JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali tampak tenang ketika memasuki ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Senin (31/8) kemarin. Dia sepertinya yakin betul bisa mematahkan berbagai dakwaan yang akan dibacakan Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi pada persidangan perdana kasus korupsi pengelolaan dana haji tahun 2010-2013 serta dana operasional menteri tersebut.

Dalam persidangan itu, SDA--begitu dia biasa disapa-- didakwa melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan negara sebesar Rp27 miliar dan Saudian Real (SR) 17,96 juta atau setara dengan Rp54 miliar. Dalam surat dakwaannya, Jaksa KPK menyebutkan, Suryadharma telah melakukan kongkalikong dengan sejumlah anggota DPR yang kesemuanya berasal dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hingga pengawal pribadi istrinya untuk memuluskan aksinya itu. Kebetulan, SDA ketika itu memang menjabat sebagai ketua umum partai berlambang Ka´bah tersebut.

Anggota DPR yang dimaksud adalah Mukhlisin yang berasal dari Komisi VI dari daerah pemilihan Jawa Tengah II, kemudian mantan Ketua Fraksi PPP yang saat ini duduk di Komisi III DPR RI Hasrul Azwar. Kemudian juga ada Ermalena yang merupakan anggota DPR RI Komisi IX, dan terakhir pengawal pribadi istrinya, yaitu Mulyanah Acim.

"Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan rangkaian beberapa kejahatan," kata Jaksa KPK Supardi.

Jaksa juga mengurai perbuatan yang dilakukan Suryadharma dalam melakukan korupsi. Pertama, yaitu menunjuk orang-orang tertentu yang tidak memenuhi persyaratan menjadi petugas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) di Arab Saudi. Kedua mengangkat Petugas Pendamping Amirul Hajj yang tidak sesuai ketentuan.

Selanjutnya ia juga didakwa menggunakan Dana Operasional Menteri (DOM) yang tidak sesuai dengan peruntukannya, mengarahkan Tim Penyewaan Perumahan Jamaah Haji Indonesia di Arab Saudi untuk menunjuk penyedia perumahan di Arab Saudi yang tidak sesuai ketentuan. SDA juga didakwa memanfaatkan sisa kuota haji nasional tidak berdasarkan prinsip keadilan dan proporsionalitas.

Kemudian, ia juga didakwa memperkaya diri sendiri, orang lain dan korporasi sehingga merugikan negara. Mereka yang didakwa telah diuntungkan adalah Cholid Abdul Latief Sodiq Saefudin, Mukhlisin, Hasrul Azwar, Hasanudin Asmat, Nurul Iman Mustofa, Fuad Ibrahim, 180 petugas PPIH dan 7 orang pendamping Amirul Hajj.

"Serta memperkaya korporasi penyedia akomodasi di Arab Saudi, yaitu 12 majmuah (konsorsium) 5 hotel transito yang dapat merugikan keuangan negara sejumlah Rp27,28 miliar dan SR17,96 juta," terang jaksa Supardi.

PENUNJUKAN PPIH HAJI 2010-2013 - Dalam salah satu dakwaannya, jaksa menyebut, SDA melakukan penunjukan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) yang tidak kompeten. Padahal penunjukan PPIH yang bertugas memberikan pembinaan, pelayanan dan perlindungan kepada jamaah haji Indonesia itu dibiayai oleh duit negara.

Dalam rangka pembentukan PPIH Arab Saudi tahun 2010-2013 SDA memerintahkan Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) kala itu Slamet Riyanto untuk menerbitkan Surat Keputusan  tentang Petunjuk Teknis Penyiapan dan Pedoman Rekrutmen Petugas Haji Indonesia yang mengatur persyaratan umum sebagai PPIH Arab Saudi.

"Diantaranya adalah harus Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian/Instansi terkait dan diusulkan oleh pimpinan Instansi/Unit terkait, serta harus melalui mekanisme tes dan pembekalan," ujar jaksa Supardi.

Pada 2010, bertepatan dengan proses pembahasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) di DPR-RI, Slamet menerima permintaan dari Anggota Panitia Kerja (Panja) Komisi VIII DPR-RI agar mengakomodir orang-orang yang direkomendasikan untuk dapat menunaikan ibadah haji gratis dengan menjadi Petugas PPIH Arab Saudi. Permintaan tersebut kemudian dilaporkan kepada Suryadharma Ali yang ternyata mengakomodir permintaan Anggota Panja Komisi VIII DPR-RI itu.

Padahal seharusnya penunjukan Petugas PPIH Arab Saudi harus memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Pedoman Rekrutmen. Suryadharma pun dianggap telah melanggar ketentuan yang telah dibuatnya sendiri.

Slamet lantas menyuruh anak buahnya Ahmad Kartono yang menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) memasukkan nama yang direkomendasikan Panja Komisi VIII DPR RI, diantaranya Nasrul Fuad, Wahyu Suryanto, Mohamad Thohir, Soenarso Minggu, Rijal Fikri Hakim Hasibuan, Syamsuar Muhammad Ali dan beberapa orang lainnya. Pada 2010 saja, negara sudah membayar cukup besar untuk membiayai sejumlah orang yang ditunjuk sebagai PPIH tanpa melalui peraturan yang berlaku.

"Ahmad Kartono membayarkan biaya operasional berupa uang harian dan transport yang besumber dari APBN kepada 37 PPIH yang ditunjuk terdakwa seluruhnya berjumlah Rp2,55 miliar," pungkas jaksa Supardi.

Kejadian ini kembali terulang pada 2011. SDA kembali memerintahkan anak buahnya untuk memasukkan sejumlah orang sebagai petugas PPIH sesuai permintaan anggota dewan. Uang negara yang keluar pada tahun itu sekitar Rp2,83 miliar untuk 40 PPIH.

Pada 2012 Suryadharma Ali memberhentikan Slamet Riyanto dan menggantikannya dengan Anggito Abimanyu selaku Dirjen PHU. Anggito pun tidak dapat berbuat banyak dan mengikuti "alur" yang ada dengan mengakomodir permintaan anggota DPR. Uang negara pada 2012 yang dikeluarkan sekitar Rp2,82 miliar dan pada 2013 kejadian ini terus berlanjut dan negara mengeluarkan uang sekitar Rp4,565 miliar.

DOM UNTUK KEPENTINGAN PRIBADI - Suryadharma Ali selaku Menteri Agama sekaligus sebagai Pengguna Anggaran (PA) pada Kementerian Agama, mendapatkan Dana Operasional Menteri (DOM) yang bersumber dari APBN. SDA memperoleh dana sebesar Rp100 juta per bulan untuk menunjang kegiatan yang bersifat representatif, pelayanan, keamanan dan biaya kemudahan serta kegiatan lain guna melancarkan pelaksanaan tugas sebagai menteri.

Dana tersebut dikelola dalam Daftar Isian Penggunaan Anggaran (DIPA) Sekretariat Jenderal Kementerian Agama RI. Untuk mengelola anggaran Kementerian Agama RI termasuk DOM, SDA menetapkan pejabat penggelola keuangan pada Sekretariat Jenderal antara lain Bachrul Hayat selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Abdul Ghany Abubakar selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) tahun 2011 serta Burhanuddin selaku PPK tahun 2012-2014.

Setiap bulan PPK melakukan pencairan DOM sejumlah Rp100 juta kemudian diserahkan kepada Sefudin A Syafi´i selaku Kepala Bagian Tata Usaha Pimpinan dan Amir Ja´far selaku Kasubag TU, sedangkan pengelolaan secara teknis dilakukan oleh Rosandi.

Dalam dakwaannya Jaksa KPK lainnya, Abdul Basir mengatakan, setelah DOM dicairkan oleh PPK, SDA memerintahkan Rosandi atau Saefudin atau Amir Ja´far, untuk membayarkan sebagian DOM kepada pihak-pihak tertentu di luar tujuan diberikannya DOM dengan cara ditransfer melalui beberapa rekening bank yang telah ditentukan olehnya.

Abdul Basir memaparkan, dari hasil penyidikan diketahui DOM tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi SDA, antara lain:

a. Membayar pengobatan anak Terdakwa sejumlah Rp12,435 juta

b. Membayar biaya pengurusan visa, membeli tiket pesawat, pelayanan di bandara, transportasi dan akomodasi untuk dirinya, keluarga dan ajudannya ke Australia, diantaranya untuk mengunjungi anaknya yakni Sherlita Nabila yang sedang menempuh pendidikan di Australia sejumlah Rp226,833 juta.

c. Membayar transportasi dan akomodasi dirinya, keluarga dan ajudan dalam rangka liburan dan  kepentingan lainnya di Singapura sejumlah Rp95,375 juta

d. Diberikan kepada saudara kandungnya bernama Titin Maryati sejumlah Rp13,11 juta

e. Membayar visa, transportasi dan akomodasi, serta uang saku bersama istrinya bernama Wardatul Asriyah, anaknya Kartika dan Rendika, serta sekretaris/staf pribadi istrinya yakni Mulyanah Acim dalam rangka pengobatannya ke Jerman sejumlah Rp86,73 juta

f. Dipakai biaya tes kesehatan dan membeli alat tes narkoba untuk isteri, anak dan menantu dalam rangka pemilihan anggota legislatif sejumlah Rp1,995 juta

g. Dipergunakan untuk membayar pajak pribadi Tahun 2011, langganan TV kabel, internet, biaya perpanjangan STNK Mercedes Benz, pengurusan paspor cucunya, diberikan kolega dan untuk kepentingan pribadi lainnya yang seluruhnya sejumlah  Rp936,65 juta

h. Digunakan untuk membayar biaya pengurusan visa, membeli  tiket pesawat, pelayanan di bandara, transportasi dan akomodasi dirinya dan keluarga ke Inggris sejumlah Rp51,976 juta.

Selain itu Suryadharma juga menggunakan DOM untuk diberikan kepada pihak lain yang tidak sesuai dengan ketentuan penggunaan DOM, diantaranya untuk Tunjangan Hari Raya (THR), sumbangan kepada kolega, staf dan pihak lainnya sejumlah Rp395,685 juta

"Bahwa pengeluaran DOM sejumlah Rp1.821.698.840 (Rp1,8 miliar-red) untuk kepentingan terdakwa tersebut tidak sesuai dengan asas dan tujuan penggunaan DOM," ucap jaksa Basir.

KONGKALIKONG PENYEWAAN PONDOKAN HAJI - Dalam dakwaan berikutnya, Jaksa KPK juga mendakwa SDA melakukan korupsi dalam pemilihan pondokan untuk jamaah haji. Dalam dakwaannya, jaksa menyebutkan, sekitar April 2010, Tim Penyewaan Perumahan jamaah haji Indonesia, melakukan proses penyewaan pemondokan di Arab Saudi.

Dalam prosesnya, Tim Penyewaan Perumahan menerima berkas-berkas penawaran, diantaranya dari Cholid Abdul Latief Sodiq Saefudin melalui Undang Syahroni yang menawarkan empat rumah yang berlokasi di Syare´ Mansyur dan Thandabawi, Mekah.

"Atas penawaran itu Cholid Abdul Latief Sodiq Saefudin menjanjikan akan memberikan fee sejumlah SR25,00  per jemaah kepada Undang Syahroni atau orang lain yang dapat meloloskan empat rumah yang ditawarkan," ujar Jaksa Basir.

Namun, setelah melakukan verifikasi tim penyewaan perumahan memutuskan bahwa empat rumah tersebut ditolak sebagai tempat pemondokan jamaah haji Indonesia karena tidak memenuhi beberapa persyaratan, seperti daerahnya tidak familiar dengan jamaah haji Indonesia dan rawan kriminalitas serta tidak memiliki fasilitas yang memadai.

Cholid tidak patah arang, ia mencoba merayu Suryadharma Ali dengan meminta bantuan Mukhlisin yang saat ini menjadi anggota DPR dari Fraksi PPP. Usaha ini awalnya tampak berhasil, Suryadharma akhirnya meminta Mukhlisin untuk menyerahkan berkas-berkas perumahan kepada Tim Penyewaan Perumahan guna diproses lebih lanjut.

Namun, setelah melihat berkas, Suryadharma kembali menolaknya. Namun Mukhlisin terus merayu SDA agar memenuhi permintaannya itu. Usaha kali kedua inipun membuahkan hasil.

"Terdakwa menguhubungi Zainal Abidin Supi selaku Ketua Tim Penyewaan Perumahan dan memerintahkan untuk menerima rumah-rumah sebagai perumahan jemaah haji Indonesia, padahal Terdakwa mengetahui rumah-rumah dimaksud tidak memenuhi persyaratan," tandas jaksa Basir.

Salah satu syarat penting yang dilanggar yaitu harga sewa yang ditawarkan lebih tinggi dari harga sewa pada harga pasar, bahkan terdapat harga sewa yang melampaui harga plafon yang ditetapkan pemerintah.  

Pada tanggal 25  April 2010 Mohammad Syairozi Dimyathi selaku Konsul Haji menandatangani beberapa kontrak pendahuluan penyewaan rumah pemondokan jamaah haji Indonesia di Mekah Tahun 1431H/2010M yang berlokasi di Syare´ Mansyur dan Thandabawi, termasuk diantaranya kontrak Nomor 314, 315, 317 dan 345 yang merupakan kontrak empat rumah yang ditawarkan Mukhlisin, dengan harga sewa lebih tinggi dari harga pasar dan sebagian harga sewa melampaui harga plafon yang telah ditetapkan, dengan perincian sebagai berikut:

1) Kontrak No. 314 untuk 312 jemaah yang berlokasi di Thandabawi, Mekah dengan harga kontrak sejumlah SR858 ribu, padahal harga pasar hanya sejumlah SR300 ribu.

2) Kontrak No. 315 untuk 259 jemaah yang berlokasi di Syare´ Mansur, Mekah dengan harga kontrak sejumlah SR712,25 ribu padahal harga pasar hanya sejumlah SR220 ribu.

3) Kontrak No. 317 untuk 668 jemaah yang berlokasi di Thandabawi, Mekah dengan harga kontrak sejumlah SR1,837 juta, padahal harga pasar hanya sejumlah SR1,2 juta

4) Kontrak No. 345 untuk 1.223 jemaah yang berlokasi di Alhendawiyah, Mekah dengan harga SR3,1 ribu per jemaah atau seluruhnya sejumlah SR3,791 juta padahal harga plafon yang ditetapkan hanya sejumlah SR3 ribu per jamaah atau seluruhnya sejumlah SR3 juta.

Berdasarkan kontrak tersebut, Syairozi melakukan pembayaran kepada Cholid dan Fuad Ibrahim Atsani yang seluruhnya sejumlah SR7,187 juta. Padahal harga pasar hanya sejumlah SR4,72 juta, sehingga pembayaran tersebut terjadi selisih dengan harga pasar sejumlah SR2,46 juta.

Dari selisih harga itu, Fuad Ibrahim mendapat upah SR791,3 ribu sedangkan Cholid sejumlah SR1,676 juta. Mukhlisin sendiri mendapat jatah SR20,69 ribu.

KETERLIBATAN ANGGOTA DPR - Sekitar awal 2012 Suryadharma Ali membuat kesepakatan dengan beberapa anggota Komisi VIII DPR-RI untuk berpartisipasi dalam penyediaan perumahan jamaah haji reguler tahun 2012 yang seluruhnya berjumlah 194.216 jamaah. Ia memberi peluang kepada para anggota dewan untuk menjadi konsorsium penyedia perumahan di Jeddah dan Madinah.

Untuk melaksanakan kesepakatan tersebut anggota kelompok fraksi (Poksi) dalam Komisi VIII DPR-RI menunjuk Hasrul Azwar sebagai koordinator Poksi pada Komisi VIII DPR-RI, kecuali Poksi Partai Demokrat yang dikoordinir oleh Nurul Iman Mustofa. Meskipun terdapat dua koordinator Poksi, namun Komisi VIII DPR-RI sepakat menunjuk Hasrul yang ketika itu merupakan Wakil Ketua Umum DPP PPP sebagai penghubung antara Komisi VIII DPR-RI dengan Suryadharma.

Sekitar Maret dan April 2012 di hotel Alhamra Jeddah, beberapa anggota Komisi VIII DPR-RI Hasrul Azwar, Chaerun Nisa, Jazuli Juwaini, Zulkarnaen Djabar dan Said Abdullah menemui Syairozi dan Jauhari selaku Ketua Tim Penyewaan Perumahan Jemaah Haji.

Pada kesempatan itu, Hasrul menyatakan telah mempunyai kesepakatan dengan Suryadharma untuk mempercepat proses pengesahan BPIH, dan telah mendapatkan izin dari terdakwa untuk berpartisipasi dalam pengadaan perumahan jamaah haji di Arab Saudi. Hasrul pun menyerahkan nama konsorsium untuk disewa para jamaah haji. Ia juga memperkenalkan Saleh Salim Bedegel selaku orang yang mewakili anggota Komisi VIII dalam penyewaan perumahan di Arab Saudi.

Mereka lantas mengadakan pertemuan untuk membahas fee yang disepakati untuk anggota Poksi di Komisi VIII DPR RI dalam penyewaan perumahan di Madinah sejumlah SR30 per jamaah dan di Jeddah sejumlah SR20 per jamaah. Sekitar bulan April 2012 pada saat kunjungan resmi entry briefing anggota Panja BPIH di Kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Jeddah, Hasrul kembali menyerahkan nama-nama konsorsium (majmuah) penyedia perumahan di Madinah.

Diantaranya yaitu Majmuah Mukhtaroh, Mubarok dan  Majmuah Alkhomri serta nama-nama hotel transito di Jeddah, yakni Norcom Oasis, Madinah Palace, Al Mahmal Palestine, At-Thairah Tower dan Almuhtaroh Quraisy, kepada Subhan Cholid selaku Wakil Ketua Tim Penyewaan Perumahan agar disewa dan dipergunakan sebagai perumahan serta hotel transito jamaah haji Indonesia.

"Selain itu tim penyewaan perumahan juga menerima nama-nama majmuah dari Nurul Iman Mustofa baik secara langsung maupun melalui Hasanudi Asmat alias Hasan Ompong untuk dipergunakan sebagai perumahan jamaah haji," terang jaksa Basir.

Penetapan kapasitas pada beberapa konsorsium yang ditunjuk oleh Suryadharma melebihi kapasitas dalam surat keterangan kapasitas (ifadah) yang dikeluarkan oleh badan yang bertanggungjawab atas pelayanan jamaah haji di Madinah (Muassasah Adilla), bahkan sebagian majmuah tidak memiliki ifadah. Selain itu penunjukan tersebut berbeda dengan hasil penilaian, perangkingan kriteria dan peninjauan lapangan atas kemampuan majmuah yang dilakukan oleh tim penyewaan perumahan, namun tidak dipergunakan sebagai pedoman dalam menetapkan konsorsium.

Setelah penandatanganan kontrak, Syairozi melakukan pembayaran secara bertahap  kepada 12 konsorsium penyedia perumahan di Madinah untuk 194.216 jemaah dengan total pembayaran sejumlah SR126.150 dan pembayaran kepada 5 hotel transito Jeddah untuk 140.404 jamaah dengan total pembayaran sejumlah SR14,04 juta.

Setelah menerima pembayaran, sebagian konsorsium dan pemilik hotel transito memberikan sejumlah uang kepada anggota Komisi VIII DPR-RI dan orang lain yang terkait sebagai realisasi fee yang  disepakati dan telah mendapatkan persetujuan dari Suryadharma.

Para anggota DPR yang kecipratan uang haram itu antara lain :

1) Hasrul Azwar sejumlah SR3.043.770 juta yang merupakan fee untuk pemondokan di Madinah dan sejumlah SR2,80 juta untuk fee penyewaan hotel transito Jeddah

2) Nurul Iman Mustofa sejumlah US$100 ribu fee dari konsorsium Al-Shatta, Al-Isyroq, Mawaddah, AlZuhdi dan Said Makkey

3) Hasanudin Asmat alias Hasan Ompong SR554,5 ribu untuk fee dari konsorsium Al-Shatta, Al-Isyroq, Mawaddah, dan Said Makkey.

Meskipun pembayaran kepada majmuah dan hotel transito nilainya sesuai dengan harga kontrak, akan tetapi dalam pelaksanaannya penempatan 117.200 jemaah di Madinah dan 35.836 jemaah di Jeddah tidak dilakukan sesuai dengan kontrak, yaitu dialihkan kepada hotel yang lebih murah.  

Akibat dari penggunaan harga plafon sebagai harga kontrak serta tidak dilakukannya negosiasi harga dalam penyewaan perumahan tersebut, maka terjadi kemahalan harga dalam pengadaan perumahan di Madinah sekitar SR14 juta dan dalam pengadaan Hotel Transito di Jeddah sekitar SR1,4 juta.

KUOTA JAMAAH TIDAK SESUAI ANTREAN - Dalam persidangan tersbebut, jaksa juga mengungkap lambatnya para calon jamaah menunaikan Ibadah Haji ataupun Umroh. Hal itu disebabkan adanya permainan antara oknum anggota DPR dan Kementerian Agama dalam memilih calon yang akan berangkat.

Pada sekitar Agustus 2010, yakni pada batas akhir pelunasan BPIH, terdapat sisa kuota sejumlah 1.618 dari kuota haji nasional sejumlah 221.000. Sisa kuota tersebut oleh Suryadharma dijadikan sebagai sisa kuota nasional.

Bahwa dalam rangka mempergunakannya, ia pun mengadakan rapat dengan sejumlah bawahannya yaitu Bahrul Hidayat selaku Sekjen Kemenag, Slamet Riyanto selaku Dirjen PHU, Zainal Abidin Supi selaku Direktur Pelayanan Haji (Dir Yanhaj), Ahmad Kartono yang menjabat Direktur Pembinaan Haji, Ahmad Junaidi Direktur BPIH, Abdul Gofur selaku Sekertaris Dirjen PHU dan Cepi Supriatna selaku Kasubdit Pendaftaran.

"Terdakwa memutuskan penggunaan sisa kuota haji nasional, tidak mengutamakan calon jamaah haji yang masih dalam daftar antrean, namun mengutamakan calon jamaah haji yang diusulkan oleh anggota DPR-RI, khususnya anggota Komisi VIII," tutur Jaksa.

Tak tanggung-tanggung, sebanyak 288 orang yang seharusnya tidak berhak ke tanah suci karena belum mendapat giliran nomor antrean bisa berangkat karena permintaan Suryadharma Ali. Dirjen PHU Slamet Riyanto memerintahkan anak buahnya Zainal Abidin Supi untuk mengurus dengan mengubah nomor antrean keberangkatan.

Kejadian ini terus berulang selama tiga tahun berturut-turun yaitu hingga 2013. Hal ini tentu saja merugikan para jamaah yang harus mengantre bertahun-tahun untuk melaksanakan rukun Islam kelima ini.

Atas segala perbuatannya itu, SDA didakwa bersama-sama dengan kawan peserta lainnya tersebut telah memperkaya diri sendiri sebesar Rp1,821 miliar. Ia juga mendapat selembar potongan kain penutup Ka´bah atau yang biasa disebut kain kiswah yang diberikan oleh Mukhlisin dan Cholid Abdul Latief. Namun sayang, jaksa tidak mengungkap bagaimana kedua orang itu bisa mendapat kain kiswah.

SDA juga didakwa memperkaya beberapa koleganya dan sejumlah korporasi dari perbuatan yang dilakukannya. Mereka diantaranya :

a. 180 anggota PPIH yang tidak mempunyai persyaratan lengkap tapi tetap ditugaskan memakan biaya negara sekitar Rp12,778 miliar

b. Cholid Abdul Latief sekitar SR1,65 juta

c. Tujuh pendamping jamaah haji yang tidak sesuai ketentuan dan dibiayai negara sekitar Rp354 juta

d. Mukhlisin SR20,69 ribu

e. Fuad Ibrahim Atsani sekitar SR791,3 ribu

f. Hasrul Azwar SR5,85 juta

g. Nurul Iman Mustofa US$100 ribu

h. Hasanudin Asmat SR544,5 ribu

I. Residential Al-Andalus Company, Centers Management sekitar SR2,28 juta

j. Haj & Manzil for Hotels Management Al-Mukhtar Services sekitar SR1,45 juta.

K. Jamaah haji yang diberangkatkan tidak sesuai nomor antrean yang berjumlah 1.771 dan menghabiskan biaya sekitar Rp12,32 miliar

Atas perbuatannya itu, Suryadharma diancam pidana penjara maksimal 20 tahun atau seumur hidup dan denda Rp1 miliar. Dia didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHPidana.

SDA BANTAH DAKWAAN - Atas dakwaan yang dibacakan kepada dirinya, SDA mengaku mengerti seluruh isi dakwaan jaksa. Hanya saja, dia membantah telah melakukan semua perbuatan yang dituduhkan kepadanya itu.

SDA meyebutkan, dakwaan yang disusun Jaksa pada KPK disebut hanya rangkaian keterangan yang tidak benar dari para saksi dalam penyidikan perkara. "Secara bahasa saya mengerti (surat dakwaan) tapi secara substansial saya tidak mengerti karena saya tidak melakukan dakwaan-dakwaan seperti yang disebutkan Jaksa Penuntut Umum," tegas Suryadharma.

Dia menyebut jaksa menyusun surat dakwan berdasarkan keterangan hasil penyidikan dari para saksi yang salah memberikan informasi. "JPU memperoeh informasi berdasar hasil penyidikan dari saksi-saksi yang beri kesaksian yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Kemudian KPK merangkai cerita yang jauh dari kebenaran," tutur dia.

SDA malah balik menuding Jaksa KPK sudah melakukan kesalahan karena menyebut dirinya telah memperkaya diri sendiri, orang lain dan korporasi. "Yang saya sebutkan bahwa penuntut umum merangkai cerita yang jauh dari kebenaran. Pertama, nama-nama yang disebutkan memperoleh keuntungan dari saya sekitar 98-99 persen saya tidak kenal. Apa kepentingan saya memberi kuntungan?" kata Suryadharma

Dia membantah melakukan kongkalikong dengan anggota Komisi VIII DPR dengan alasan hubungannya dengan para anggota DPR itu tidak harmonis. SDA mengklaim tidak ada perbuatan menguntungkan anggota dewan.

"Saya disebutkan menyetujui permintaan anggota Panja Komisi VIII tanpa disebutkan siapa nama dari anggota Komisi VIII tersebut. Di sisi lain hubungan saya dengan Komisi VIII sangat buruk sejak saya jadi Menag sampai 2014. Hubungan buruk menjadikan penyelesaian, penetapan biaya haji terkatung-katung. Tidak mungkin saya melakukan pertukaran kepentingan antara saya dengan Komisi VIII," pungkasnya. (dtc)

BACA JUGA: