JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengesahan RUU Pilkada yang menegaskan kembalinya kewenangan DPRD untuk memilih kepala daerah dalam hal ini gubernur, masih saja mengundang kekecewaan banyak pihak. Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia menilai, disahkannya RUU Pilkada merupakan bentuk "pembunuhan berencana" terhadap demokrasi di Indonesia.  

"Hal tersebut dapat dilihat sejak polemik pembahasan RUU Pilkada pasca Pilpres hingga ke drama politik Sidang Paripurna DPR RI," kata Wasekjen KIPP Indonesia Girindra Sandino dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Minggu (28/9).

Dalam proses pengesahan itu, Girindra juga menyoroti peran Partai Demokrat yang dinilainya telah menipu rakyat dengan tidak sungguh-sungguh memperjuangkan apa yang menjadi pilihannya, yakni pilkada langsung.

"Padahal ekspetasi publik terhadap Partai Demokrat begitu tinggi, namun dengan walk outnya Partai Demokrat di Sidang Paripurna DPR RI menunjukkan bahwa memang Demokrat sebagai partai yang selalu bermuka dua," ujar Girindia.

Dia mengaku sebelumnya KIPP sempat mengapresiasi Edhie Baskoro Yudhoyono yang akrab disapa Ibas, Sekjen Partai Demokrat, yang sempat menggebu-gebu menyatakan mendukung pilkada langsung. "Namun sejatinya dia sama saja dengan anak manja atau anak Babe yang belum bisa memegang omongannya," kata Girindra menegaskan kekecewaannya.

Dia menilai, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, yang sebelum RUU Pilkada disanjung, bahkan dijuluki Bapak Demokrasi Indonesia karena mendukung pilkada langsung, tak perlu pura-pura plin-plan dari USA. "Jelas hal ini hanya pencitraan saja," kata Girindra tegas .

KIPP Indonesia menegaskan, SBY sebagai produk demokrasi langsung akan dikenang di akhir masa pemerintahannya sebagai Bapak Anti Demokrasi. "Seharusnya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, apalagi sebagai kepala negara, bisa mendengar suara rakyat yang mengiginkan Pilkada langsung. Gerakan Partai Demokrat di Paripurna RUU Pilkada, bisa disebut G/25/S/Demokrat, untuk memberhangus demokrasi," ujar Girindra.

KIPP Indonesia, menurut Girindra, bersama koalisi dan elemen-elemen masyarakat sipil lainnya akan bergabung untuk melakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.

Menanggapi berbagai tudingan dan hujatan yang mengarah kepada dirinya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengaku kecewa terhadap sikap partainya. Presiden menyatakan berat bagi dirinya untuk menandatangani Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) yang disetujui oleh DPR-RI melalui pemungutan suara pada rapat paripurna yang berakhir hingga Jumat (26/9) dinihari, karena UU itu sangat bertentangan dengan UU Pemerintah Daerah (Pemda).

"Bagi saya, berat untuk menandatangani UU Pilkada oleh DPRD, manakala masih memiliki pertentangan secara fundamental, konflik dengan UU yang lain. Misalnya, UU tentang Pemda," kata Presiden SBY seperti dikutip situs setkab.go.id, Sabtu (27/8).

Sebagai Presiden RI, SBY menilai, UU Pilkada sangat bertentangan dengan UU Pemerintah Daerah, khususnya pada klausul atau pasal-pasal yang mengatur tentang tugas, fungsi, dan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Selain itu, lanjut Presiden SBY, UU Pilkada juga tidak sesuai dengan UU yang mengatur tentang DPRD, yang tidak memberikan kewenangan kepada DPRD untuk memilih kepala daerah. Karena itu, SBY menilai UU Pilkada ini akan sulit dieksekusi.

Menurut Presiden SBY, ia masih menunggu laporan situasi yang terjadi di DPR dalam proses pengambilan keputusan terhadap UU Pilkada tersebut, dan akan memberikan tanggapan lebih lengkap lagi sesudah itu. Namun demikian, Presiden SBY berharap capaian demokrasi di Indonesia selama satu dekade ini tidak mengalami kemunduran hanya karena pemilihan kepala daerah secara tidak langsung atau melalui DPRD.

"Saya pribadi tidak ingin ada kemunduran. Di era kepresidenan saya, sebetulnya selain presiden dan wapres dipilih langsung, juga bupati, wali kota, dan gubernur. Itu pilihan saya, saya tidak pernah berubah," tegas Presiden SBY.

BACA JUGA: