hidup masyarakat nelayan dan mereka yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, seperti yang terjadi di Laut Timor," ujar Halim.

Sementara itu, Komisi IV DPR sendiri tampaknya sudah cukup puas dengan draft RUU Kelautan yang ada. Mereka berharap, kehadiran RUU ini dalam rangka menyongsong keinginan Pemerintah untuk membangun poros maritim,  yang harus ada payung hukumnya.

"RUU ini penting untuk mengkoordinir dan mengatur tata ruang laut di atas 12 mil, RUU ini juga akan menjadi cikal bakal untuk mengatur negara Indonesia sebagai negara maritim. UU Kelautan memayungi 21 UU yang terkait kelautan serta mengkordinasi 17 kementerian dan lembaga yang menangani sektor kelautan. UU Kelautan penting bisa mengkoordinasi kementerian yang ada," kata Wakil Ketua Komisi IV Firman Subagyo (F-PG), seperti dikutip situs dpr.go.id beberapa waktu lalu.

Firman menjalaskan RUU ini sudah dibahas sejak tahun 2011 yang merupakan inisiatif DPD RI, dimana lembaga ini mempunyai kewenangan untuk mengajukan terhadap RUU. Menurutnya, pembahasan naskah akademis sudah disiapkan oleh DPD RI dan kemudian sudah dilakukan harmonisasi oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan Badan Musyawarah (Bamus) memberikan mandat kepada Komisi IV, yang kemudian membahasnya bersama Pemerintah Dan DPD RI.

Selain mengatur tujuh sektor utama di atas, RUU Kelautan juga mengamanatkan, pembentukan Kementerian Koordinator Maritim atau Kelautan, dan pembentukan badan tunggal yang menangani pertahanan-keamanan, keselamatan dan penegakan hukum di laut.

BACA JUGA: