JAKARTA, GRESNEWS.COM - RPP Gambut yang telah disahkan menjadi PP No 71 Tahun 20014 hingga kini belum dapat diakses poin-poinnya oleh masyarakat. Padahal, masyarakat tidak bisa menunggu berlama-lama untuk mengetahui apa saja hal-hal yang nantinya akan mengebiri hak-hak mereka dan lingkungan hidup. Untuk itu sejumlah organisasi lingkungan hidup meminta Presiden SBY membuka peraturan pemerintah yang baru disahkan tersebut.

Sudah sejak awal pembuatan draft RPP Gambut dirasakan tidak ada transparansi kepada masyarakat, bahkan pengesahannya sendiri dilakukan secara diam-diam. Beredar kabar, pengesahannya telah ditandatangani sebelum sidang pengesahan ratifikasi undang-undang tentang pengesahan Asean Agreement of Transboundary Haze Pollution pada tanggal 16 September lalu.

Regulasi tentang gambut termaktub dalam peraturan pemerintah yang merupakan amanat Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang bertujuan menekan laju kerusakan ekosistem gambut. Pemerintah dinilai belum memiliki prioritas yang jelas dalam penyusunan regulasi pelaksanaan UU PPLH.

Dari 21 PP yang dimandatkan, baru 2 PP yang sudah diterbitkan yakni PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan dan PP No. 71 tahun 2014 tentang Perlindungan Pengelolaan Ekosistem Gambut. "Regulasinya belum mengakomodir prinsip tranparansi dan partisipasi publik. Yang memenuhi kedua prinsip tersebut sementara hanya RPP B3 dan RPP Instrumen Ekonomi Lingkungan," ujar Citra Hartati, aktivis Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) di kantor Walhi, Jakarta, Jumat, (26/9).

Berdasarkan draft terakhir, RPP Gambut masih mengklasifikasikan ekosistem gambut berdasarkan ketebalannya. Dengan dasar itu RPP ini memberikan kewenangan kepada menteri untuk melakukan pengelompokan ekosistem gambut menjadi fungsi lindung dan fungsi budi daya.

Pembedanya, terletak pada kriteria baku kerusakan ekosistemnya, dimana justru mendelegasikan penentuan kerusakan dengan kedalaman kurang dari 1 meter kepada penerbit izin lingkungan, yang menyebabkan tidak adanya standard yang sama mengenai kriteria baku kerusakan ekosistem gambut dengan kedalaman kurang dari 1 meter. "Nantinya, para pelanggar hanya kan dikenakan sanksi administratif dan tidak akan menimbulkan efek jera," ujar Citra menambahkan.

Juru Kampanye Greenpeace Teguh Surya mengatakan, pengelompokan ekosistem hutan gambut dengan kriteria baku rusak yang tidak jelas pun dapat menimbulkan masalah lain. Jika lahan gambut terlalu mudah diizinkan untuk dibuka, maka akan timbul masalah kebakaran lahan dan hutan dan semakin meningkatnya emisi karbon.

Teguh menegaskan, ekosistem gambut merupakan satu kesatuan yang unik dan rentan dimana ketika ada pembukaan dan pengeringan suhunya saja sudah mencapai 70 derajat celcius. Hanya menunggu pemantik maka kebakaran rentan terjadi. "Ketika dibuka hutan gambut akan terus mengeluarkan emisi, akan berhenti jika hanya karena habis atau dilakukan restorasi," ujarnya.

RPP itu juga dinilai lebih mengakomodir kepentingan pebisnis. Dalam peraturan tersebut diatur soal ganti rugi perusahaan yang dapat dikompromikan oleh pemerintah. "Sehingga substansinya dianggap sangat lemah dan dipandang lebih menguntungkan bagi bisnis, Indonesia terancam gagal dalam mengurangi laju emisi dan kebakaran hutan," kata Teguh lagi.

Dia berpendapat, di akhir masa jabatan Presiden SBY hal ini dianggap sebagai suatu kemunduran besar dalam penanganan lingkungan di era pemerintahannya. "Dia adalah orang yang paling bertanggung jawab jika nantinya negara kita mengalami kebakaran hutan hebat. Ia mewarisi bencana alam pada penerusnya dan tidak melakukan upaya preventif padahal punya kesempatan atas itu. Kami meminta selagi belum turun dari jabatan batalkan PP tersebut," katanya.

BACA JUGA: