JAKARTA, GRESNEWS.COM - Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta akan memutus perkara kasus sengketa Pilkada Lebak dengan terdakwa Gubernur Banten non aktif Ratu Atut Chosiyah. Indonesian Corruption Watch (ICW) mendesak Majelis Hakim menghukum Atut dengan pidana maksimal yaitu 15 tahun penjara dan denda sebesar Rp750 juta rupiah.

Koordinator Advokasi ICW Emerson Yuntho mengatakan, ada lima alasan mengapa Atut pantas dihukum maksimal. Pertama, Ratu Atut sebagai Gubernur Banten seharusnya menjadi contoh yang baik bagi warga Banten. Namun yang terjadi sebaliknya menjadi contoh yang buruk bagi warga banten dan mencoreng nama baik Pemerintah Provinsi Banten.

Kedua, tindakan Atut tidak sejalan dengan program pemerintah khususnya program pemberantasan korupsi. Alih-alih ikut  memberantas korupsi,  yang dilakukan Ratu Atut justru terlibat dalam perkara korupsi.

Dan ketiga, politisi partai Golkar ini melanggar komitmen antikorupsi yang pernah ditandatangani dan didorongnya sendiri. Atut adalah salah satu dari 22 Kepala Daerah bersama KPK pernah menandatangani Deklarasi Antikorupsi pada 9 Desember 2008 yang salah satu intinya menyatakan tidak akan melakukan korupsi.

"Lalu pada 20 Maret 2012, Ratu Atut selaku Gubernur Banten pernah menghimbau seluruh kepala daerah di Banten untuk mencegah KKN dilingkungan birokrasi pemerintah Provinsi Banten," ujar Eson melalui rilisnya kepada Gresnews.com, Minggu (31/8) malam.

Keempat, suap yang dilakukan Ratu Atut kepada Akil Mochtar, bukan sekedar suap kepada pejabat negara biasa. Akil yang kala itu adalah seorang hakim MK punya peran besar dalam proses penegakan hukum serta upaya mengangkat citra penegak hukum di mata masyarakat. Karenanya perbuatan Ratu Atut juga berimbas pada runtuhnya kepercayaan masyarakat pada penegakan hukum dan nilai negara hukum.

Kelima, perbuatan Atut merusak  proses demokrasi khususnya di Lebak Banten. Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) merupakan salah satu proses membangun demokrasi di negeri ini. Tindakannya menyuap Akil Mochtar dalam proses sengketa Pilkada pada akhirnya memberikan dampak buruk rusaknya demokrasi yang dibangun khususnya di daerah Banten.

"Dengan hukuman yang maksimal untuk Ratu Atut diharapkan dapat memotong mata rantai atau bahkan mengakhiri dinasti keluarga dan kolega Ratu Atut di wilayah Banten," kata Emerson.

Sudah bukan rahasia umum selama ini keluarga maupun kolega Ratu Atut menguasai hampir sebagian jabatan kepala daerah maupun posisi penting yang ada di wilayah Banten.
Politik Dinasti yang dibangun tidak didasarkan pada semangat demokrasi dan lebih kepada mempertahankan maupun memperluas kekuasaan dinasti keluarga, demi menguntungkan segelintir orang dan menyengsarakan rakyat di wilayah Banten.

Sementara itu pengacara Atut, Tubagus Sukatma mengatakan kliennya menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Hakim dan berharap mendapatkan putusan yang adil dengan memperhatikan fakta persidangan dari keterangan para saksi sebelumnya. "Beliau pasrah dan hanya bisa berdoa,  dan menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Hakim," kata Tubagus Sukatma saat dihubungi, Minggu (31/8) malam.

Ketika ditanya apakah akan mengajukan banding seperti yang dilakukan adik Atut, Tubagus Chaeri Wardhana (Wawan) yang diputus bersalah dan dihukum lima tahun, Sukatma enggan berspekulasi. Pihaknya akan menunggu keputusan Majelis Hakim dan melihat pertimbangan hukum yang dikemukakan Majelis Hakim Tipikor.

BACA JUGA: